Siyasah Syar'iyyah : Larangan Memberontak (Bughat) Terhadap Khalifah
Oleh : Tommy Abdillah
( Lembaga Studi Islam Multi Dimensi/eLSIM)
Kekuasaan politik itu sangat manis dan menggiurkan. Wajar pada setiap kurun dan masa sering terjadi perebutan kekuasaan politik. Setiap kekuasaan suatu negara sangat berpotensi terjadinya ancaman gangguan baik dari internal lingkaran kekuasaan maupun intervensi eksternal negara lain dengan operasi intelejen dengan target kudeta menaikkan penguasa boneka.
Sejarah mencatat pada masa kerjaan Singosari tahun 1227, Tunggul Ametung seorang pemimpin di Kerjaan Singosari dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Ken Arok lalu mengawini isteri Tunggul Ametung bernama Ken Dedes yang tersohor kecantikannya. Pada akhirnya Ken Arok dibunuh oleh Anusapati.
Pada masa kerjaan Majapahit sekitar tahun 1295 pernah terjadi perebutan kekuasaan yakni perang Paregreg perang saudara antara Wirabumi dan Wikramawardana saudara sepupu sekaligus iparnya dari keturunan Hayam Wuruk.
Pada masa kejayaan Islam pernah terjadi Perang Jamal yang terjadi pada tahun 656 M di Basrah Irak. Perang terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib r.a, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW melawan kubu Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW. Perang Jamal terjadi karena perbedaan pendapat terkait penyelesaian kasus pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan r.a.
Pada era modern terjadi peristiwa kudeta Presiden Mursi Di Mesir oleh Jenderal Asisi tahun 2013 lalu menjadi tambahan catatan sejarah kudeta didunia.
Perwira menengah militer Turki juga berupaya mengkudeta Presiden Erdogan tapi gagal di pada bulan Juli tahun 2016 yang lalu juga sempat menjadi pemberitaan hangat diseluruh dunia.
Apa Itu Kudeta
Kudeta berasal dari bahasa Prancis "Coup d'etat" atau "coup". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kudeta adalah suatu tindakan pembalikan kekusaan terhadap sesorang yang berwenang atau penguasa dengan cara paksa atau bisa disebut ilegal.
Ilmuwan politik Samuel P. Huntington dalam bukunya tahun 1968 Political Order in Changing Societies, ada tiga jenis kudeta yang diakui secara umum :
1. Kudeta Sempalan (The breakthrough coup) merupakan kudeta yang dilakukan oleh kelompok bersenjata yang terdiri dari militer atau tentara yang tidak puas dengan kebijakan pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu.
2. Kudeta Wali (The guardian coup) adalah kudeta yang dilakukan sekelompok pihak yang akan mengumumkan mereka sebagai perwalian dalam rangka meningkatkan ketertiban umum, efisiensi, dan mengakhiri korupsi.
3. Kudeta Veto (The veto coup) yaitu kudeta yang dilakukan melalui partisipasi dan mobilisasi sosial dari sekelompok massa atau rakyat dengan melakukan penekanan berskala besar yang berbasis luas pada oposisi sipil.(1)
Perbedaan Kudeta dan Revolusi
Terdapat perbedaan antara kudeta dan revolusi. Revolusi biasanya membutuhkan banyak orang untuk mengambil alih kekuasaan. Revolusi dicapai oleh sejumlah besar orang untuk membuat perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Sedangkan kudeta dapat dilakukan oleh segelintir orang. Bahkan satu orang dapat memulai kudeta.
Perspektif Islam
Syari'at Islam telah mengatur dengan jelas tentang perintah untuk mentaati Khalifah dan dilarang untuk membangkang, apalagi berupaya untuk mengambil kekuasaannya atau kudeta. Hukum asal keberadaan seorang Khalifah atau Imam atau Sulthan adalah untuk dipatuhi dan ditaati selama mentaati perintah Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda,
« مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الآخَرِ »
Artinya : "Siapa saja yang telah membaiat seorang imam atau khalifah, lalu memberikan uluran tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaati khalifah itu selama masih mampu. Kemudian jika datang orang lain yang akan merebut kekuasaannya, maka penggallah leher orang itu".(HR.Muslim).
Makna Bughat
Bughat adalah bentuk jamak dari kalimat al-bâghi, berasal dari kata baghâ, yabghî, baghyan-bughyatan-bughâ`an. Kata baghâ maknanya antara lain thalaba (mencari, menuntut), zhalama (berbuat zalim), i’tadâ/tajâwaza al-had (melampaui batas), dan kadzaba (berbohong).(2)
Ulama Syafi’iyah mengartikan bughât adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya atau mencegah hak yang wajib mereka tunaikan kepada imam, dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta'wil dan pemimpin yang ditaati (muthâ’) dalam kelompok tsb.(3)
Ada 3 syarat yang harus ada secara bersamaan pada sebuah kelompok yang dinamakan bughat.
1. Pemberontakan kepada khalifah atau imam (al-khuruj ‘ala al-khalifah)
2. Adanya kekuatan yang dimiliki yang memungkinkan untuk mendominasi (saytharah).
3. Mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya.(4)
Tindakan terhadap Para Bughat
Allah SWT berfirman,
{وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (9)
Artinya : "Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."(QS. Al-hujurat : 9).
Ayat diatas telah menyatakan bahwa hukuman terhadap pelaku bughat adalah diperangi sampai mereka kembali kepada perintah Allah, yaitu kembali taat kepada khalifah atau negara dan menghentikan pembangkangan mereka.
Namun sebelum sampai kepada perang tsb imam atau khalifah harus mengontak mereka dan menanyakan apa yang mereka tuntut dari negara. Jika mereka menyebutkan kezaliman maka kezaliman itu harus dihilangkan.
Penutup
Hadits-hadist Nabi SAW dalam masalah bughat yaitu berbicara dalam konteks pemberontakan terhadap khalifah, bukan yang lain.(5)
Demikian juga pemberontakan dalam Perang Shiffin yang dipimpin Muawiyah (golongan bughat) melawan Imam Ali bin Abi Thalib r.a sebagai khalifah yang sah, jelas dalam konteks Daulah Islamiyah.(6)
Dengan demikian pemberontakan kepada kepala negara yang bukan khalifah, misalnya kepada presiden dalam sistem Republik, tidak dapat disebut sebagai bughat, dari segi mana pun menurut pengertian syar’i yang sahih.
Wallahu a'lam
Catatan Kaki :
1. Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Societies.
2. Kamus Al-Munawwir, 1984:65,106.
3. Kitab Nihayatul Muhtaj, VIII/382; Asy-Syayrazi, Al-Muhadzdzab, II/217; Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, II/197-198.
4. Abdurrahman Al-Maliki, Nizham al-'Uqubat, hal 79; Muhammad Khayr Haikal, Al-Jihad wal Qital fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah, hal 63.
5. Kitab Subulus Salam, III/257-261).
6. Al-Manawi, Kitab Faidh Al-Qadir, II/336).