FOOD ESTATE DAN POLEMIK KETAHANAN PANGAN

 


Oleh Farkhan Aziz

Setiap bulan Oktober selalu diperingati Hari Pangan Nasional. Menariknya, beberapa pekan terakhir justru harga pangan termasuk beras melambung naik di pasaran. Kondisi ini tentunya menimbulkan keluhan dimasyarakat. Proyek food estate yang digagas oleh pemerintah dinilai gagal dalam mengatasi persoalan pangan.

Sebagaimana diketahui, program food estate atau lumbung pangan ini sudah dimulai sejak tahun 1970 di era presiden Suharto, kemudian dilanjutkan pada masa presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan kini digaungkan kembali oleh presiden Joko Widodo pada periode kedua kepemimpinannya yang ditandai dengan pidato kenegaraan pada sidang tahunan MPR pada 14 Agustus 2020. Program  food estate menjadi salah satu dari 10 Program Strategis Nasional (PSN) tahun 2020-2024 lewat Peraturan Presiden No 109/2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN).

Presiden menyebutkan, food estate merupakan progam guna mengantisipasi krisis pangan dan meningkatkan ketahanan pangan nasional. Food estate dilakukan dibeberapa lokasi di Indonesia seperti; Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua. Alih-alih mampu mengatasi persoalan pangan, food estate justru menimbulkan masalah baru.

Di Desa Fatuketi, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur misalnya, petani terpaksa membeli air untuk menyirami ladang jagung yang hampir mati akibat kekeringan. Para petani harus mengeluarkan uang sebesar Rp120.000,- untuk satu tangki berisi 5.000 liter. Butuh setidaknya dua tangki untuk mengairi 2 hektar lahan jagungnya. Daniel Halek (53), Ketua Kelompok Tani yang juga salah satu petani disana menyebutkan sudah sepekan air bendungan tidak mengalir. ”Kalau tetap tidak ada air, tujuh hari ke depan pasti jagung mati semua.” Imbuhnya.

Menurut pengakuan Daniel, sebelum menanam jagung, anggota kelompok tani di Blok C sudah berdiskusi dengan pengelola bendungan dan petugas penyuluh lapangan (PPL) apakah air mencukupi untuk penanaman kedua kali ini. Menurut pengelola bendungan, air tidak mencukupi. ”Kalau tahu seperti ini, kami tidak menanam dulu,” katanya.

Saat diresmikan, Presiden Joko Widodo berpidato di tengah ladang, sementara di belakangnya, sprinkler menyiram secara otomotis tanpa henti. Namun saat Presiden Joko Widodo bertolak dari lokasi, sprinkler air tesebut mulai bermasalah hingga tak digunakan kembali oleh para petani.

Persoalan food estate juga terjadi di Provinsi Sumatera Utara tepatnya di Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas). Pemerintah mentargetkan lahan yang akan digunakan seluas 30.000 hektar, namun yang baru dikelola baru sekitar dikelola 1.200 hektar dan yang dikelola petani hanya 100 hektar.

Irma Suryani Lumban Gaol salah seorang petani di Desa Siria-Ria yang sejak tahap awal turut serta dalam proyek lumbung pangan juga menuturkan bahwa lahan food estate lebih banyak menjadi lahan tidur. Ini diakibatkan akses menuju lokasi lahan cukup sulit, belum diaspal, terjal dan licin saat musim hujan. Lahan yang awalnya hutan lindung tersebut, hanya dipagari oleh pohon pinus sebagai pembatas wilayah food estate.

Sebagian besar petani enggan menggarap lahan tersebut lantaran sudak tak sanggup lagi pasca gagal panen. Pada mulanya para petani mendapatkan bantuan dari pemerintah melalui Kementerian Pertanian berupa pembukaan lahan, pemberian pupuk, obat-obatan, dan benih, pungkas Irma. Namun, benih komoditas yang diminta ditanam adalah bawang putih. Komoditas itu, menurut dia, tak cocok dengan tanah disana, sehingga hasilnya gagal panen.

Irma melanjutkan, dari hasil program bantuan ini tidak ada hasilnya. “Enggak ada sama sekali kami bisa jual. Lahan kami dikasih bibitnya bawang putih, enggak cocok," ujar Irma.

