TAPERA : Tambah Penderitaan Rakyat?



Ariansyah Pratama S.M.

GEMA Pembebasan SUMUT


Belum selesai dengan wacana kenaikan UKT, kenaikan PPN, dan harga kebutuhan pokok, rakyat Indonesia kembali dihebohkan dengan wacana pemberlakuan Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) yang dikhawatirkan beberapa pihak dapat menambah beban rakyat di masa yang sudah serba sulit sekarang ini


Bagaimana tidak, penghasilan pekerja di Indonesia sudah berat dipotong pajak penghasilan, iuran BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan, sekarang ditambah lagi dengan Tapera.


Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Tapera bertujuan untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.


Peserta Tapera adalah pekerja (ASN ataupun Swasta) dan pekerja mandiri sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera :

1. Pengerahan Dana Tapera dilakukan untuk pengumpulan dana dari peserta.

2. Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas:

a. Pekerja

b. Pekerja Mandiri.

3. Setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi Peserta Tapera.

4. Pekerja Mandiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah yang berpenghasilan di bawah upah minimum dapat menjadi Peserta.

5. Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berusia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin saat mendaftar.


Gaji pekerja, termasuk pegawai negeri sipil (PNS), prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), pejabat negara, karyawan swasta, dan pekerja mandiri (freelancer), yang berusia minimal 20 tahun atau sudah menikah dan memiliki penghasilan setidaknya sebesar UMR, akan dikenakan potongan tambahan untuk Tapera. Kebijakan ini tercantum dalam PP No. 21 Tahun 2024, yang merupakan perubahan atas PP No. 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera, yang ditetapkan pada 20 Mei 2024.


Setiap pekerja wajib membayar besaran Simpanan Peserta Tapera tersebut. Meskipun sudah memiliki rumah, tetapi pekerja wajib membayar Tapera kepada pemerintah. Pekerja yang wajib membayar Tapera harus memenuhi beberapa kriteria. 


Berdasarkan Pasal 15, besaran simpanan yang dibayarkan ditetapkan sebesar 3% dari gaji pekerja swasta maupun freelancer. Untuk pekerja swasta, beban ini dibagi dengan 0,5% ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5% oleh pekerja. Namun, bagi freelancer, seluruh 3% simpanan tersebut ditanggung sendiri.


Sedangkan Besaran Iuran Tapera untuk Peserta Pekerja dari ASN menurut Pasal 15 ayat 4b yakni Pekerja yang menerima Gaji atau Upah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan (Menkeu) dengan berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di pendayagunaan aparatur negara (Menpan RB).


Simpanan Tapera adalah penyimpanan rutin oleh Peserta dalam Rekening Dana di Bank Kustodian melalui Bank Penampung yang diinvestasikan melalui mekanisme KIK (Kontrak Investasi Kolektif) untuk pembiayaan perumahan atau dikembalikan dengan hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.


Kepesertaan Tapera berakhir karena:

a. telah pensiun bagi Pekerja;

b. telah mencapai usia 58 (lima puluh delapan) tahun bagi freelance;

c. Peserta meninggal dunia; atau

d. Peserta tidak memenuhi lagi kriteria sebagai Peserta selama 5 (lima) tahun berturut-turut.


Pemerintah menetapkan batas waktu bagi pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya ke Badan Pengelola (BP) Tapera, yaitu paling lambat 7 tahun sejak PP 25/2020 mulai berlaku.


Manfaat pembiayaan rumah Tapera atau produk Tapera dapat berupa Program Pembiayaan Kepemilikan Rumah Pertama (KPR Tapera), Program Pembiayaan Perbaikan Rumah Pertama (KRR Tapera), Program Pembiayaan Rumah Pertama di Atas Tanah Pribadi (KBR Tapera), dan Program Pembiayaan Kepemilikan Rumah Bagi Masyarakat Non-ASN (FLPP).


Namun, keempat manfaat itu hanya berlaku bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dalam hal ini, maksimal upah sebesar Rp8 juta per bulan atau Rp10 juta per bulan (khusus Papua dan Papua Barat).


Sesuai dengan visinya mengenai gotong royong, maka tabungan pekerja swasta yang berpenghasilan di atas Rp 8 juta atau yang telah memiliki rumah dan tidak bisa memanfaatkan program Tapera bisa membantu peserta MBR dengan skema subsidi silang. 



