Melindungi LGBT; Melanggengkan Kemungkaran (Respon Terhadap Pernyataan Yenny Wahid)
Penulis:
Kusnady Ar-Razi
Yenny
Wahid, Direktur Eksekutif Wahid Foundation, dalam sebuah diskusi di Bogor
mengatakan, “Kaum LGBT ada di masa Nabi Muhammad pada 15 abad yang lalu. Mereka
disebut khuntsa”, seperti yang dikutip Suaranasional.com, (30-11-2022).[1]
Melalui pernyataan ini, Yenny Wahid berupaya mencari legitimasi dari syariah
atas perilaku menyimpang LGBT. Dan memberi kesan bahwa Nabi seakan-akan
meridhoi dan melindungi keberadaan mereka. Benarkah demikian? Apakah istilah “khuntsa”
yang disebut Yenny sama halnya dengan LGBT?
Al-Khuntsa Bukan LGBT
Istilah
al-khuntsa tidak serta merta bisa disamakan dengan LGBT (Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender). Dalam fikih, istilah ini bermakna seseorang yang
memiliki kelamin ganda sejak lahir. Sebagaimana yang diakui oleh para ahli
kedokteran, bayi yang lahir bisa saja memiliki kelamin ganda (ambiguous
genitalia). Hal itu disebabkan oleh gangguan hormonal selama masa kehamilan
atau akibat kelainan kromosom. Para ahli fikih, telah mendefinisikan istilah
ini dalam kitab-kitab fikih. Di antaranya adalah apa yang diungkapkan oleh Imam
Al-Mawardi yang mengutip perkataan Imam Al-Syafi’i:
الخنثى
هو الذي له ذكر كالرجال وفرج كالنساء أو لا يكون له ذكر ولا فرج ويكون له ثقب يبول
منه
“Al-Khuntsa adalah orang yang memiliki kelamin (dzakr)
seperti laki-laki dan kelamin (farj) seperti perempuan, atau tidak
memiliki keduanya dan hanya memiliki lubang untuk kencing.”[2]
Di
dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah[3] disebutkan
al-khuntsa adalah:
من له
آلتا الرجال والنساء أو من ليس له شيء منهما أصلا وله ثقب يخرج منه البول
“(Al-Khuntsa
adalah) orang yang memiliki alat kelamin laki-laki dan perempuan sekaligus atau
tidak memiliki keduanya sama sekali dan hanya memiliki lubang yang ia kencing
darinya.”
Definisi
yang serupa telah disebutkan oleh Al-Imam Al-Romli dalam Nihayatul Muhtaj
yang beliau sebut sebagai khuntsa musykil. Para fuqoha telah membuat
klasifikasi al-khuntsa, di antaranya adalah al-khuntsa al-musykil dan
al-khuntsa ghairu al-musykil. Al-Khuntsa al-musykil adalah orang
yang memiliki dua alat kelamin (pria dan wanita) sekaligus dan tidak tidak
tampak mana yang dominan di antara keduanya. Sehingga sulit dibedakan apakah ia
laki-laki atau perempuan. Sedangkan al-khuntsa ghairu al-musykil adalah
orang yang memiliki dua alat kelamin akan tetapi tampak jelas mana yang lebih
dominan di antara keduanya.[4] Jadi al-khuntsa menunjuk
kepada kondisi fisik seseorang sejak lahir.
Dalam
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah[5] disebutkan:
الخنثى
غير المشكل: من يتبين فيه علامات الذكورة أو الأنوثة فيعلم أنه رجل أو امرأة فهذا
ليس بمشكل وإنما هو رجل فيه خلقة زائدة أو امرأة فيها خلقة زائدة وحكمه في إرثه
وسائر أحكامه حكم ما ظهرت علاماته فيه
“Al-Khuntsa ghairu
al-musykil
adalah orang yang tampak jelas tanda maskulin atau fenimin sehingga diketahui
ia laki-laki atau perempuan. Sehingga ia bukan al-khuntsa al-musykil
(yang sulit ditentukan jenis kelaminnya). Sesungguhnya ia hanyalah laki-laki
yang memiliki alat kelamin tambahan atau perempuan yang memiliki alat kelamin
tambahan. Dan hukum yang berlaku untuknya dalam hak waris dan hukum lainnya
sesuai dengan tanda yang tampak (dominan) pada dirinya.”
