Salah Sasar Solusi Kekerasan Seksual
Rizky Lestari
Guru dan Anggota KoAS Tanjungbalai
Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual (UU TPKS) telah dilakukan oleh pemerintah pada 12 April 2022. Namun
upaya untuk meminimalisir kekerasan sekual masih terus dilakukan mengingat
masih tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan di
Indonesia. Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HKtP) pun
tetap dilakukan. Kampanye yang sudah berlangsung sejak 2001 di Indonesia,
dilakukan setiap 25 November sampai 10 Desember. Termasuk tahun ini.
Kampanye ini juga dilakukan oleh berbagai pihak baik
oleh pemerintah maupun organisasi perempuan. Dinas Pemberdayaan, Perlindungan
Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta juga berupaya mewujudkan
ruang aman bagi perempuan dan anak di Jakarta. Organisasi Perempuan Mahardhika
juga turut andil melakukan aksi nasional untuk memperingati 16 Hari
Antikekerasan terhadap Perempuan. Aksi ini digelar di 4 kota di Indonesia,
yaitu Jakarta, Banjarmasin, Makassar, dan Samarinda.
Kampanye yang telah dilakukan sejak lama ini juga UU
yang ada, nyatanya belum mampu untuk menghilangkan banyak kasus kekerasan
terhadap perempuan dan malah kekerasan terhadap perempuan makin meningkat.
Gerakan perempuan pun selalu mengklaim tentang belum cukupnya payung hukum
serta kesadaran masyarakat tentang kesetaraan dan hak hidup perempuan.
Keadaan perempuan dewasa ini memang semakin
memprihatinkan, dan semakin pula kita menyadari bahwa kesetaraan gender maupun
kepemimpinan perempuan bukanlah solusi. Kesetaraan gender justru membuat
perempuan makin menderita. Perempuan dipaksa keluar mencari nafkah, yang
berarti berada pada lingkungan membahayakan. Beban kerja yang tidak sesuai
dengan penghasilan juga semakin parah. Kekerasan dan pelecehan seksual di tempat
kerja menjadi sesuatu yang lumrah terjadi, bahkan di negara maju sekalipun
seperti Uni Eropa dan Australia apalagi di Indonesia. Ini semua buah dari
kerakusan para kapitalis yang berusaha mengeksploitasi perempuan hari ini.
Namun Gerakan feminisme juga salah menitikberatkan
kekerasan hanya dari sudut pandang gender. Padahal jika kita jujur dan
realistis, kekerasan bisa terjadi pada siapa saja, baik laki-laki maupun
perempuan. Menitikberatkannya pada hal yang salah tentu akan mencederai hak dan
keadilan itu sendiri. Namun mungkin itulah yang diinginkan oleh para feminis
yang memang ingin hidup dengan gaya liberal dan sekuler.
Kekerasan terhadap perempuan ini jelas butuh
penyelesaian yang tuntas. Dimana pemikiran yang benar, akan menghasilkan sikap
yang benar pula. Itulah mengapa di dalam Islam, perempuan dan laki-laki
memiliki perannya masing-masing dan tidak ada yang kedudukannya lebih rendah
maupun lebih tinggi. Berbeda dengan kapitalisme saat ini hanya melihat pada
keuntungan semata dengan memandang perempuan sebagai pasar kapitalis yang
dieksploitasi tubuh, tenaga dan pikirannya.
Perempuan dan laki-laki harus dikembalikan fitrahnya
sebagai manusia, makhluk sang Pencipta. Laki-laki sebagai qawwam (pemimpin) dan
perempuan sebagai ibu dan manager rumah tangganya. Dan semua itu dilakukan atas
ketundukan pada Allah SWT. Negara dan masyarakat yang beraqidah Islam tentu
akan jadi penguat dan penyokong keadilan yang paripurna, seperti yang
dicontohkan Rasulullah SAW. sehingga kehidupan yang berkeadilan untuk perempuan
dan laki-laki dapat digapai dan bukan mimpi belaka.
Wallahu a’lam bisshowab