Qadha’ Orang yang Melewatkan Hari-Hari Puasa Ramadhan

 



Soal:

Assalamu ’alaikum. Aku ingin bertanya tentang penggantian (qadha’) hari-hari puasa …

Dalam keadaan aku tidak ingat betul penggantianku untuk hari-hari yang terlewat dari bertahun-tahun, dengan makna aku mengganti dan masih tersisa hari-hari lain yang belum aku sempurnakan penggantiannya. Sebagian individu dari keluargaku berkata bahwa aku telah mengganti bersama mereka, sedangkan yang lain mengatakan aku tidak ingat bahwa kamu telah menggantinya seluruhnya … Dalam semisal keadaan ini apa yang wajib aku lakukan? Aku bertanya ke banyak orang, dan jawaban-jawabannya adalah kafarah dengan harta, dan sebagian mereka berkata wajib membayar dan berpuasa. Dan jika wajib berpuasa, aku tidak ingat berapa hari yang harus aku ganti. Lalu apa yang harus aku lakukan?

[Eenas Mohammed]

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Sebelumnya kami telah menjawab atas pertanyaan semisal pada 13/5/2019. Kami katakan:

[Kami tidak mentabanni dalam masalah ibadah, tetapi kami serahkan perkara tersebut kepada muslim agar mengikuti madzhab tertentu dalam puasa, shalat, … dan sebagainya. Dan aku di sini akan mengingatkan kepadamu beberapa pandangan fikhiyah tentang mengganti puasa. Mana yang membuat lapang dadamu dan menenteramkan hatimu maka kamu bisa mengikutinya:

1- Di dalam Nihâyah al-Mathlab fî Dirâyah al-Madzhab karya Abdul Malik al-Juwayni yang digelari Imam al-Haramayn (w. 478 H) dan beliau dari madzhab asy-Syafi’iy dinyatakan:

“Siapa yang melewatkan puasa hari-hari dari Ramadhan, dan mungkin (mampu) untuk menggantinya, maka dia tidak boleh menunda menggantinya ke bulan Ramadhan tahun berikutnya. Yang kami sebutkan bukan sebagai istihbâban (dianjurkan) tetapi yang demikian itu merupakan keharusan, seiring kemampuan dan hilangnya udzur. Seandainya diasumsikan dia menunda penggantian puasa sampai tahun depan, tanpa udzur, maka dia wajib mengganti untuk setiap hari sebanyak satu mud makanan. Seandainya dia menunda penggantian puasa selama dua tahun atau lebih, maka tentang pelipatgandaan fidyah ada dua pandangan: pertama, bahwa tidak dilipatgandakan, dan tidak wajib dengan penundaan bertahun-tahun itu kecuali apa yang wajib saja dalam satu tahun… Yang lebih shahih adalah berbilangnya firdyah dan perbaharuannya. Jadi dia wajib mengkompensasi penundaan pada setiap tahun itu satu mud (untuk tiap satu hari). Jika dia menunda dua tahun maka bersama penggantian puasa tiap harinya dua mud. Begitulah tambahannya dan selebihnya. Ini adalah posisinya dalam hal fidyah…”.

Ini artinya, bahwa mengganti puasa Ramadhan bagi orang yang tidak berpuasa, dia harus menggantinya sebelum Ramadhan berikutnya. Jika dia menunda setelah datangnya Ramadhan maka dia wajib mengganti puasa dan membayar fidyah… Dan beliau juga punya pandangan lain bahwa jika menunda penggantian puasa dua tahun misalnya, maka dia wajib dua fidyah bersama dengan mengganti puasa, begitulah.

2- Dinyatakan di Kasyâf al-Qinâ’ ‘an Matni al-Iqnâ’ karya Manshur bin Yunus al-Bahuti al-Hanbali (w. 1051 H):

“Siapa yang melewatkan puasa Ramadhan semuanya atau sebagiannya … maka dia wajib mengganti sejumlah harinya … dan dia boleh menunda penggantiannya itu selama tidak lewat waktunya, yaitu sampai datangnya hilal Ramadhan berikutnya … Dia tidak boleh menundanya ke Ramadhan yang lain tanpa udzur… Jika dia menundanya ke Ramadhan yang lain atau beberapa Ramadhan berikutnya, maka dia wajib mengganti dan memberi makan orang miskin untuk satu hari apa yang memenuhi dalam kafarah, dan fidyah tidak berulang dengan berbilangnya Ramadhan. Sebab banyaknya penundaaan, dengannya kewajiban itu tidak ditambah sebagaimana sandainya seorang menunda haji yang wajib selama bertahun-tahun, tidak ada yang wajib baginya lebih dari sekali melaksanakannya saja” …

Ini berarti bahwa siapa yang melewatkan puasa Ramadhan dan belum menggantinya sebelum datang Ramadhan berikutnya, maka dia wajib mengganti dan membayar fidyah.