Berbeda
halnya dengan istilah al-mukhannats. Yaitu laki-laki yang bertingkah
laku seperti perempuan, baik cara jalannya maupun cara bicaranya. Sebagaimana
didefinisikan oleh Syaikh Rawwas Qol’ahji di dalam Mu’jam Lughah Al-Fuqaha[6]:
الرجل
المتشبه بالنساء في مشيته وكلامه وتعطفه وتلينه
“Laki-laki yang menyerupai perempuan dalam cara jalannya,
ucapannya, lemah gemulainya, dan lembutnya.”
Al-Mukhannats hakikatnya adalah
laki-laki tulen yang hanya punya satu organ reproduksi. Akan tetapi ia
bertingkahlaku seperti perempuan, baik gaya bicaranya, cara berjalannya, lemah
gemulainya dan perilaku lainnya layaknya perempuan. Sedangkan perempuan yang
berperilaku seperti laki-laki disebut al-mutarajjil. Karena perilaku
menyimpang semacam itu, Nabi صلى الله عليه وسلم melaknat mereka. Bahkan beliau
mengasingkan mereka ke tempat yang jauh dari pemukiman. Dalam sebuah hadits
disebutkan:
لَعَنَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم
المُخَنَّثِينَ من الرجال، والمُتَرَجِّلاَتِ من النساء ،وقال :أخرجوهم من بيوتكم
“Nabi
melaknat mukhannats dari kalangan laki-laki dan mutarajjil dari
kalangan perempuan. Beliau mengatakan, ‘keluarkanlah mereka dari rumah
kalian’.” (HR Bukhari)
Apakah
al-mukhannats bisa disebut homoseksual? Jika perilaku menyimpang mereka
disertai dengan ketertarikan kepada sesama jenis, maka mereka terkategori homoseksual
(lesbian atau gay). Apalagi jika ketertarikan tersebut diwujudkan dengan
perbuatan liwath (laki-laki yang mendatangi dubur laki-laki), maka pelakunya
dijatuhi hukuman berupa had al-liwath yaitu dibunuh. Nabi صلى الله عليه
وسلم bersabda[7]:
من وجدتموه
يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفاعل والمفعول به
“Siapa yang mendapati orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi
Luth, maka bunuhlah pelaku dan pasangannya.” (HR At-Tirmidzi)
Karenanya
empat orang khalifah, di antaranya adalah Abu Bakar, Ali, Abdullah bin Zubair,
dan Hisyam bin Abdul Malik, sepakat menghukum mati pelaku liwath dengan cara
dibakar, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami di dalam “Az-Zawajir
‘An Iqtirafi Al-Kabair”. Di masa Abu Bakar ada kasus seorang laki-laki yang
menyetubuhi laki-laki. Kemudian beliau mengumpulkan para sahabat untuk
memutuskan hukuman apa yang pantas bagi pelaku liwath tersebut. Pada saat itu
Ali bin Abi Thalib mengatakan:
إن
هذا ذنب لم تعمل به أمة إلا أمة واحدة, ففعل الله بهم كما قد علمتم أرى أن نحرقه
بالنار
“Ini adalah dosa yang tidak pernah dilakukan oleh umat manapun
kecuali oleh satu umat, kemudian Allah mengadzab mereka seperti yang telah
kalian ketahui. Aku berpendapat agar kita membakarnya dengan api.”[8]
Sementara
Ibnu Abbas berpendapat, pelaku liwath dihukum dengan cara dilemparkan dari
bangunan yang tinggi dengan posisi kepala di bawah dan diikuti dengan lemparan
batu. Sedangkan Umar dan Utsman berpendapat, pelakunya dihukum dengan cara
dijatuhkan tembok ke atasnya.[9] Meski para sahabat berbeda dalam
hal ini, tapi perbedaan mereka hanya dalam uslub atau caranya saja.
Mereka sepakat bahwa hukumannya adalah dibunuh, meski dengan uslub yang
berbeda-beda. Ini menunjukkan bahwa hukum bunuh bagi pelaku liwath telah
menjadi ijma’ sahabat. Dan ijma’ sahabat adalah dalil syar’i.
