Rice Cooker Gratis Saat Harga Beras Naik Drastis, Buat Apa?

 


Oleh : Ian [Aktivis Mahasiswa]

 

Kementrian ESDM telah menyiapkan kebijakan bagi-bagi Rice Cooker gratis. Jika sesuai rencana, ada sekitar 500 ribu rice cooker yang akan didistribusikan ke masyarakat mulai awal November 2023.

 

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menerangkan, pemerintah telah menyiapkan anggaran dan peraturan program bagi-bagi rice cooker ini. Pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memastikan produsen mampu memenuhi kebutuhan barangnya. Dia mengatakan, tujuan dari program ini salah satunya untuk menekan impor LPG.

 

Berdasarkan Permen ESDM 11/2023, calon penerima Alat Masak Berbasis Listrik atau AML merupakan rumah tangga dengan kriteria pelanggan PT PLN (Persero) atau PT PLN Batam. Ketentuan kriteria pelanggan tersebut antara lain golongan tarif 450 VA, 900 VA, dan 1.300 VA yang berdomisili di daerah yang tersedia jaringan tenaga listrik tegangan rendah yang memperoleh pasokan listrik selama 24 jam per hari. Sementara itu, Kementerian Keuangan telah menganggarkan program rice cooker gratis tersebut mencapai Rp 347,5 miliar untuk 500 ribu rumah tangga. Anggaran tersebut bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian ESDM Tahun 2023.

 

Dr. Krisdyatmiko, dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, mengatakan kebijakan pembagian rice cooker tidak tepat dikarenakan guncangan dan kerentanan sosial saat ini adalah kemarau panjang dan rawan pangan, bukan rawan alat untuk memasak pangan. Jika ditelisik lebih lanjut argumen yang digunakan pemerintah untuk kebijakan pembagian rice cooker adalah bansos. Hal itu kurang tepat, namun lebih tepat sebagai upaya untuk substitusi energi karena ternyata saat ini sedang kelebihan pasokan listrik PLN. Sehingga masyarakat didorong untuk menggunakan listrik yang berlebih tersebut. Penggunaan rice cooker ditujukan kepada masyarakat miskin yang diharapkan mampu menggantikan penggunaan tabung gas melon 3 kg.

 

Dr. Krisdyatmiko menilai kebijakan ini berpotensi menimbulkan pemborosan energi sebab karakter rumah tangga miskin di beberapa daerah pedesaan saat ini meskipun sudah relatif kecil masih ada yang memasak menggunakan dahan dan ranting. Kegiatan ini biasanya dilakukan di desa yang berlokasi dekat hutan dengan memanfaatkan dahan ranting yang sudah kering. Disamping itu, hampir tiap rumah tangga kini baik di kota maupun desa sudah punya rice cooker masing-masing. Beralih atau menambah rice cooker tentu akan menambah pengeluaran harian mereka untuk biaya listrik. Justifikasi membandingkan dengan keluarga yang selama ini menggunakan gas itu akan lebih murah sekian ribu per bulan jika memasak nasi atau bahan pangan yang lain beralih menggunakan listrik. Tetapi dalam prakteknya masih ada keluarga yang tidak menggunakan gas untuk memasak yang tentunya akan menambah biaya untuk mereka.

 

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, program bagi-bagi rice cooker ini bukan solusi tepat untuk menyerap kelebihan pasokan listrik (over supply) di wilayah Jawa dan Bali. Sebab, pengurangan pasokan listrik bisa dilakukan dengan menahan keran produksi listrik di hulu yakni dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Di sisi lain, saat ini bagi-bagi rice cooker dinilai tidak tepat waktu karena rumah tangga yang berhak menerima, yakni rumah tangga kecil pada tegangan rendah dengan daya 450 - 900 volt ampere (R-1/TR) atau masuk dalam kategori masyarakat miskin, sedang didera masalah harga beras yang terus membengkak.

 

Menurut Bhima, alasan program clean cooking untuk mengurangi impor LPG, dinilai juga kurang efektif karena pemerintah seharusnya saat ini lebih fokus untuk menjalankan program distribusi LPG subsidi tepat sasaran yang pendaftarannya sudah dimulai sejak awal tahun ini. Maka itu, pelaksanaan program bagi-bagi rice cooker ini dirasa janggal karena terkesan terlalu memaksakan perubahan kebiasaan masyarakat miskin yang sejatinya juga berhak mengkonsumsi LPG 3 kg. “Jadi saya khawatir program ini ada kaitannya dengan pemborosan anggaran jelang Pemilu, ini kebijakan yang tidak berguna. Kebijakan yang bersifat populis menghabiskan anggaran tetapi tujuan besar yang ingin dicapai dan target tidak jelas,” tegasnya. Ia menilai, kebijakan ini cukup membingungkan publik sehingga meminta agar program ini kembali diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait manfaat dan dampaknya.

 

Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi, menilai penggunaan rice cooker menggunakan listrik yang lebih bersih daripada LPG, namun hampir tidak berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon karena kapasitasnya sangat kecil. Menurutnya, berlakunya Permen ESDM 11/2023 bersamaan dengan tahun politik, sehingga dia menduga keuntungan atau cuan dari pengadaan rice cooker akan mengalir untuk pemenangan Pilpres dan Pileg. "Kalau dugaan tersebut benar, maka Menteri ESDM harus didesak untuk membatalkan Permen pembagian rice cooker gratis. Jangan sampai dana APBN digunakan untuk bagi-bagi cuan kepada perusahaan yang berkedok pembagian rice cooker gratis," tutur Fahmy.

 

Belum lagi fakta bahwa lebih dari 50% pembangkit listrik yang beroperasi di Indonesia saat ini ternyata milik pengembang listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP). Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Mega Project PLN Muhammad Ikhsan Asaad dalam diskusi daring bertema 'Energy Landscape After Pandemic: Renewable Win' pada Kamis, (05/11/2020).

