Kesenjangan Pencari Kerja dan Lapangan Kerja, Mengapa Terus Ada?

 


Oleh Muzaidah (Aktivis Dakwah Muslimah)


Jumlah pencari kerja di Indonesia kian bertambah dibandingkan lowongan kerja yang sedikit tersedia. Dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2022, jumlah pencari kerja sebanyak 937.176 orang, sedangkan lowongan kerja hanya 59.276. Artinya 1 lowongan kerja diperebutkan sekitar 16 warga. Jumlah tersebut belum lagi ditambah pekerja asing yang keberadaannya makin didukung pemerintah.


Pada Februari 2023, BPS mencatat masih terdapat pengangguran 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Walaupun jumlah pencari kerja dari tahun ke tahun menurun, tetapi jumlah lowongan kerja jauh makin menurun. Kesenjangan ini tentu akan terus menambah jumlah keluarga miskin dan menurunkan tingkat kesejahteraan bangsa. 


Mengapa pengangguran terus terjadi? Kenapa lowongan kerja makin langkah? Padahal, jumlah pekerja terus meningkat. Mengapa negara abai dan tidak menyediakan lapangan pekerjaan hingga rakyatnya makin banyak yang miskin? Bagaimana Islam mengatasi persoalan ini?


Pekerjaan yang Sesuai dengan Keahlian


Pemerintah hanya mengklaim penyebab makin berkurangnya lowongan kerja karena perubahan teknologi informasi. Cepatnya digitalisasi menjadi ancaman nyata bagi tenaga kerja Indonesia yang didominasi oleh tenaga kerja unskilled workers. Walhasil, faktor terbesar tingginya pengangguran di Indonesia karena kompetisi tenaga kerja yang sangat rendah.


Adapun solusi dari pemerintah adalah dengan mengadakan pelatihan-pelatihan untuk menekan pengangguran. Melihat tingkat TPT di Indonesia yang didominasi oleh tingkat pendidikan SMA dan SMK, pemerintah tengah menggencarkan pelatihan vokasi yang harus berjalan beriringan. 


Namun demikian, solusi dari pemerintah menggencarkan pelatihan vokasi menekan pengangguran dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah pengangguran. Karena selain pemborosan dana untuk vokasi, juga karena program pendidikan dan pelatihan yang berjalan sudah lama tidak menuai hasil. Bahkan menjadikan lulusan SMK banyak yang menganggur. 


Kapitalisme Mewujudkan Kesenjangan 


Persoalan klasik yang tidak bisa dijawab oleh sistem ekonomi kapitalisme salah satunya adalah tingginya pengangguran. Persoalan ini bukan hanya dialami oleh negara berkembang, tetapi juga oleh negara-negara maju. Lihatlah kondisi AS dan Cina kini sedang dihantam persoalan tingginya angka pengangguran.


Setidaknya ada tiga sebab pengangguran terus ada. Pertama, sistem ini hanya fokus kepada keuntungan individu pemilik. Perusahaan akan terus menekan biaya produksi agar mencapai keuntungan yang maksimal, sedangkan biaya produksi yang paling mudah ditekan adalah upah pekerja. Perusahaan pun menyebut upah rendah dan PHK sebagai bentuk efisiensi perusahaan. Inilah yang mengurangi jumlah lowongan kerja. 


Kedua, adanya persaingan bebas antar perusahaan dengan menciptakan kondisi saling caplok. Perusahaan yang memiliki modal besar akan mencaplok perusahaan kecil sehingga dunia usaha hanya dikuasai segelintir orang. Walhasil, pengusaha kecil yang diakusisi akan mengantre untuk menjadi pekerja. 