Kritik 


Banyak pekerja merasa bahwa kewajiban ini menambah beban finansial yang sudah cukup berat, terutama di tengah situasi ekonomi yang masih dalam pemulihan pasca pandemi COVID-19. Pekerja dan buruh khawatir bahwa potongan gaji untuk Tapera akan mengurangi daya beli dan kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya.


Pengusaha yang biasanya berseberangan dengan buruh, kali ini pun satu suara. Mereka juga menyuarakan keberatan terhadap tambahan beban biaya yang harus ditanggung. Kelangsungan usaha jelas akan terganggu, termasuk bagi usaha kecil dan menengah (UKM) yang sudah berjuang untuk bertahan di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit.


Munculnya perintah "wajib" ini bergeser menjadi isu tata kelola yang salah kaprah. Tapera adalah program tabungan, bukan asuransi. Dalam asuransi, peserta membayar premi untuk mendapatkan perlindungan terhadap risiko tertentu, dan manfaat asuransi dibayarkan ketika risiko tersebut terjadi.


Sebaliknya, dalam program tabungan seperti Tapera, peserta menyimpan sejumlah uang yang akan digunakan di masa depan, misalnya untuk membeli rumah. Tapi dalam skema Tapera ini, tidak ada kepastian apakah mereka akan mendapatkan rumah di masa depan atau tidak? Padahal, dalam skema tabungan seharusnya ada kepastian bahwa dana tersebut akan kembali kepada pemiliknya.


Pekerja yang sudah memiliki rumah tetap harus menyumbangkan dana melalui Tapera, dengan harapan dapat membantu mereka yang belum memiliki rumah melalui skema subsidi silang. Namun, ada beberapa dampak dan implikasi yang harus diwaspadai dari penerapan kebijakan ini, yaitu beban tambahan bagi pekerja kelas menengah yang sudah memiliki rumah. Mereka yang mungkin sudah memiliki hunian dari hasil kerja keras atau warisan tetap diwajibkan membayar simpanan Tapera. Ini bisa menimbulkan rasa ketidakadilan di kalangan masyarakat yang merasa sudah memenuhi kebutuhan perumahannya sendiri.


Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda mengatakan ada dugaan pemerintah saat ini sedang berupaya menekan masyarakat untuk menahan belanja. Upaya itu tampak dari sejumlah kebijakan fiskal mulai dari menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN), penarikan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), hingga rencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).


Akademisi Cross Culture Ali Syarief menilai Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang akan diterapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada peserta pekerja merupakan sejahat-jahatnya kebijakan yang pernah dibuat pemerintah. Pasalnya melalui Tapera, Jokowi terang-terangan meminjam uang buruh, karena pencairan hanya bisa dilakukan setelah pensiun, sehingga uang yang bisa dikumpulkan negara lewat pemotongan 3 persen gaji tersebut sekitar Rp 200 triliun per-tahun.


Pengamat perumahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, menyebut pemerintah hanya mengumbar skema pembiayaan rumah tanpa melakukan intervensi apapun atas penguasaan tanah, harga, dan pengembangan kawasan baru. Di banyak negara, ungkapnya, langkah pertama yang dilakukan pemerintah untuk membuat hunian terjangkau bagi warga harus menciptakan produksinya terlebih dahulu.


Caranya bisa dengan membeli tanah-tanah terlantar dengan harga murah, kemudian menyusun tata ruang, termasuk huniannya. Jika sudah punya rancangan, langkah selanjutnya memperkuat pengembang publik seperti Perumnas di tiap-tiap daerah. Baru terakhir memikirkan pembiayaan yang tepat.


Menurut Jehansyah, pembiayaan Tapera yang mengutip uang dari masyarakat atas nama 'gotong royong' bisa disebut sebagai penipuan. Sebab bagaimanapun, kewajiban menyediakan rumah bagi warga menjadi tanggung jawab pemerintah bukan rakyat. Kewajiban itu tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 -di mana bumi dapat diartikan tanah yang sedianya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


Pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa setiap warganya memiliki akses pada perumahan yang layak. Kewajiban ini tidak boleh dibebankan sepenuhnya kepada pekerja, apalagi mereka yang berpendapatan rendah. Polemik mengenai Tapera mencerminkan kekuranghati-hatian dalam upaya mendorong kebijakan sosial. Kebijakan ini dapat dinilai sangat ambisius di tengah daya beli pekerja cenderung menurun.