 

Dari pemaparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya telah terjadi kelebihan suplai listrik dan bagaimana caranya agar PLN yang sudah terlanjur teken kontrak dengan pembangkit swasta tidak merugi. Kemudian dilakukan berbagai cara agar over supply listrik ini dapat terserap dengan optimal, salah satunya dengan penyediaan Alat Masak Berbasis Listrik (AML) oleh kementerian ESDM. Padahal pengadaan AML saat ini bukanlah masalah prioritas yang harus segera diatasi, malah hanya akan menambah beban masyarakat. Jelas sekali paradigma pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan ini adalah paradigma bisnis. Kebijakan ini tercium sangat beraroma kapitalisme-liberal karena menyerahkan distribusi energi kepada mekanisme pasar.

 

Liberalisasi dalam bidang energi tampak pada semakin kecilnya peran negara (BUMN) dalam mengelola sumber daya energi. Kini, sebagian besar sumber daya energi, terutama listrik di Indonesia dikuasai oleh swasta domestik maupun asing. Maka tentu pihak swasta dapat mengeruk keuntungan yang sangat besar dari kebijakan pengadaan ribuan AML ini. Dengan kekuatan finansial yang besar ini pula swasta pada akhirnya dapat masuk ke ranah politik baik sebagai sponsor ataupun terjun langsung demi melanggengkan kepentingan mereka. Praktik ini akrab disebut korporatokrasi.

 

 

Energi Milik Umat

 

Nabi ﷺ bersabda :

اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاث فِي الْمَاءِ وَالْكَلإ وَالنَّارِ وَثَمنَهُ حَرَام

 

Artinya : "Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal : air, padang rumput dan api; dan harganya adalah haram". [HR. Ibnu Majah]

 

Yang dimaksud dengan api (ألنَّار) dalam hadits di atas adalah seluruh sumber daya alam yang bisa menghasilkan energi, seperti minyak bumi, batubara, gas alam, listrik, dan yang semisal dengannya. Minyak dan gas ketika keduanya sebagai barang yang dibutuhkan publik, maka keduanya adalah barang milik umat secara kolektif. Haram dimiliki individu (swasta), baik domestik maupun asing.

 

Islam melarang tegas negara ataupun individu untuk men-swastanisasi harta milik umum (rakyat) tersebut, apalagi hingga dimiliki oleh swasta/individu.

 

Barang yang termasuk kepemilikan umum (umat) dikelola oleh negara untuk kepentingan publik. Negara boleh memberikan kepada rakyat secara gratis atau menetapkan harga tertentu yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat, karena negara hanya mewakili rakyat untuk mengelola barang tersebut.

 

Distribusi energi dilakukan oleh negara untuk kepentingan masyarakat, bukan diserahkan pada mekanisme pasar dengan cara jual dan beli yang berlandaskan untung dan rugi. Negara tidak boleh mewajibkan rakyat untuk membeli kelebihan pasokan energi dengan motif bisnis demi kepentingan swasta pemilik sumber daya energi.

 

Prioritas utama pengelolaan sumber energi dalam Islam adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dalam negeri, bukan tujuan ekspor keluar negeri dengan mengabaikan kebutuhan rakyat dalam negeri.

 

Tenaga ahli untuk mengelola sumber energi milik umum ini pun harus berasal dari lulusan perguruan tinggi dalam negeri. Jika pun harus mengontrak tenaga ahli dari luar negeri statusnya hanyalah sebagai tenaga kontrak profesional yang akan diupah dengan sejumlah upah sesuai kesepakatan yang dibuat. Namun jumlahnya pun tidak akan melebihi jumlah tenaga ahli yang berasal dari dalam negeri.

 

Gaji atau upah yang akan diberikan pada para tenaga ahli diambil dari hasil pengelolaan sumber energi milik umum tersebut dan masuk menjadi bagian dari biaya operasional tetap pengelolaan sumber energi dalam bentuk perusahaan milik umum yang dikelola negara, yang konsep pergerakan perusahaannya adalah non-komersiil dalam arti bukan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, namun untuk memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan hidup masyarakat dalam negeri.

 

Negara dilarang melakukan penjualan aset milik umum atau masyarakat, berupa sumber energi kepada pihak swasta apalagi asing, dalam bentuk apapun. Sebab, syari'at melarangnya, sehingga ketika sumber energi tersebut seratus persen dikelola negara dengan tata kelola sesuai dengan hukum syari'at, negara akan terhindar dari berbagai macam spekulasi ekonomi yang bisa menjerat negara menjual aset, sehingga dikuasai oleh pihak yang tidak bertanggung jawab yang diharamkan penguasaannya oleh syari'at.

 

Segala hasil pengelolaan sumber energi diserahkan kepada masyarakat dalam bentuk pelayanan publik yang mudah, tidak sulit, tidak rumit, malah cenderung memudahkan dan melapangkan kehidupan masyarakat. Sebab, besarnya subsidi langsung yang diterima masyarakat sebagai hasil dari pengelolaan sumber energi milik umum oleh negara. Sehingga bukan hanya rice cooker gratis, negara juga mampu menyediakan pendidikan, kesehatan, dan keamanan gratis bagi seluruh warga masyarakat tanpa kecuali, sebab benarnya tata kelola sumber energi ini, yaitu sesuai tuntunan syari'at.

 

Hikmahnya adalah saat seluruh sumber energi tersebut dikelola dengan benar menurut sistem Islam yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, maka bumi akan terjaga keseimbangannya dan ketersediaanya. Sebab, tata kelola sumber energi tersebut ramah lingkungan dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.

 

Wallahu A'lam Bish-shawaab