Jalan Buntu Demokrasi
Oleh: Kusnady Ar-Razi
Sebagian
dari umat Islam masih saja berharap perubahan melalui demokrasi. Kenyataannya,
pesta demokrasi lima tahunan belum
pernah
merealisasikan apa yang menjadi harapan umat. Para elit partai yang punya
amanat mensejahterakan umat justru sibuk melakukan manuver politik untuk
mempertahankan kekuasaan. Isu presiden 3 (tiga) periode terus saja bergulir.
Selama periode kedua pemerintahan Jokowi, empat kali isu ini muncul ke publik
yang diwacanakan oleh para elit parpol dan jajaran menteri. Mereka yang katanya
demokratis, justru menutup pintu perubahan demi mempertahankan status quo.
Begitu gamblangnya keserakahan mereka terhadap kekuasaan. Demokrasi seakan
membuka jalan bagi para elit untuk memperpanjang umur kekuasaannya meski harus
menabrak konstitusi.
Sejalan
dengan isu ini adalah wacana penundaan pemilu. Rizal Ramli, seperti yang
dikutip news.detik.com (24/04/2022), mengungkapkan adanya operasi politik yang
dilancarkan Luhut B. Pandjaitan untuk kudeta konstitusi yang tujuannya untuk
menunda pemilu tahun 2024. Rizal mengatakan, Luhut memanfaatkan sejumlah elit
parpol yang bermasalah dengan hukum untuk memuluskan operasi politiknya[1].
Kalaupun
wacana tersebut gagal diwujudkan dan pemilu 2024 tetap berjalan, umat tampaknya
juga tak bisa berharap banyak. Dalam demokrasi, terpilihnya seorang pemimpin
yang adil itu ibarat menegakkan benang basah, artinya sulit sekali, jika tidak
kita katakan mustahil. Sebab yang berkompetisi bukan hanya para calon tapi juga
pemilik kepentingan, yaitu oligarki. Manipulasi, politik uang, dan kampanye
hitam sudah biasa mereka mainkan dalam kontestasi politik lima tahunan
tersebut. Ketua Umum Partai Republik Satu, Mischa Hasnaeni, mengungkapkan bahwa
jabatan ketua KPU adalah titipan para elit partai. Bahkan dia mengatakan ada
skenario memenangkan pasangan tertentu di pemilu nanti. "Dia (ketua
KPU) pernah menjelaskan kepada saya yang akan menjadi presiden Republik
Indonesia itu akan didesain oleh KPU bahwa Ganjar Pranowo dan pasangan Erick
Thohir," kata Hasnaeni seperti yang dikutip dalam tvonenews.com (26/12/2022)[2].
Jika ini benar, maka perubahan melalui pemilu ini adalah ilusi belaka. Karena
pemilu yang hanya menawarkan perubahan sirkulasi elit saja, bukan perubahan
sistem, masih mudah dibajak oleh para oligarki.
Tidak hanya itu,
memperjuangkan hak politik sama-sama menemui jalan buntu. Secara teori,
demokrasi memang menjamin hak politik setiap orang. Rakyat diberi kekebasan
menyatakan pendapat dan aspirasi politik terhadap kebijakan atau produk UU yang
disahkan para wakilnya di DPR. UU yang disahkan bisa digugat ke Mahkamah
Konstitusi (MK) jika rakyat keberatan terhadap UU tersebut. MK dianggap sebagai
tempat untuk melindungi hak minoritas, yaitu minoritas kekuatan politik. Tapi
sayangnya, wewenang mengangkat dan mengganti ketua MK ada di tangan DPR. Dengan
ini, membuka peluang bagi mereka untuk mencopot ketua MK jika berlawanan dengan
kepentingan mereka. Apa yang dialami oleh Ketua MK Aswanto yang dicopot
tiba-tiba oleh DPR mengindikasikan hal tersebut. Melalui Rapat Paripurna DPR
(29/09/2022), Aswanto resmi digantikan oleh Sekretaris Jenderal MK Guntur
Hamzah, seperti yang diberitakan dalam nasional.kompas.com (02/10/2022)[3].
Seperti yang diketahui, Aswanto membatalkan produk UU yang disahkan DPR. Itulah
sebabnya kenapa DPR mencopot Aswanto sebelum habis masa jabatannya.