Selain terindikasi sebagai bentuk penyerahan tanggung jawab negara kepada rakyat, dalam mekanisme kepesertaan Tapera juga terdapat skema-skema akad batil dan ribawi. Hal ini tercermin dalam klausul KIK (Kontrak Investasi Kolektif) Pemupukan Dana Tapera. 


Dilansir dari website resmi Tapera (tapera.go.id), yang dimaksud dengan kontrak investasi kolektif adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang unit penyertaan di mana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan penitipan kolektif. Prinsip pemupukan dana Tapera dilakukan secara konvensional dan syariah


Berdasarkan Amanat UU No. 4 Tahun 2016, Pemupukan Dana Tapera dalam produk keuangan dengan prinsip Konvensional meliputi:

a. Deposito Perbankan;

b. Surat Utang Pemerintah Pusat;

c. Surat Utang Pemerintah Daerah;

d. Surat Berharga di Bidang Perumahan dan Kawasan Pemukiman; dan/atau

e. Bentuk Investasi lain yang aman dan menguntungkan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 


Sedangkan Pemupukan dana Tapera dalam produk keuangan dengan prinsip syariah meliputi:

a. Deposito Perbankan Syariah;

b. Surat Utang Pemerintah Pusat (sukuk);

c. Surat Utang Pemerintah Daerah (sukuk);

d. Surat Berharga di Bidang Perumahan dan Kawasan Pemukiman; dan/atau

e. Bentuk Investasi lain yang aman dan menguntungkan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan


Namun baru-baru ini Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menemukan bahwa BP Tapera tak intensif dalam kegiatan pemupukan atau kontrak investasi kolektif serta kegiatan pemanfaatan dengan prinsip syariah.


Selain itu, BPK juga menemukan masalah dalam pengelolaan dana Tapera. Salah satunya, sebanyak 124,9 ribu pegawai negeri sipil (PNS) tak bisa mencairkan Rp567,45 miliar uang yang mereka setor. Kejanggalan itu terlihat dari pengumpulan uang tersebut, baik yang ada di DKI Jakarta, Sumatra Utara, Lampung, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, hingga Bali pada 2021-2022.


Hal ini semakin menguatkan kekhawatiran banyak pihak jika Tapera hanya akal-akalan pemerintah untuk menambah penerimaan negara


Belum lagi fakta bahwa mayoritas (80%) dana di Tapera akan dimasukkan dalam obligasi negara. Obligasi negara yang dimaksud adalah berupa Surat Berharga Negara (SBN). Sementara itu, sisa dana yang ada di Tapera akan dimasukkan dalam obligasi korporasi. Hal ini diungkapkan oleh Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho. 


Dilansir dari Kompas.id, Senin (3/3/2024), Direktur Sistem Manajemen Investasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, Saiful Islam menepis isu Tapera akan digunakan untuk menambah penerimaan negara


Sementara Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia (UI), Budi Frensidy mengungkapkan jika membutuhkan waktu lama untuk memanfaatkan Tapera bagi peserta yang sudah memiliki rumah, maka pengelolaan dana yang ada di investasi SBN nantinya akan lebih menguntungkan pemerintah. “Dana ini bisa membantu pemerintah untuk mengatasi defisit anggarannya", ungkapnya. 


Jika melihat komposisinya, utang pemerintah selama ini didominasi oleh surat berharga negara (SBN) dengan denominasi rupiah. Ini artinya, jika dana Tapera masuk ke instrumen obligasi negara, maka bisa dipastikan akan menjadi piutang APBN.


Melansir hasil kajian Algo Research (5/6/2024), dengan asumsi implementasi penuh Tapera dengan 50 juta pekerja terdaftar, perkiraan kontribusi dana tahunan akan sekitar Rp115 triliun. Jumlah ini 15 kali lipat dari dana kelolaan yang dikelola BP Tapera sebesar Rp7,7 triliun. “Jadi, jika BP Tapera terus menerapkan strategi alokasi dana yang sama ke depannya, diperkirakan akan ada Rp43 triliun untuk obligasi pemerintah, Rp23 triliun untuk obligasi & deposito korporasi, dan hanya Rp11 triliun untuk hipotek atau KPR, Rp30 triliun untuk renovasi, dan Rp3,6 triliun untuk pembangunan rumah. Sisanya sebesar Rp12 triliun untuk cadangan,” tulis riset Algo.


