Represifnya Aparat, Bukti Demokrasi Anti Kritik

 


Oleh Susan Efrina ( Aktivis Muslimah)


Demokrasi kapitalisme tidak pernah membuat rakyat hidup tenang. Selalu saja penguasa memberikan kebijakan yang membuat rakyat geram. Hal ini dapat kita lihat dari aksi unjuk rasa pengawalan putusan MK yang dilakukan aparat terhadap rakyat. Tindakan  represif yang dilakukan aparat menunjukkan bahwa Demokrasi Anti Kritik.


Ada pun Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat ada beberapa kasus tindakan represif aparat keamanan ketika aksi mahasiswa kawal putusan MK di beberapa daerah. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur mengungkapkan, ada puluhan  tindakan  represif, intimidasi, sampai kekerasan terhadap massa aksi. Ia juga menyoroti kasus represif pihak kepolisian yang terjadi di Semarang, Makassar, Bandung dan Jakarta.


Sampai Kamis malam, 22 Agustus 2024, lembaganya menerima laporan sebelas massa aksi terkonfirmasi di tangkap kepolisian. Satu orang lainnya mendapatkan doxing. “Pengaduan yang masuk di TAUD (Tim Advokasi untuk Demokrasi) hingga pukul 21.30 (22 Agustus 2024) ada 26 Laporan,” kata Isnur, pada 23 Agustus 2024.


Puluhan Laporan tersebut berupa tindakan kekerasan, doxing sampai penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian. Bahkan, terdapat ratusan massa aksi justru ditangkap ketika sedang menuju ke lokasi aksi. Tindakan represif ini merupakan pelanggaran hukum tindak pidana dan melanggar peraturan internal Kapolri.


Isnur menyebutkan, dalam peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, kepolisian tidak boleh terpancing, tidak arogan, dan tidak melakukan kekerasan saat situasi kerumunan massa aksi tidak terkendali. Guru Besar Universitas Gadjah Mada atau UGM Prof. Koentjoro melihat kepolisian yang tersebar di beberapa daerah tidak kompak menjalankan tugasnya. Seharusnya tugas polisi untuk mengayomi masyarakat yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002. Polisi menjalankan tugasnya sesuai aturan hukum yang berlaku, baik kepada masyarakat sipil maupun pejabat publik, termasuk presiden (nasional.tempo.co, 25/09/2024).


Umat dan mahasiswa unjuk rasa karena adanya pelanggaran yang dilakukan oleh negara, yang menjadi salah satu cara untuk mengingatkan pemerintah. Mirisnya, aparat justru menyemprotkan gas air mata dan melakukan tindakan represif lainnya. Hal ini menunjukkan sejatinya demokrasi tidak memberi ruang akan  adanya kritik dan koreksi rakyat.


Padahal kritik merupakan bagian dari kontrol rakyat terhadap pemerintah, sehingga aspirasi rakyat dijamin dan dilindungi serta wajib didengar haknya. Hal itu menjadi salah satu indikator dari berjalan baiknya sebuah negara. Seharusnya negara memberi ruang dialog, menerima utusan dan tidak mengabaikan. Sehingga tidak akan terjadi aksi unjuk rasa ini, aksi ini dipicu oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang di anggap sebagai bentuk penyalahgunaan hukum oleh sekelompok elite politik untuk kepentingan mereka sendiri.


Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024  yang melonggarkan ambang batas Pencalonan kepala daerah dan putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang mempertegas syarat batas usia pencalonan kepala daerah adalah contoh nyata bagaimana hukum dijadikan  alat untuk kepentingan segelintir elite. Bukti nyata bahwa demokrasi kapitalisme merupakan sistem yang gagal. Karena aturan yang diterapkan dalam negara demokrasi merupakan  aturan yang dibuat oleh manusia.


Manusia diberikan kebebasan dalam membuat hukum yang akan mengatur kehidupan sehari-hari. Padahal, manusia merupakan makhluk yang memiliki kelemahan dan keterbatasan. Sehingga dapat dipastikan bahwa hukum yang lahir dari pemikiran manusia adalah aturan yang tidak sempurna dan dapat menyebabkan pertentangan antar manusia itu sendiri.


Dalam sistem demokrasi, aturan dapat dibuat sesuai kepentingan yang ada. Maka, tidak heran jika terjadi pelanggaran dan penyelewengan hukum, hingga akhirnya terjadi penyalahgunaan kekuasaan pada yang masih berkuasa. Penguasa dalam sistem demokrasi kapitalisme merupakan  penguasa yang Anti Kritik. Karena mereka bertugas hanya berpihak pada orang-orang tertentu saja dan dapat dipastikan  keadilan tidak akan pernah tercipta bagi rakyat. Kesejahteraan hanyalah ilusi belaka ketika kita masih berada dalam sistem demokrasi kapitalisme ini.


Salah satu mekanisme untuk menjaga agar pemerintah tetap berada di jalan Allah adalah muhasabah Lil hukam, di mana lembaga seperti Majelis Umat yang bertugas mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan dalam membuat kebijakan-kebijakan dan mengubah perilaku mereka jika mereka melanggar hak-hak rakyat, melalaikan kewajiban-kewajibannya terhadap rakyat, mengabaikan salah satu urusan rakyat, menyalahi hukum- hukum Islam, atau memutuskan hukum dengan selain wahyu yang telah Allah turunkan.


Begitu juga dengan Qadhi  Madzalim yang memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara kezaliman apa pun, baik kezaliman yang berkaitan dengan seseorang yang duduk di dalam struktur negara, berkaitan dengan penyimpangan yang dilakukan kepala negara (Khalifah) terhadap hukum-hukum syariah, berkaitan dengan komplain rakyat terhadap peraturan administratif yang berhubungan dengan kemaslahatan rakyat, atau pun kezaliman yang berkaitan dengan masalah yang lainnya. Dalam Islam, semua orang mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum, tidak ada yang kebal hukum. 


Demikianlah mekanisme-mekanisme yang dibuat oleh negara Khilafah untuk memberikan kenyamanan dan ketenangan bagi rakyatnya. Karena penguasa dalam negara Khilafah bertugas untuk mengurusi (meriayah) umat. Hukum yang dijalani merupakan hukum yang berasal dari Sang Pencipta Allah Swt. Penguasa menjalankan amanahnya dengan bersungguh-sungguh hanya berharap pada rida Allah semata, mereka takut akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat.


Islam menjadikan amar makruf nahi mungkar sebagai kewajiban setiap individu, kelompok dan masyarakat. Karena amar makruf nahi mungkar merupakan kewajiban bagi semua pihak. Semua pihak tidak akan tinggal diam ketika melihat kezaliman, semua pihak akan melakukan muhasabah demi berlangsungnya pemerintahan yang baik. 


Kritik yang dilakukan kepada penguasa dengan cara-cara yang syar’i, mereka tidak menggunakan kekerasan, perusakan fasilitas umum, kara-kata yang tidak baik, tidak melakukan tindakan berbahaya dan tidak memprovokasi massa yang akan memancing kerusuhan bagi yang lain.


Penguasa juga memahami tujuan adanya muhasabah, yaitu tetap tegaknya aturan Allah di muka bumi. Sehingga terwujud negara yang baldatun thayyibatun wa rabbatun ghafur. Hanya dengan menerapkan hukum Islam dan menjalankan syariat yang telah Allah tetapkan, maka kenyamanan, ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dapat kita rasakan ketika sistem Islam dapat diwujudkan.


Wallahualam bissawab.