3- Adapun madzhab Abu Hanifah, maka betapapun penundaan penggantian puasa maka tidak wajib kecuali hanya mengganti saja. Seandainya datang Ramadhan lainnya… maka dia mengganti yang terlewat saja dan tidak ada fidyah baginya dengan penundaan itu:

– Di dalam al-Mabsûth karya as-Sarakhsi (w. 483 H) fikih hanafi dinyatakan:

“Dia berkata: “seorang laki-laki harus mengganti hari-hari dari bulan Ramadhan dan dia belum menggantinya sampai masuk Ramadhan berikutnya … Dan dia wajib mengganti Ramadhan yang lalu dan tidak wajib baginya fidyah menurut kami. Sedangkan menurut asy-Syafi’iy rahimahullah, dia harus membayar fidyah bersama mengganti itu, untuk tiap hari dia harus memberi makan satu orang miskin… Dan untuk kita zhahir firman Allah SWT:

﴿فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ﴾ [البقرة: 184]

“maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (TQS al-Baqarah [2]: 184).

Di dalamnya tidak ada penentuan waktu. Dan penentuan waktu dengan waktu antara dua Ramadhan itu merupakan tambahan. Kemudian, ibadah ini mu`aqqatah (sudah ditentukan waktunya) sedangkan penggantiannya tidak ditentukan waktunya…”.

– Dinyatakan di Badâi’ ash-Shanâi’ fî Tartîb asy-Syarâi’ karya ‘Alauddin al-Kasani al-Hanafi (w. 587 H):

“ … yang menjadi madzhab menurut ashhabuna bahwa kewajiban mengganti tidak ditentukan waktunya, dikarenakan apa yang telah kami sebutkan bahwa perintah mengganti itu bersifat mutlak tanpa penentuan sebagian waktu tanpa sebagian lainnya, maka hal itu berjalan menurut kemutlakannya. Berdasarkan hal ini maka ashhabuna berkata: jika dia menunda penggantian puasa Ramadhan sampai masuk Ramadhan lainnya maka tidak ada fidyah atasnya…”.

Ini berarti bahwa menurut madzhab Abu Hanifah, yang wajib adalah mengganti saja tanpa fidyah, artinya hanya mengganti bulan-bulan yang dia tidak berpuasa.

 

Dan seperti yang aku sebutkan kepadamu di awal, kami tidak mentabanni dalam masalah ibadah. Melainkan aku sebutkan kepadamu beberapa pandangan madzhab Abu Hanifah, asy-Syafi’iy, dan al-Hanbali, dan apa yang membuat lapang dadamu maka lakukanlah… Semoga Allah memberi kamu taufiq kepada apa yang Dia sukai dan Dia ridhai.

Saya berharap di dalam ini ada kecukupan. Wallâh a’lam wa ahkam. 8 Ramadhan 1440 H – 13 Mei 2019 M], selesai kutipan dari jawaban kami terdahulu.

Ringkasnya:

1- Kamu estimasi hari-hari yang kamu tidak berpuasa menurut dugaan kuatmu.

2- Setelah itu kamu kaji apa yang disebutkan di atas dan kamu ambil pendapat madzhab yang kamu merasa tenteram dengan pendapatnya. Seperti yang kamu lihat, sebagian mengatakan penggantian puasa bersama fidyah .. dan di antara mereka ada yang mengatakan penggantian puasa tanpa fidyah…

Adapun kadar satu fidyah yang aku sebutkan di atas yakni satu mud, dan jika ditimbang satu mud dengan gram seberat 544 gram gandum … Dan hal itu sebagaimana yang ada di kitab al-Amwâl:

[Satu mud = 1 1/3 rithl baghdadi. Dan satu rithl = 408 gram.

Satu mud = 1 1/3 rithl x 408 gram berat satu rithl = 544 gram berat satu mud gandum].

Di situ ada yang menghitung lebih sedikit atau semacam itu …

Dan aku memohon kepada Allah SWT agar menerima puasa dan qiyam ramadhan.

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

5 Sya’ban 1446 H

4 Februari 2025 M

https://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer/jurisprudence-questions/100450.html