Dari fakta ini,
setidaknya ada dua hal yang menjadikan demokrasi hanya jadi jalan buntu
perubahan. Pertama, demokrasi hanya menjadi alat pergantian elit di
lingkaran kekuasaan yang membawa kepentingan partai dan pemilik modal. Setiap
lima tahun sekali yang berganti hanya elit penguasa, bukan sistemnya. Parahnya
lagi, pemilu mudah sekali dibajak oleh kepentingan segelintir elit. Umat hanya
‘dirampas’ suaranya dan ditelantarkan hak-haknya. Akibatnya, yang berada di
lingkaran kekuasaan hanya elit dari partai politik.
Kedua, demokrasi melahirkan para elit penguasa dan
wakil rakyat yang tidak selalu berpihak pada rakyat. Poin kedua ini sebenarnya
konsekuensi logis dari apa yang disebut pada poin pertama. Mereka yang berada
di lingkaran legislatif tidak selalu menghasilkan produk UU yang berpihak pada
rakyat. Gugatan terhadap produk UU ke MK tidak akan selalu berjalan mulus.
Pasalnya, jabatan ketua MK berada di tangan wakil rakyat yang sewaktu-waktu
bisa dicopot. Kritik jalanan seperti demontrasi sama nasibnya. Semenjak
disahkannya UU KUHP kebebasan berpendapat di alam demokrasi benar-benar ‘sudah
mati’. Mereka yang berbeda pendapat dengan elit penguasa berpeluang ditangkap
dan dipenjara.
Jalan Politik Umat
Orientasi
politik umat Islam adalah mewujudkan kehidupan Islam dengan diterapkannya
syariah secara kaffah dalam semua aspek kehidupan. Cita-cita ini tidak mungkin
terwujud dengan jalan demokrasi. Ini hanya bisa terwujud jika umat ini menempuh
apa yang telah ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya 14 abad silam.
Secara normatif, terikat dengan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah adalah
kewajiban yang tidak bisa ditawar. Termasuk terikat dengan metode dan jalan
dakwah yang telah beliau tempuh.
Dalam perjalanan
dakwahnya, Rasulullah telah menempuh dua tahapan di Mekkah. Tahapan pertama
adalah tahap pengajaran, pembinaan, dan pembentukan kader. Pada tahap inilah
beliau mendidik dan menghasilkan kader yang siap mengemban pemikiran. Sedangkan
tahap kedua adalah tahapan interaksi pemikiran dengan masyarakat sehingga
pemikiran ini menjadi kekuatan potensial yang mendorong diterapkannya Islam
dalam kehidupan.[4] Meski pada tahap kedua ini tidak berhasil
terwujud di Mekkah, tapi berhasil diwujudkan di Madinah yang menjadikan
penduduk Madinah siap menerima Islam untuk mengatur kehidupan mereka.
Keberhasilan inilah yang mendorong Rasulullah untuk hijrah ke Madinah setelah
sebelumnya mengambil bai’at dari pemilik kekuasaan dari penduduk Madinah di
Bai’at ‘Aqabah yang kedua.
Oleh karena itu,
jalan politik yang harus ditempuh umat adalah jalan politik yang telah ditempuh
Rasulullah yang telah terbukti mewujudkan kehidupan Islam secara kaffah.
Sedangkan demokrasi adalah jalan buntu, penuh kepalsuan, dan realitanya tak
seindah teori. Jangan sampai umat ini tertipu dengan jalannya yang menjanjikan
keindahan yang ternyata hanyalah fatamorgana.[]
Catatan kaki
[1] Lihat https://news.detik.com/berita/d-6054633/rizal-ramli-tuding-luhut-biang-kudeta-konstitusi,
diakses pada tanggal 30 Desember 2022.
[2] Lihat https://www.tvonenews.com/berita/nasional/90303-hasnaeni-wanita-emas-sebut-kpu-atur-ganjar-erick-menang-pilpres-2024,
diakses pada tanggal 30 Desember 2022.
[3]
Lihat https://nasional.kompas.com/read/2022/10/02/08282491/ketika-mantan-hakim-mk-lawan-balik-dpr-usai-aswanto-dicopot,
diakses pada tanggal 30 Desember 2022.
[4]
Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islamiyyah,
Beirut: Dar al-Ummah, 2002, hlm. 30.