HIV di Medan Meningkat, Stop Normalisasi Kemaksiatan!



Oleh: Rahmah Khairani, S.Pd

Masih menjadi misteri mengapa penyakit HIV tidak dapat disembukan. Apakah ini tanda teguran Tuhan? Atau hanya masalah waktu sampai obatnya ditemukan? Yang jelas penyakit ini tersebar dari perbuatan maksiat manusia yang sudah tidak karuan. Penyebab utama penularannya dari aktivitas seksual yang menyimpang. Ironinya adalah jika janin-janin tak berdosa ikut tertular dari orangtuanya, juga suami atau istri setia yang ikut terinfeksi akibat pasangannya suka “jajan” di luar.

Dilansir dari laman tvnews.com (22/5), jumlah pasien HIV d Medan, Sumatera Utara meningkat sejak awal tahun 2024. Jumlah pasien yang menjalani perawatan di RSUD dr. Pirngadi rata-rata setiap bulannya sekitar 600 pasien. Menurut Kabag Hukum dan Humas RSUD dr. Pirngadi Medan, Gibson Girsang, sampai saat ini terdapat 179 pasien HIV yang sedang menjalani perawatan dalam status rawat jalan. 

Ahli penyakit tropik dan infeksi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dr Erni Juwita Nelwan, SpPD menjelaskan ada sejumlah perilaku yang mempermudah penularan terjadi. Perilaku tersebut berupa seks bebas (heteroseksual dan homoseksual), berganti-ganti pasangan tidak menggunakan pelindung (kondom), dan menggunakan jarum suntik secara bergantian (detikHealth). 

Pergaulan bebas tidak dapat dipisahkan dengan eksisnya penjualan minuman berakohol, tempat-tempat hiburan, lokalisasi pekerja seks komersial dan sebagainya. Masalahnya, pergaulan bebas di negeri ini tidak mendapat perhatian serius untuk dihentikan justru subur dan difasilitasi dengan payung hukum. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomo 158 Tahun 2018, ada tarif yang ditetapkan untuk cukai minuman berakohol, yaitu: Rp 20 ribu/liter untuk semua jenis etil alkohol dengan kadar berapa pun, baik produksi dalam negeri maupun impor; Rp 15 ribu/liter minol kadar 5%; Rp 33 ribu/liter minol kadar 5-20% (produk dalam negeri); Rp 44 ribu/liter minol kadar 5-20% (produk impor); Rp 80 ribu/liter minol kadar 20% (produk dalam negeri); Rp 139 ribu/liter minol kadar 20% (produk impor); Rp 1.000/gram untuk konsentrat yang mengandung etil alkohol (geriku.kemkes.go.id). WHO menilai kebijakan pajak terhadap minuman berakohol adalah untuk mengurangi konsumsi, sebab harganya yang mahal akan menyulitkan masyarakat menjangkaunya. Memang pada faktanya rerata konsumsi alkohol tiap orang per kapitas setiap tahun mengalami penurunan. BPS menyebut penurunan konsumsi minol dari tahun 2018 ke tahun 2022 mencapai 30% yakni dari 0,48 liter/kapita menjadi 0,33/kapita (boks.katadata.co.id). Meskipus terus turun, tidak berarti bahwa konsumsi minol akan hilang. Masyarakat harus memahami bahwa titik krusialnya bukan terdapat pada angka konsumsi melainkan pada esksistensi minumal berakohol yang diperjual belikan secara legal itu sendiri. 

Tempat-tempat hiburan atau objek (Pajak Barang dan Jasa Tertentu) PBJT jenis jasa kesenian dan hiburan seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa terus eksis di negeri ini karena di lindungi undang-undang. Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) menetapkan pajak tempat-tempat hiburan atau objek PBJT sebesar 40-75%. Di satu sisi pemerintah pasti sudah mengetahui bahwa pergaulan bebas terjadi di tempat-tempat tersebut, namun di sisi lain pemerintah menjadikan tempat-tempat tersebut sebagai pemasukan negara lewat pajaknya. Ini adalah sebuah ambiguitas yang tersistemi secara kapitalistik. Bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa negara akan melindungi generasi dari pergaulan bebas sementara tempat-tempat serta minuman yang memicu terjadinya pergaulan bebas serta kejahatan dibiarkan terus eksis? Bagaimana logika berpikir negara yang “mengutuk” perilaku menyimpang tapi justru menikmati uang yang di hasilkan dari wadahnya? Secara tidak langsung negara turut menyumbang tersebarnya HIV di masyarakat. Inilah yang terjadi akibat sistem sekulerisme-liberal yang diterapkan. Aturan agama dipinggirkan demi kebebasan hak berperilaku manusia. Akhirnya kemaksiatan dianggap biasa oleh masyarakat. Padahal normalisasi terhadap kemaksiatan adalah pangkal dari kerusakan selanjutnya. 

Pergaulan bebas yang dibiarkan adalah bentuk hilangnya penjagaan negara terhadap kehormatan manusia. Lahirnya HIV dari pergaulan bebas adalah bentuk tidak seriusnya negara menjaga kehidupan dan nyawa manusia. Semua ini sangat berbanding terbalik dengan kehidupan di sistem Islam. Dalam sejarah peradaban yang dipimpin sistem Islam, negara menerapkan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat. Islam mengharamkan khamr atau minuman berakohol dan juga seks bebas. Negara Islam tidak membiarkan tempat-tempat maksiat berdiri. Negara tidak mencari pemasukan dari penarikan pajak tempat-tempat maksiat sebagaimana di sistem hari ini. Negara juga senantiasa mengedukasi masyarakat dengan pemahaman Islam dan menghidupkan suasanan takwa di tengah-tengah masyarakat. Kontrol masyarakat berjalan dengan aktivitas amar ma’ruf dan nahi mungkar. Negara juga turut menerapkan sikap kuratif jika terjadi pelanggaran syariat dengan memberikan sanksi tegas. Sehingga dapat dipastikan penyakit HIV tidak mendapat kesempatan untuk hidup apalagi subur seperti hari ini. Oleh karena itu, umat Islam harus rindu dengan kehidupan Islam dan turut berperan memperjuangkannya. Wallahu a’lam bish showab.