Pada produksi di tahap kedua, mereka tidak dapat kembali menanam. Pasalnya, mereka tak lagi mendapatkan bantuan apapun, termasuk pendampingan. Sementara itu, Kementerian Pertanian berdalih petani harus mandiri setelah diberikan bantuan pada tahap pertama. Menariknya, petani diberi tahu pengelolaan food estate Humbang Hasundutan telah dialihkan dari Kementerian Pertanian ke Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) yang dipimpin oleh Luhut Binsar Pandjaitan.
Nampaknya pemerintah tak akan benar-benar fokus bahkan menjadi beking pada persoalan ketahanan pangan, justru lebih memberi perhatian kepada persoalan investasi. Ini dibuktikan dari pernyataan anak buah Luhut, Van Basten Pandjaitan yang menegaskan pemerintah tak akan menggelontorkan uang negara untuk proyek food estate di Humbang Hasundutan. Van Basten yang ditunjuk Luhut menjadi manajer lapangan itu menegaskan pemerintah tak mungkin kembali menggelontorkan dana APBN.

Ia yakin lahan megaproyek lumbung itu terbengkalai hanya karena para petani tak sanggup modal untuk biaya produksi. Karena itu dia akan terus mendorong petani swadaya di food estate untuk bermitra bersama perusahaan agar mendapatkan modal untuk menggarap lahan tersebut.

Keterlibatan korporasi dan perusahaan agribisnis menjadikan petani sebenarnya bukan menjadi pemain utama. Hal ini akibat pemerintah membuka kran lebar-lebar para swasta untuk ikut serta dalam pengelolaan lumbung pangan ini. Akibatnya, para korporasi dan perusahaan agribisnis ini mulai turut serta dari persiapan produksi (penyediaan benih dan pupuk), pendampingan selama proses produksi, sampai off-taker hasil panen.

Keterlibatan korporasi dan perusahaan agribisnis jelas akan menggunakan logika bisnis alias keuntungan. Luasnya akses perusahaan dalam melakukan skema kontrak dan kerja sama akan merubah kultur pangan kita dari peasant based and family farming menjadi corporate based food dan agriculture production. Dan ini pernah terjadi pada tahun 2021 ketika peneliti dari Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Desa Siria-Ria, menemukan fakta bahwa Musim Tanam II skema kontrak dan kerja sama antara perusahaan dengan petani sudah terjadi.

Bila mengutip dari paparan Kementerian Pertanian, food estate setidaknya dijalankan dalam delapan alur. Pertama, dimulai dari konsolidasi petani dalam kelompok tani/gabungan kelompok tani. Kedua, memfasilitasi sarana dan prasarana, serta pendukung lainnya. Ketiga, penyiapan infrastruktur tata air. Keempat, menempatkan petani sebagai anggota koperasi yang mengusahakan budidaya pertanian.

Selanjutnya yang kelima, koperasi bersama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMdes) membentuk Perseroan Terbatas (PT) untuk mengelola Korporasi Petani. Keenam, bisnis Rice Milling Unit (RMU) desa terkonsolidasi dalam Korporasi Petani. Ketujuh, swasta sebagai mitra strategis bagi korporasi petani. Lalu yang kedelapan, korporasi petani memasarkan produk hasil pertanian.

Melihat alur yang cukup panjang inilah sebenarnya food estate yang seharusnya menemukan jalan keluar dari persolanan krisis pangan malah menimbulkan persoalan baru bagi petani khususnya dan masarakat pada umumnya.


MENUAI BANYAK KRITIK

Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyebut proyek food estate telah gagal dan juga telah mendapat kritik dari para akademisi dan aktivis lingkungan. Menurutnya, food estate merupakan program yang hanya mengandalkan ekstensifikasi lahan saja, tetapi mengabaikan faktor ekologi dan sosial.

Pada kesempatan yang lain, AHY juga menyoroti persoalan banyaknya lahan yang dibabat tanpa ada hasil “food estate, di mana ada jutaan hektare dibabat, terus gagal. Padahal sudah habis. Nah, ini mau gimana?” kata AHY di acara Fisipol Leadership Forum, UGM, Sleman, Kamis (20/7).

Bakal calon wakil presiden (bacawapres) Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Abdul Muhaimin Iskandar atau yang lebih akrab Cak Imin juga menyebutkan bahwa program food estate yang dibuat oleh Presiden Jokowi dinilai gagal.

Cak Imin mengatakan, pemerintah harusnya turun tangan langsung dalam pengelolaan lumbung pangan ini. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menggabungkan lahan-lahan pertanian kecil milik masyarakat, dan mengorganisirnya agar bisa menghasilkan swasembada pangan.

"Maka jalan cepat yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi tanah-tanah pertanian punya rakyat, diorganisir dengan manajemen bisnis raksasa pangan nasional," ujarnya.

Menurut Cak Imin yang juga sebagai Wakil Ketua DPR-RI, sudah seharusnya Indonesia keluar dari krisis pangan dan ketergantungan pada impor pangan. Pasalnya, hal ini sangat berbahaya apabila negara produsen tak mampu lagi memenuhi permintaan Indonesia.