Ketiga, negara jelas abai. Sistem kapitalisme menyerahkan seluruh umat kepada swasta termasuk lapangan pekerjaan. Di mana kebijakan untuk menyerah tenaga kerja fokus pada pertumbuhan satu perusahaan. Seperti saat pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19,  pemerintah lebih banyak menggelontorkan dana kepada perusahaan besar dengan alasan agar perusahaan tersebut mampu bertahan dan tidak mem-PHK karyawannya ketimbang menggelontorkan dana untuk rakyat yang dijadikan modal usaha. 


Jadi, ketika rakyat Indonesia dikatakan sulit menciptakan wirausaha, sejatinya karena iklim usahanya tidak mendukung. Rakyat dengan keterbatasan modal tentunya akan kesulitan bersaing dengan perusahaan besar yang akses dana dari pemerintah.


Jelaslah bahwa yang menyebabkan kesenjangan antara jumlah pencari kerja dan lowongan kerja yang tersedia sedikit makin parah adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Tidak menjadikan negara sebagai pihak sentral dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya.


Pemerintah berfokus pada teori trickle dowm effect untuk pertumbuhan ekonomi dalam memperbesar perusahaan agar lapangan pekerjaan terbuka lebar. Padahal, teori ini penuh manipulasi dan tidak akan pernah menjadi realitas. Karena perusahaan yang makin tinggi akan terus mendapatkan keuntungan. Sementara percikan yang diharapkan kepada rakyat hanya sedikit dan tidak sebanding dengan mudarat yang ditimbulkannya. Mudaratnya mulai dari kemiskinan yang makin akut, melahirkan persoalan lainnya seperti kelaparan, kebodohan, hingga kriminalitas, dan ini tidak dipikirkan lebih jauh oleh pemerintah.


Negara Menyediakan Lapangan Kerja 


Secara diametral dengan sistem ekonomi kapitalisme, sistem ekonomi Islam terbukti mampu menyejahterakan seluruh warganya hingga berabad-abad lamanya. Setidaknya ada tiga faktor. 


Pertama, Islam memiliki regulasi kepemilikan yang tidak dimiliki kapitalisme. Kapitalisme menganggap bahwa setiap manusia berhak memiliki apa pun sehingga barang milik umum, seperti air, tanah, barang tambang yang melimpah boleh dikuasai oleh siapa pun, termasuk asing. 


Berbeda dengan Islam mengharamkan barang milik umum dikuasai individu sebab barang tersebut milik seluruh rakyat. Negara hanya mengelola dan harus dikembalikan kepada rakyat. Dari sini, sebenarnya persoalan kemiskinan akan terselesaikan karena SDA yang melimpah dikelola negara dengan benar dan disalurkan kepada rakyat. 


Kedua, pengatur upah dalam sistem Islam sangat berbeda dengan kapitalisme. Sistem Islam tidak menjadikan upah sebagai biaya produksi. Karena upah bukan berdasarkan hitung-hitungan biaya produksi, melainkan kesepakatan antara pekerja dengan majikan. Maka tidak akan ada demonstrasi penuntutan kenaikan upah sebab hal demikian telah disepakati. 


Adapun kesejahteraan pekerja, ini bukan tanggung jawab majikan melainkan negara. Jika dengan upah sekian pekerja tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, negaralah yang akan bertanggung jawab. 


Ketiga, negara sebagai pihak sentral dalam menyelesaikan persoalan umat, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan. Negara Islam akan memastikan para laki-laki bekerja dan mampu memenuhi kebutuhan tanggungannya. Dari sini akan terwujudnya kesejahteraan bagi warganya. 


Sungguh, betapa hebatnya Islam mampu menyelesaikan persoalan umat yang tidak harus berpangku tangan dengan pihak asing. Maka harusnya sebagai muslim seorang pemimpin berkiblat pada Islam yang sudah berabad lamanya mampu menuntaskan bukan hanya persoalan sulitnya mencari lapangan pekerjaan, akan tetapi mampu menyelesaikan apa pun masalahnya.


Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:


اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS. Al-Ma’idah [5]: 50).


Wallahualam bissawab.