Melansir Algo merujuk laporan keuangan BP Tapera, alokasi dana kelolaan disalurkan ke instrumen investasi mencapai 54 persen, dana cadangan 10 persen dan hanya sisanya digunakan untuk pemberian kredit perumahan 36 persen.


Alokasi dana Tapera ini jelas merupakan kezaliman, sebab uang rakyat yang sejatinya harus dikelola pemerintah sepenuhnya untuk pengadaan rumah hunian yang layak, malah sebagiannya dijadikan sumber penerimaan negara melalui pembelian obligasi pemerintah


Problem Sistemik


Problem perumahan layak huni adalah problem klasik yang belum ada solusi tuntasnya hingga hari ini. Problem ini terus terjadi karena negara dalam sistem sekuler-kapitalisme memang bukan didesain untuk melayani kepentingan rakyat. Orientasi pembangunan perumahan yang dilakukan negara bukan pada terpenuhinya kebutuhan asasi masyarakat, melainkan bisnis.


Sandang, pangan, dan papan (rumah) merupakan kebutuhan dasar yang harus terpenuhi pada setiap individu warga negara. Dalam sistem Kapitalisme, pemenuhan kebutuhan dasar tersebut tidak menjadi tanggungjawab negara. Negara yang menganut sistem tersebut sebagaimana Indonesia, tidak memiliki metode baku dalam mendistribusikan pemenuhan kebutuhan dasar tersebut kepada setiap individu rakyatnya. Negara hanya berupaya agar pendapatan perkapita rakyat secara agregat mengalami peningkatan tanpa melihat apakah masing-masing individu rakyatnya mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan pangan, sandang dan papan tetap menjadi tanggungjawab rakyatnya sendiri.


Memang di negara-negara kapitalisme, negara kadangkala melakukan intervensi dalam bentuk subsidi. Namun demikian berbagai subsidi tersebut tidak dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh rakyatnya


Seperti PP Tapera, dibuat demi kepentingan rakyat ataukah kepentingan para pengusaha? Jelas kepentingan pengusaha. UU ini telah memuluskan bisnis para pengusaha properti karena rakyat akhirnya memiliki dana untuk membeli rumah secara kredit. Namun tetap saja, hanya mereka yang punya penghasilan cukup yang mampu mengakses Tapera. Rakyat miskin tetap saja gigit jari. Terlebih, Tapera mendorong umat untuk melakukan transaksi batil dan ribawi yang jelas-jelas haram dalam Islam. Tidak seharusnya muslim memanfaatkannya.



Solusi


Syaikh Abdurrahman al-Maliki di dalam as-Siyâsah al-Iqtishadiyah al-Mutslâ menjelaskan bahwa Politik Ekonomi Islam merupakan Kebijakan yang diterapkan oleh Negara Khilafah untuk menjamin pemenuhan seluruh kebutuhan dasar rakyat, orang-perorang, secara menyeluruh, serta menjamin kesempatan untuk memenuhi kebutuhan sekunder mereka sesuai dengan kadar yang mampu diraih sebagai manusia yang hidup dalam suatu masyarakat yang khas, dengan corak dan gaya hidup yang unik.


Dalam Politik Ekonomi Islam (PEI), negara menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok dan dasar rakyat, serta kesempatan terpenuhinya kebutuhan sekunder seluruh rakyat, orang per orang (tanpa memandang ras, suku dan agama) secara menyeluruh. Kebutuhan dasar rakyat itu meliputi kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan papan, serta kebutuhan dasar rakyat secara umum, yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan.


Jaminan pemenuhan kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, dan papan diberikan oleh negara dengan mekanisme tidak langsung. Artinya, negara berusaha mendorong dan memfasilitasi setiap individu untuk bekerja terlebih dulu secara mandiri sesuai dengan kemampuan. Konsekuensinya, karena setiap individu akan berbeda-beda kemampuan dan keahliannya, maka bentuk pemenuhannya berbeda-beda antar individu. Misal, dari sisi papan atau perumahan, ada individu yang bisa membuat rumah yang mewah, sementara yang lain hanya bisa membangun rumah yang sederhana meski tetap memenuhi kelayakan sebuah rumah, baik secara syar’i maupun aspek kesehatan. Namun, jika dengan dorongan dan fasilitas yang disediakan oleh negara mereka belum juga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya maka di sinilah peran negara secara langsung memberikan jaminan kepada individu tersebut.


