Celah Bahaya dalam Industri Sepak Bola



#RubrikMuslimah

Oleh: Rahmah Khairani (Aktivis Muslimah Sumut)


Akhir-akhir ini perhatian publik tersedot ke para pemain timnas Indonesia. Harus diakui, rasa nasionalisme terbangkitkan dan menumbuhkan rasa kecintaan pada tanah air. Para pejabat di berbagai daerah kompak mengadakan nonton bareng warganya yang sangat antusias. Secara tanpa sadar nobar telah sukses membuat para pejabat mendapat citra positif. Sehingga sulit memisahkan antara sepak bola dari aspek politik.

Sepak bola hari ini, tidak dapat dipandang sebagai olah raga biasa. Olahraga terpopuler di dunia ini, sudah menjadi industri raksasa. Mulai dari klub yang menaungi, pelatih, pencarian pemain terbaik, sesi latihan rutin, stadion, tiket nonton, seragam, merchandise, dan sebagainya. Keberadaannya seperti sudah menjadi kebutuhan tersendiri untuk hiburan khalayak. Pertandingan antar klub, olmpiade antara negara, hingga piala dunia selalu sukses menyita atensi publik, termasuk muslimah. Bahkan gaya hidup dan rumor para pemain menjadi konsumsi yang ditunggu-tunggu para penggemar. Maka tak heran bila banyak anak-anak yang bercita-cita menjadi pemain bola. 

Sepak bola sekedar permainan tentu sah-sah saja, tetapi apabila sudah menjadi industri yang dijaga oleh negara, maka ini problematik. Sepak bola sesungguhnya bukanlah sesuatu yang wajib hukumnya ada dalam negara, sebab ia bukan merupakan kebutuhan pokok yang harus dijamin negara kepada warganya. Justru negara harus memastikan pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan setiap individu  dalam negara. Inilah fungsi negara yang sering mengalami distraksi oleh hal-hal yang tidak lebih penting. Terlebih lagi sistem kapitalisme sebagai asas, menjadikan negara lebih sibuk mengejar pembangunan fisik dan citra ketimbang pembangunan manusia. Hal itu akan menyebabkan negara abai terhadap pemenuhan kebutuhan asasi karena sibuk mengurusi “kebutuhan hiburan”.

Di sisi lain, sepak bola sangat berpotensi membangkitkan rasa nasionalisme. Meski tidak mutlak tetapi ini cukup berbahaya jika dimiliki oleh seorang muslim. Karena di dalam Islam, apabila ia memiliki rasa kecintaan terhadap tanah air yang memunculkan sikap pembelaan kepada bangsa dan negaranya serta menyakini bahwa bangsa atau negaranya berbeda dengan bangsa lain, maka bisa terkategori ‘ashobiyah. Padahal Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sangat membenci sikap ‘ashobiyah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa berjuang di bawah bendera kefanatikan, bermusuhan karena kesukuan dan menyeru kepada kesukuan, serta tolong menolong atas dasar kesukuan maka bila dia terbunuh dan mati, matinya seperti jahiliyah” (HR. Muslim). Celaan Rasulullah terhadap sikap ‘ashobiyah di dalam hadits tersebut mengindikasikan keharaman hukumnya. Maka setiap muslim wajib menjaga dirinya dari sikap tersebut.

Di sisi lain, seorang pengemban dakwah khususnya tidak seharusnya tersibukkan dengan aktivitas yang miubah. Sebab bagi mereka, waktu adalah sesuatu yang sangat penting dan terlalu berharga apabila dihabiskan hanya untuk sekadar mengikuti event-event semacam ini, apalagi jika sampai mengorbankan hal-hal yang lebih prioritas untuk ia kerjakan. Selain itu, event-event semacam ini sangat sulit dipisahkan dari kemungkaran, seperti campur baur sebagaimana yang dilakukan oleh generasi muda-mudi, minuman keras, melihat aurat - dan berbagai persoalan pergaulan lainnya antara laki-laki dan perempuan, sampai perjudian. Maka dikhawatirkan mereka akan terjebak menikmati atau paling tidak mereka diam terhadap kemungkaran-kemungkaran tersebut. Wallahu a’lam.