Adakah Pejabat Jujur di Sistem Kufur?
Oleh Susan Efrina (Aktivis Muslimah)
Korupsi merupakan sebuah kejahatan karena memiliki dampak yang masif dalam jangka pendek mau pun jangka panjang. Korupsi tidak hanya merugikan negara, tetapi korupsi dapat menyengsarakan rakyat. Rakyat gerah, lelah dan muak ingin meluapkan kekecewaannya pada para pejabat yang korupsi. Mereka tidak punya rasa malu lagi dalam melakukan perbuatan kejahatan tersebut. Di saat rakyat mengalami kesulitan ekonomi, di mana semua kebutuhan sedang merangkak naik maka di situ pula mereka melakukan perbuatan tersebut.
Para pejabat lebih memikirkan kepentingan diri sendiri bahkan kelompoknya, mereka tidak lagi berpihak pada kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Ini terlihat dari fakta Kejaksaan Agung yang melakukan penyidikan dugaan korupsi pembangunan jalur kereta api di Medan Sumatera Utara senilai Rp1,3 Triliun.
Kasus ini terjadi pada periode 2017-2023. “Dugaan tindak pidana korupsi pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa pada Balai Teknik Perkeretaapian Medan tahun 2017-2023 senilai Rp1,3 Triliun,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi di Kejagung, Selasa (3/10/2023). Para pelaku korupsi diduga merekayasa pelaksanaan pembangunan jalur kereta api dengan mengubah nilai proyeknya. “Menjadi beberapa dengan nominal yang lebih kecil dengan tujuan untuk menghindari pelaksanaan lelang,” kata Kuntadi (suara.com, 03/10/2023).
Alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur rentan untuk dikorupsi. Karena APBD di setiap daerah sering kali digunakan untuk pembangunan fisik dibandingkan untuk pembangunan lainnya. Sehingga proyek infrastruktur tergolong mudah untuk “dimainkan” oleh para pejabat, baik tingkat pusat mau pun daerah. Pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat berawal dari sistem pemerintahan yang salah sehingga beberapa pejabat terbukti melakukan pelanggaran dalam penggunaan anggaran.
Perilaku para pejabat korupsi tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain, karena niat dari pejabat, keserakahan, kebutuhan, dan juga sistem yang mendukung peluang atau adanya kesempatan untuk melakukan hal tersebut.
Miris, korupsi terus terjadi di negeri ini. Walau pun sudah dibentuk badan khusus untuk menanggulangi korupsi, tetapi kasus ini makin marak terjadi yang dilakukan oleh para pejabat. Padahal, mereka telah diamanahi untuk mengatur urusan rakyat dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Inilah buah dari sistem kapitalisme yang mana biaya politik dalam sistem ini sangatlah mahal sehingga mengantarkan para pejabat untuk melakukan korupsi.
Fenomena korupsi pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh para pejabat terkesan hanya dibiarkan saja, sehingga mencuat saat ketahuan, tetapi tidak ada upaya yang serius dalam pencegahannya. Indonesia masih belum serius dalam menangani tindak pidana korupsi. Hal ini terlihat masih minimnya hukuman yang didapat para pejabat korupsi tersebut. Dalam sistem kapitalisme, terdapat dorongan untuk terjadinya korupsi karena sistem ini tercipta untuk mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya sesuai dengan hawa nafsu mereka.
Dalam sistem kapitalisme, hilangnya integritas dari individu para pejabat berbanding lurus dengan gaya hidup sekuler yang menjauhkan mereka dari sifat takwa kepada Allah Swt. karena sistem ini menjauhkan agama dari kehidupan yang hanya berlandaskan pada manfaat/keuntungan semata. Kebebasan dalam berbuat menjadi dasar timbulnya kasus korupsi ini.
Jadi, jika ingin menghilangkan korupsi dari negeri ini, maka negara wajib melakukan dua hal, yaitu: Pertama, membentuk ketakwaan kepada individu pejabat, karena takwa adalah sikap seseorang untuk menjaga diri dari azab neraka, ketika melakukan atau meninggalkan perbuatan kejahatan. Aspek ketakwaan akan mendorong seseorang untuk terikat pada hukum syarak dalam setiap melakukan perbuatannya, sadar bahwa Allah Swt. senantiasa mengawasi tingkah lakunya sehingga akan diminta pertanggung jawaban kelak di akhirat.
Kedua, melaksanakan sistem sanksi yang dapat menjerakan para pelaku korupsi. Dalam hal ini hukuman bagi para pelaku korupsi dapat diberi hukuman takzir yaitu hukuman yang disyariatkan atas pelaku maksiat yang tidak ditentukan hudud dan kafaratnya. Ketentuan takzir diserahkan pada khalifah atau hakim. Misalnya, dirampas hartanya terutama harta yang diperoleh dengan cara yang tidak halal atau bisa saja hukuman potong tangan.
Allah Swt. berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 188 yang artinya, “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa padahal kamu mengetahui.”
Dalam Islam ada sistem sanksi di dunia yang dilakukan oleh khalifah atau yang mewakili, zawajir (pencegah dari melakukan kejahatan) dan jawabir (penebus dosa di akhirat). Artinya, ketika ada seorang yang melakukan kejahatan semasa hidup di dunia, maka ia akan kena sanksi di dunia dan Allah akan menghapus dosanya dan akan meniadakan sanksi baginya di akhirat. Sehingga tidak ada lagi para pejabat yang melakukan korupsi.
Jadi, satu-satunya cara mengatasi korupsi ada di dalam penerapan sistem Islam. Sistem yang baik yang berasal dari Allah Swt. cenderung akan membuat para pejabat menjadi baik, karena asasnya akidah Islam. Bagi seorang muslim, akidah menjadi kunci keselamatan dunia dan akhirat. Akidah Islam memberikan keyakinan bahwa manusia, alam dan kehidupan berasal dari Allah. Manusia hidup di dunia hanya untuk beribadah kepada-Nya, dan akan kembali kepada-Nya dengan mempertanggungjawabkan segala perbuatan selama hidup di dunia.
Dengan penerapan syariat dan hukum Islam secara sempurna akan mewujudkan berbagai kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Ini merupakan jaminan dari Allah Swt. yang pasti kebenarannya.
Wallahualam bissawab.