Langganan Banjir, Masyarakat Medan Butuh Solusi Bukan Hanya Janji!

 



Oleh Indri Nur Adha, A.Md.
(Aktivis Muslimah)
 
Bagaimana masyarakat Medan tidak resah ketika hujan lebat melanda? Rumah yang seharusnya menjadi tempat istirahat pun tidak bisa lagi melindungi. Mau ke mana lagi perginya para korban banjir ini?

Banjir di Kota Medan semakin parah dampaknya bagi masyarakat. Bencana ini terus meluas dan kini melanda 10 kecamatan akibat luapan tiga sungai besar, yakni Sungai Deli, Sungai Babura, dan Sungai Sei Belawan. Kecamatan yang terdampak meliputi Medan Maimun, Medan Johor, Medan Sunggal, Medan Amplas, Medan Denai, Medan Helvetia, Medan Labuhan, Medan Baru, Medan Deli, dan Medan Selayang.

Total terdapat 25 titik banjir di wilayah tersebut. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Yunita Sari, menyampaikan bahwa sebanyak 7.699 rumah terendam banjir, dengan korban terdampak mencapai 8.741 kepala keluarga atau 24.874 jiwa (Kompas.com, 27/11/2025).

Sekretaris Komisi D DPRD Sumut, Defri Noval Pasaribu, menilai bahwa program penanganan banjir di Medan belum optimal. Politisi NasDem itu memandang persoalan banjir masih rutin melanda Kota Medan karena banyak infrastruktur yang dibangun sejak lama tidak terawat.

"Proyek demi proyek mengatasi banjir di kota yang dilintasi empat sungai besar ini telah diluncurkan. Terbaru, program yang diluncurkan adalah Program Pembangunan Sistem Drainase Perkotaan. Namun, proyek-proyek tersebut kurang efektif dalam menyelesaikan persoalan banjir di Kota Medan. Gagalkah proyek drainase Kota Medan? Bukan gagal, tetapi kurang efektif," ujar Defri, Kamis (13/2/2025).

Defri juga menyampaikan bahwa proyek pembangunan infrastruktur seperti Medan Urban Development Project maupun Medan Metropolitan Urban Development Project (MMUDP) sudah diluncurkan sejak tahun 1982, tetapi tidak dirawat. Akselerasi pembangunan dan perkembangan kawasan perkotaan yang semakin cepat menyebabkan titik banjir di Kota Medan semakin banyak. Oleh karena itu, penyelesaiannya tidak bisa lagi dilakukan secara parsial (Tribunnews.com, 13/02/2025).

Penyebab banjir lainnya adalah pengalihfungsian lahan resapan. Seperti yang terjadi di Kota Semarang, Jawa Tengah, tepatnya di Kecamatan Mijen, lahan yang awalnya berfungsi sebagai daerah resapan air telah dialihfungsikan menjadi kawasan perumahan. Alih fungsi ini berdampak negatif, seperti meningkatnya risiko banjir di wilayah dataran rendah Semarang (ejournal3.undip.ac.id, 2026).

Banjir berulang di perkotaan menunjukkan gagalnya tata kelola ruang oleh pemangku kebijakan. Seharusnya, dalam pengelolaan lahan, pemerintah memilah area yang diperuntukkan bagi daerah industri, pusat perbelanjaan, perkantoran, perumahan, serta area yang ditetapkan sebagai daerah resapan (recharge area) sehingga tercipta keseimbangan ekologis.

Pemerintah dengan mudah memberi izin untuk pembangunan yang tidak sesuai. Di Medan, misalnya, terdapat pembangunan perumahan dan pertokoan mewah di atas lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN II. Menurut Direktur MATA Pelayanan Publik, Abyadi Siregar, pembangunan properti di atas lahan HGU melanggar Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, karena peruntukan HGU seharusnya untuk pertanian, perkebunan, atau usaha sejenis (Strateginews.id, 18/12/2024).

Dalam sistem pemerintahan kapitalisme, kerja sama antara pengusaha dan penguasa dilakukan secara terang-terangan. Pemerintah yang memegang kekuasaan dengan mudah memberi izin demi kepentingan para pemegang modal, sementara rakyat yang menanggung kerugiannya.

Sistem kapitalisme memiliki asas sekuler, yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Aturan yang lahir dari sistem ini hanya menguntungkan sebagian kelompok yang memiliki kekuasaan. Kebijakan yang diambil pun sering kali cacat dan jauh dari standar halal dan haram dalam agama.

Dalam Islam, pemerintah memiliki peran penting dalam menyelesaikan permasalahan banjir. Negara Islam berperan sebagai perisai atau pelindung bagi masyarakatnya, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya imam (pemimpin) itu adalah perisai (junnah), di mana orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (H.R. Bukhari & Muslim)

Untuk mengantisipasi terjadinya banjir, penguasa dalam Negara Islam akan melakukan pengkajian ulang terhadap wilayah yang akan dibangun suatu proyek. Pemerintah akan memeriksa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk mengetahui zona yang sesuai dengan peruntukan lahan agar tidak asal memilih lokasi pembangunan. Dengan demikian, pemerintah tidak akan dengan mudah memberi izin kepada pengusaha untuk membangun proyek tertentu tanpa memperhitungkan dampaknya.

Pemerintahan dalam Negara Islam akan membuat kebijakan yang menguntungkan rakyatnya. Hal ini berbeda dengan sistem kapitalis, di mana aturan atau kebijakan diambil berdasarkan kepentingan pemegang modal, meskipun merugikan rakyat. Dalam sistem kapitalisme, rakyat seperti korban yang hanya bisa merasakan kesengsaraan akibat keserakahan penguasa.

Ketika upaya antisipasi telah dilakukan tetapi banjir masih terjadi, maka proses penanganannya dilakukan secara penuh oleh pemerintah. Hal ini hanya mungkin terjadi jika negara menerapkan sistem Islam. Pemerintah akan menyediakan tempat pengungsian sementara yang layak dan mencukupi kebutuhan para korban banjir. Selain itu, pemerintah juga akan menangani penyebab banjir, seperti memperbaiki drainase dan melakukan perawatan rutin untuk meminimalkan kemungkinan banjir terulang.

Dalam sistem Islam, kemaslahatan rakyat adalah hal yang utama. Oleh karena itu, masyarakat dalam sistem Islam akan merasa dilindungi oleh negaranya. Hal ini berbeda dengan sistem kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan, di mana rakyat harus mencari perlindungan sendiri tanpa ada bantuan yang serius dari pemerintah.

Islam telah menawarkan solusi hakiki untuk permasalahan banjir dengan menyelesaikan hingga ke akarnya. Islam memandang bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan bumi—termasuk tanah—hakikatnya adalah milik Allah Ta'ala semata. Kemudian, Allah Ta'ala sebagai pemilik hakiki memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik-Nya sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Maka, pengelolaan yang paling tepat adalah dengan kembali kepada sistem Islam.

Wallahualam bissawab.