Kesimpulan
Dari
penjelasan ini kita bisa menyimpulkan bahwa al-khuntsa bukanlah
homoseksual (lesbian atau gay). Juga tidak sama dengan biseksual, yaitu orang
yang ketertarikan seksualnya pada laki-laki dan perempuan sekaligus. Al-Khuntsa
juga bukan termasuk transgender yang mengubah organ reproduksi tanpa alasan
yang dibenarkan. Al-Khuntsa boleh melakukan operasi kelamin karena keadaan
memaksa demikian. Berbeda halnya dengan transgender, yang asalnya mereka hanya
punya satu organ reproduksi kemudian mengubahnya. Ini jelas haram karena
mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah) sebagaimana disebutkan dalam
surah An-Nisa ayat 119. Dalam hal ini Yenny telah keliru karena menyamakan dua
hal tersebut.
Di
antara kekeliruan lainnya, Yenny menyangka karena LGBT ada di zaman Nabi
berarti Nabi memberikan pengakuan atas perilaku mereka dan melindungi
keberadaan mereka. Kalau Nabi mengaku dan ridho atas keberadaan mereka, mengapa
kita menolak keberadaan mereka saat ini? Ini logika cacat sekaligus berbahaya.
Tindakan atau perilaku seseorang atau sekelompok orang di masa Nabi baru dianggap
benar oleh syariah jika Nabi diam (tidak melarang atau mencela) perilaku
tersebut. Jika nabi mampu mengingkari perbuatan seseorang yang dilakukan di
hadapan beliau atau diketahui oleh beliau, tapi beliau memilih diam, itu
artinya “taqrir”.[10] Dan taqrir sama kedudukannya seperti
sunnah lainnya yang berupa ucapan dan perbuatan beliau. Pertanyaanya, apakah
beliau diam terhadap perilaku menyimpang tersebut? Jelas tidak. Beliau dengan
tegas menyebut hukumannya bahkan melaknat pelakunya, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya.
Oleh
sebab itu, adalah kekeliruan yang besar menyamakan al-khuntsa dengan LGBT.
Menyamakan keduanya mengakibatkan sesuatu yang telah jelas menjadi samar. LGBT
yang jelas haramnya, karena mengarah pada perbuatan yang menyimpang dari fitrah
manusia. Apalagi dengan mengatakan mereka ada di zaman Nabi untuk memberi kesan
bahwa Nabi melegitimasi perilaku mereka. Ini adalah kemungkaran besar karena
melindungi pelaku kemungkaran dan memberikan jalan bagi mereka. Alih-alih
kemungkaran itu hilang, tindakan ini justru semakin melanggengkan kemungkaran
itu. Na’udzubillah.[]
Catatan
kaki:
[1] Maksum, Ibnu. 2022. https://suaranasional.com/2022/11/30/sebut-ada-di-era-rasulullah-yenny-wahid-minta-lgbt-wajib-dilindungi/,
diakses pada 5 Desember 2022.
[2] Abi Al-Hasan Al-Mawardi, Al-Hawi
Al-Kabir, Beirut: Darul Kutub Al-’Ilmiyyah, cet. I, 1414 H, hlm. 168
[3] Al-Mausu’ah
Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,
Kuwait: Kementrian Wakaf, cet. II, 1410 H, hlm. 21
[4] Idem, hlm. 22
[5] Idem, hlm. 22
[6] Muhammad Rowwas
Qol’ahji, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha, Beirut: Dar An-Nafais, cet. I, 1416
H, hlm. 386
[7] Abu Isa At-Tirmidzi, Al-Jami’
Al-Kabir, Beirut: Darul Gharb Al-Islami, cet. I, 1996 M, juz III, hlm. 124,
hadits nomor 1457
[8] Ibnu Hajar
Al-Haitami, Az-Zawajir ‘An Iqtirafi Al-Kabair, Mesir: Darul Lu’lu’ah,
cet. II, 1442 H, juz III, hlm. 263
[9] Abd Al-Rahman
Al-Maliki, Nizham Al-’Uqubat, Beirut: Darul Ummah, cet. II, 1410 H, hlm.
42
[10] Taqiyuddin
An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Beirut: Darul Ummah, cet.
III, 1426 H, juz III, hlm. 102