Ketika Guru Besar Memangsa Muridnya: Gagalnya Pendidikan Sekuler Mencetak Sosok Teladan
Oleh: Marnisa, S.P.
(Aktivis Muslimah)
Lembaga pendidikan idealnya menjadi ruang aman untuk menimba ilmu, membentuk karakter, dan menumbuhkan nilai-nilai luhur dalam diri generasi penerus. Namun, alih-alih menjadi tempat membangun peradaban, dunia pendidikan kini kian tercoreng oleh berbagai kasus amoral, termasuk kekerasan seksual.
Kasus terbaru datang dari lingkungan kampus ternama. Seorang Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Edy Meiyanto, terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap belasan mahasiswi. Rektor UGM mencatat pelanggaran tersebut sebagai pelanggaran kode etik dosen dan juga pelanggaran terhadap Pasal 3 Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (tempo.co, 22/04/2025).
Desakan dari publik agar pelaku dicopot dari statusnya sebagai ASN pun menguat. Sebab, bagaimana mungkin seorang pendidik yang telah kehilangan martabat moral tetap diberi tempat dalam institusi pendidikan dan negara?
Ironis memang. Seorang guru besar—gelar yang seharusnya melekat pada sosok berilmu dan bermartabat—justru berubah menjadi predator bagi anak didiknya sendiri. Padahal, guru dalam pandangan masyarakat adalah figur panutan yang tidak hanya mentransfer ilmu, tapi juga menjadi cermin akhlak mulia.
Sayangnya, kasus semacam ini bukan hal baru, bahkan telah menjadi pola berulang. Hal ini menunjukkan adanya kegagalan sistemik, bukan sekadar kesalahan individu. Kita hidup dalam sistem pendidikan sekuler yang memisahkan nilai-nilai agama dari proses pembentukan manusia. Di sinilah akar persoalan itu berada.
Sistem sekuler menempatkan pendidikan semata sebagai alat administratif untuk mencetak tenaga kerja, bukan pembentuk karakter dan kepribadian. Guru dan siswa tidak diarahkan untuk menjadikan takwa sebagai pondasi berpikir dan bersikap. Maka, meski bergelar tinggi, para pendidik tetap rentan terjerumus dalam kenistaan karena kosong dari nilai ruhiyah dan rasa takut kepada Sang Pencipta.
Lebih tragis lagi, negara pun tidak memiliki sistem sanksi yang mampu memberikan efek jera. Penyelesaian kasus kekerasan seksual seringkali mandek atau berakhir dengan sanksi ringan. Ini terjadi karena sistem hukum yang berlaku tidak bersandar pada asas yang kokoh untuk melindungi martabat manusia secara hakiki.
Berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan akidah sebagai landasan seluruh aturan, termasuk pendidikan dan hukum. Islam memiliki seperangkat aturan interaksi sosial yang membatasi ruang bagi kejahatan seksual, serta sistem sanksi yang tegas bagi pelaku.
Dalam Islam, perbuatan zina yang terbukti, baik melalui pengakuan maupun kesaksian empat orang laki-laki yang adil, dihukum dengan cambuk 100 kali jika pelaku belum menikah (ghairu muhshan), dan dirajam sampai mati jika sudah menikah (muhshan), sebagaimana ditetapkan dalam sumber hukum syariah (Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 358).
Tak hanya itu, pendidikan dalam Islam bertujuan membentuk kepribadian yang utuh, berpikir islami dan bersikap islami, dalam kerangka sistem yang menjamin ketakwaan individu, pengawasan masyarakat, dan peran negara sebagai pelindung moral publik. Dengan sistem ini, guru tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi penjaga akhlak dan kehormatan generasi.
Selama sistem sekuler terus menjadi fondasi pendidikan, kasus semacam ini akan terus berulang. Sebab, sekularisme telah menciptakan ruang kosong dalam jiwa manusia, tempat nafsu bebas berkuasa tanpa batas nilai dan tanpa takut pada sanksi Tuhan.
Wallahualam bissawab.