Negara dalam sistem Islam, yakni Khilafah, menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat akan perumahan yang aman, nyaman, dan syar’i. Hal tersebut dilakukan melalui beberapa mekanisme sebagai berikut.


Pertama, Khilafah akan menerapkan politik perumahan Islam, yakni sekumpulan syariat dan peraturan administrasi, termasuk pemanfaatan riset dan teknologi terkini. Ia merupakan bagian integral dari pelaksanaan seluruh sistem kehidupan Islam. Kehadiran penguasa sebagai pelaksana syariat menjadikan khalifah berkarakter penuh kepedulian dan tanggung jawab. Khalifah bukan berposisi sebagai regulator, melainkan sebagai peri’ayah (raa’in) dan penanggung jawab atas urusan rakyatnya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam (khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).


Rasulullah ﷺ telah mencontohkan, saat awal hijrah dari Makkah ke Madinah, dibantu dengan para mu’awin (pembantu) nya, beliau ﷺ mengurus tempat tinggal kaum Muhajirin di Madinah karena mereka hijrah tanpa membawa harta. Di Madinah, sebagai kepala negara, Rasulullah ﷺ menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau ada ahlus-shuffah. Mereka adalah para sahabat tergolong dhuafa. Mereka diizinkan tinggal di Masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara. Demikian juga pada masa kekhilafahan Islam, para khalifah telah mengatur tata kota dengan sebaik baiknya, termasuk mengatur lahan perumahan.


Kedua, Khilafah memastikan bahwa rumah yang dibangun haruslah layak huni, nyaman, dan syar’i. Islam telah mengajarkan agar setiap orang tua memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan saat mereka balig. Rasulullah ﷺ bersabda “Perintahkanlah anak-anak kalian salat tatkala mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila masih enggan salat tatkala mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka pada tempat-tempat tidurnya.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim). Ajaran lainnya adalah meminta anggota keluarga untuk mengetuk kamar orang tua saat ingin masuk pada tiga waktu, yakni setelah Isya, sebelum Shubuh, dan saat istirahat pada siang hari (lihat Q.S. An-Nur [24]: 58). Artinya, rumah yang syar’i harus memiliki kamar untuk orang tua, anak laki-laki, dan anak perempuan, serta satu kamar lagi, yakni untuk tamu, karena Islam memerintahkan umatnya untuk memuliakan tamu.


Ketiga, Islam menetapkan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar individu berupa sandang, papan dan pangan dengan cara mewajibkan setiap pria yang baligh, berakal dan mampu, untuk bekerja. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya, seperti anak, istri, ibu, bapak dan saudaranya. Dalam hal ini negara wajib menyediakan lapangan kerja yang halal seluas-luasnya dan menutup lapangan kerja dan transaksi bisnis yang haram serta membangun iklim yang kondusif untuk berkembangnya usaha dan investasi yang halal. Jika individu tersebut tidak mampu dan tidak bisa memenuhi kebutuhannya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka beban tersebut dibebankan kepada ahli waris dan kerabat dekatnya.


Keempat, Khilafah memastikan bahwa harga rumah yang dibangun bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Rumah sendiri merupakan kebutuhan dasar individu dengan skema jaminan pemenuhannya berdasarkan penanggung jawab nafkah. Fungsi negara dan sistem kehidupan Islam yang diterapkan mendlukung penuh fungsi dan kewajiban individu tersebut. Masyarakat dengan penghasilan rendah akan dibantu negara dengan skema subsidi, kredit tanpa bunga, dll. Bahkan, negara bisa memberikan rumah kepada fakir miskin yang memang tidak mampu membeli rumah. Alhasil, setiap individu rakyat akan benar-benar merasakan jaminan pemenuhan kebutuhan perumahan.