"Kita impor terus dan berbahaya dan negara-negara produsen pun satu titik tertentu akibat El Nino, krisis pangan global akan tidak mengekspor barang ke kita. Kalau kita tidak bisa impor, kita makan dari mana? Kecuali kita (bisa) berswasembada," imbuh dia.

Proyek food estate yang digagas presiden juga mendapat kritik cukup pedas dari partai penguasa. Seperti diketahui, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengkritik program food estate. Hasto menilai kebijakan itu disalahgunakan. Sebab, menurut dia, kebijakan itu mengakibatkan hutan-hutan banyak ditebang habis sehingga dinilai suatu kejahatan lingkungan.

"PDIP ini mempunyai program Merawat Pertiwi. Maka kami mengapa memberikan suatu catatan yang sangat kuat terkait dengan upaya yang telah dilakukan oleh Presiden Jokowi untuk membangun food estate," kata Hasto di Ciawi, Bogor, Selasa (15/8). Dia menjawab soal dugaan dana hasil kejahatan lingkungan mengalir ke partai politik seperti yang diungkapkan PPATK.

"Tetapi, dalam praktik, pada kebijakan itu ternyata disalahgunakan, dan kemudian hutan-hutan justru ditebang habis, dan food estate-nya tidak terbangun dengan baik. Itu merupakan bagian dari suatu kejahatan terhadap lingkungan," tambah Hasto.


SIKAP NEGARA SEHARUSNYA

Negara seharusnya memahami bahwa pangan adalah persoalan vital, sehingga harus memberi perhatian penuh terhadap sektor pertanian. Apalagi Indonesia adalah negara agraris, dengan perekonomian bergantung atau ditopang oleh sektor pertanian. Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah serta dipercaya dapat mendorong perekonomian negeri.

Persoalan pangan di Indonesia juga menyangkut soal distribusi. Oleh karenanya, negara harus memastikan distribusi pangan jangan sampai menghadapi kendala. Bisa jadi disuatu wilayah mengalami gagal panen, namun di wilayah lain sangat dimungkinkan mengalami panen raya. Oleh karena itu, distribusi menjadi sangat penting dalam mengatasi krisis pangan.

Lebih dari itu semua, penulis kira, cara pandang negara soal pangan juga menjadi faktor penting. Ketahanan negara bukan hanya pada banyaknya prajurit militer, alutsista dan amunisi. Sejauh mana negara mampu memastikan ketersediaan pangan untuk rakyatnya dalam setiap kondisi. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, sudah seharusnya negara mengadopsi cara pandang yang islami dalam berbagai hal, tak terkecuali persoalan pangan.

Dalam Islam, pangan adalah kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi oleh negara. Oleh karenanya negara harus melakukan langkah-langkah kongkrit untuk mengatasi persoalan krisis pangan.

Negara melakukan peningkatan produktivitas melalu ekstensifikasi, yakni membuka lahan-lahan yang selama ini tidur, tidak dimanfaatkan dan bahkan lahan tersebut sebenarnya subur namun dimiliki hanya segelintir orang agar diubah menjadi lahan produktif untuk tanaman pangan. Dalam Islam, tanah mati adalah tanah yang tidak tampak adanya bekas tanah yang diproduktifkan. tanah mati bisa dihidupkan oleh siapa saja, baik dengan cara memagarinya dengan maksud mengelolanya, ataupun menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya. Tentu mekanisme akan dilakukan oleh negara.

Tak hanya soal ekstensifikasi, pemerintah juga harus mampu melakukan intensifikasi, yakni dengan memastikan penyediaan benih unggul, bibit unggul yang dapat dilakukan dengan para ahli dibidang pertanian untuk para petani. Memutakhirkan insfraktuktur dan teknologi pangan juga harus dilakukan oleh negara.

Negara juga harus membuat kebijakan mekanisme pasar yang sehat. penimbunan, penipuan, transaksi ribawi, monopoli, dan mematok harga harus dilarang oleh negara, sehingga jalannya perekonomian akan tumbuh secara sehat.

Sedangkan dalam mengatasi persoalan distribusi pangan, negara harus membentuk pegawas pasar atau dalam Islam disebut Qadhi Hisbah untuk melakukan pengawasan terhadap penjual dan pembeli sehingga tercipta sistem pasar yang sehat. Qadhi Hisbah akan menjatuhkan sanksi jika ditemukan adanya pelanggaran.

Demikianlah cara pandang Islam yang seharusnya dilakukan oleh negara dalam mengatasi persoalan pangan secara komprehensif dan fundamental. Food estate tidak akan menemui kegagalan jika cara pandang dan pengaturan sistem ketahanan pangan berdasarkan sistem Islam secara kaffah yang diterapkan oleh negara.[]