Kelima, Khilafah mengambil pembiayaan untuk tata kelola perumahan dari kas negara (Baitul Mal). Saat kas negara kosong, sedangkan masih banyak rakyat yang tidak memiliki rumah, negara bisa menarik pajak dari orang kaya. Namun, sifatnya temporer, yakni pungutan dihentikan setelah kebutuhan terpenuhi. Negara tidak akan mengambil pembiayaan dari utang luar negeri. Selain haram karena mengandung riba, yang demikian juga akan menyebabkan kemudaratan. Sebagaimana kita ketahui bahwa utang luar negeri adalah alat penjajahan ekonomi negara kaya terhadap negara miskin.


Khilafah juga akan memastikan semua sumber daya bagi pembangunan perumahan akan termanfaatkan secara maksimal bagi terwujudnya jaminan pemenuhan kebutuhan rumah setiap individu masyarakat. Tercatat dalam sejarah peradaban Islam, penyelenggaraan kemaslahatan publik Khilafah benar-benar berada di puncak kebaikan, tidak terkecuali pembangunan pemukiman penduduk dan perkotaan.


Untuk merealisasikan jaminan ini tentu dibutuhkan dana besar. Untuk itu syariah telah mengatur pengelolaan keuangan negara (APBN) secara rinci. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilâfah (Sistem Keuangan Negara Khilafah), secara panjang lebar telah menjelaskan sumber-sumber pemasukan negara (Baitul Mal). Secara garis besar, sumber pendapatan negara ada empat. Pertama: Harta milik umum yang wajib dikelola oleh negara seperti barang tambang (emas, perak, minyak, gas, dll), kekayaan laut, kekayaan hutan, dll. Kedua: fa’i, kharaj, ghanimah dan jizyah serta harta milik negara lainnya. Ketiga: Harta zakat. Keempat : Sumber pemasukan temporal, yaitu pemasukan-pemasukan negara yang bersifat temporal dan non-budgeter di antaranya: infak, wakaf, sedekah, hadiah, harta penguasa yang ilegal (ghulul/haram/hasil korupsi), harta orang-orang murtad dan lain-lain. Dari semua itu, sumber yang utama adalah hasil dari pengelolaan harta milik umum. Potensi pemasukan dari jenis pertama ini sangat besar di Dunia Islam. Untuk Indonesia saja, jika kekayaan alam dikelola dengan benar sesuai syariah, APBN Indonesia akan mendapatkan pemasukan setiap tahunnya sebesar Rp. 1.764 triliun hanya dari satu sumber saja, yaitu kepemilikan umum yang dikelola oleh negara seperti migas, emas, batubara dan yang lainnya. 


Demikianlah penerapan hukum Islam (dalam pengaturan perumahan dan pemukiman) yang dilakukan negara dalam sistem Islam, yakni Khilafah. Ini adalah satu satunya jawaban bagi permasalahan perumahan hari ini. Secara keyakinan, kesahihan konsep, dan bukti penerapannya dalam sejarah peradaban Islam, seluruhnya mengantarkan pada satu kesimpulan, yakni hanya sistem Islam dalam bingkai negara khilafah yang mampu mewujudkan lingkungan perumahan yang aman, nyaman, dan syar’i bagi setiap individu rakyat. 


Wallahu a'lam wa ahkam


https://bisnis.tempo.co/read/1873737/ekonom-kritik-rencana-kenaikan-bbm-ppn-hingga-iuran-tapera-kemiskinan-akan-bertambah

https://kumparan.com/yanu-prasetyo/polemik-tapera-ambisi-di-tengah-daya-beli-yang-kian-tergerus-22qAjHJmxiE

https://media-umat.info/islam-bentuk-sistem-ideal-peduli-masyarakat-miskin/

https://media-umat.info/politik-ekonomi-islam-menjamin-terpenuhinya-kebutuhan-primer/

https://muslimahnews.net/2023/12/17/25618/

https://populis.id/read66060/tapera-jokowi-adalah-sejahat-jahatnya-kebijakan

https://www.aslinews.id/tajuk-rencana/amp/98406951/editorial-menimbang-kewajiban-tapera-untuk-semua-pekerja/

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240530073653-78-1103593/uang-tapera-untuk-siapa

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240603194644-78-1105383/1249-ribu-pns-tak-bisa-cairkan-tapera-rp567-m-pada-2020-2021

https://www.instagram.com/p/C7gKWBDvkk9/?igsh=MXM2bnN1OHU5eG5q

https://www.tapera.go.id/dashboard-faq/