Hilangnya Kepemilikan Atas Tanah
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ، وَلَيْسَ لمتحجر حَقٌّ بَعْدَ ثَلاثِ سِنِينَ
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu untuk
dirinya dan tidak ada hak untuk orang yang memagari tanah setelah tiga
tahun. (HR Abu Yusuf dan Abu ‘Ubaid).
bu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshariy (w. 182 H) meriwayatkan hadis ini di dalam Kitab Al-Kharâj pada fashl[un]: fî mawâti al-ardhi fî ash-shulhi wa al-‘unwati wa ghayriha (bagian tentang tanah mati di tanah ash-shulhi dan al-‘anwah dan yang lainnya).
Riwayat di atas bersumber dari ucapan Umar bin al-Khathab ra. Abu Yusuf meriwayatkan hadis ini dari tiga jalur: Pertama, dari Muhammad bin Ishaq dari az-Zuhri, dari Salim bin Abdullah bahwa Umar bin al-Khathab ra. berkata di mimbar demikian: Ada kelanjutan riwayat itu, “Hal itu karena orang-orang itu mereka memagari tanah yang tidak mereka garap.” Kedua, dari al-Hasan bin ‘Imarah, dari az-Zuhri, dari Sa’id bin al-Musayyab yang berkata: “Umar bin al-Khaththab ra. berkata demikian (sebagaimana matan hadis di atas). Ketiga, jalur yang juga diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam di dalam Al-Amwâl, dari Layts, dari Thawus yang berkata bahwa Rasulullah saw: bersabda:
…فَمَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ، وَلَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌّ بَعْدَ ثَلاثِ سِنِينَ
Karena itu siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu
untuk dirinya (menjadi miliknya) dan tidak ada hak untuk orang yang
memagari setelah tiga tahun.
Riwayat ini dinilai dha’iif oleh sebagian ulama, seperti dinyatakan oleh az-Zayla’i di dalam Nashbu ar-Râyah. Di antara penyebabnya, salah seorang perawi, yaitu al-Hasan bin ‘Imarah, dinilai dha’iif. Riwayat Said bin al-Musayyab dari Umar bin al-Khaththab ra. dinilai ada masalah.
Namun, ada riwayat-riwayat yang menguatkan matan hadis di atas. Untuk penggalan pertama terkait menghidupkan tanah mati, hal itu dinyatakan di dalam hadis shahih. Di antaranya riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari jalur Jabir bin Abdullah dan jalur Saib bin Zaid; juga riwayat Imam al-Bukhari dari jalur Aisyah.
Adapun terkait matan, yakni hilangnya hak untuk orang yang memagari (al-muhtajir), maka ketiga riwayat di atas dengan jalur yang berbeda sebenarnya saling menguatkan satu sama lain. Juga ada riwayat Imam al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubrâ hadis no. 11605 dari jalur Abdullah bin Abu Bakar, bahwa Umar bin al-Khaththab ra. pernah mengambil tanah dari Bilal bin Haris al-Muzani. Selain itu, riwayat di atas dijadikan hujjah oleh para fuqaha mu’tabar. Dengan semua itu, maka riwayat di atas dapat dinilai hasan.
Pernyataan Umar bin al-Khaththab ra. di atas diucapkan di atas mimbar. Artinya, itu didengar dan diketahui oleh para shahabat. Umar bin al-Khaththab ra. juga melaksanakan apa yang diucapkan itu seperti dalam kasus tanah Bilal bin Haris al-Muzani. Perkara itu termasuk perkara yang harus diingkari jika menyalahi hukum syariah. Sebabnya, itu terkait hilangnya kepemilikan tanah dari pemiliknya dan diambilnya tanah dari pemiliknya. Namun, tidak ada seorang pun dari Sahabat yang mengingkari hal itu. Dengan demikian hal itu menjadi Ijmak Sahabat dalam bentuk al-ijmâ’ as-sukûtî, bahwa jika orang menelantarkan tanahnya selama tiga tahun berturut-turut maka hilanglah kepemilikannya atas tanah itu.
Hukum tentang kepemilikan tanah mati tidak terbatas untuk orang yang menghidupkan (muhyî al-ardhi) saja. Hukum tentang hilangnya kepemilikan setelah penalantaran tiga tahun berturut-turut itu juga tidak terbatas bagi orang yang memagari (al-muhtajir) saja. Pernyataan Umar itu menggunakan uslub al-îjâz wa al-hadzfu (meringkas dan menghilangkan) bagian kalimat. Kalimat panjangnya adalah: “Man ahyâ ardh[an] maytat[an] fahiya lahu wa laysa li muhyî haqq[un] ba’da tsalâtsi sinîn wa man ihtajar ardh[an] maytat[an] fahiya lahu wa laysa li muhtajir[in] haqq[un] ba’da tsalâtsi sinîn.” Kemudian kalimat itu diringkas dengan menghilangkan bagian akhir dari kalimat pertama dan bagian awal dari kalimat kedua sehigga dalam bentuk pernyataan Umar bin al-Khathab ra. di atas.
Adapun penelantaran itu selama tiga tahun berturut-turut, bukan tiga tahun secara terpisah-pisah, maka hal itu dapat dipahami dari kata ba’da tsalâtsi sinîn. Kata ba’da itu menunjukkan tiga tahun itu berturut-turut. Sebabnya, jika tiga tahun itu terpisah-pisah atau ada jeda di antara tiga tahun penelantaran itu maka tidak memenuhi makna kata ba’da.
Dengan demikian riwayat ini dan lainnya dalam topik yang sama menunjukkan dua hukum. Pertama: Orang yang menghidupkan atau memagari tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya. Ini juga mencakup aktivitas lainnya yang menunjukkan penguasaan atas tanah mati itu seperti dengan jalan membangun bangunan di atasnya, menjadikannya tempat untuk meletakkan sesuatu atau mengolahnya, membabat rumput dan semak-semak di atasnya, membersihkannya dan sebagainya yang menunjukkan penguasaan dalam rangka memanfaatkan tanah mati itu.
Kedua: Jika tanah ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut maka hilanglah kepemilikan si pemilik atas tanah itu. Ini berlaku untuk semua sebab kepemilikan. Baik tanah itu dimiliki dengan menghidupkan atau memagari tanah mati, dimiliki sebagai pemberian dari negara, dari waris, membeli, hibah atau sebab-sebab kepemilikan yang syar’i lainnya.
Hukum ini juga mengisyaratkan pada ketentuan lain, yaitu bahwa tanah itu harus diproduktifkan atau dimanfaatkan secara terus menerus. Juga bahwa produktivitas tanah itu harus terus dijaga kelangsungannya. Itu bukan hanya harus diperhatikan oleh individu-individu pemilik tanah itu, tetapi juga oleh negara. Negara dapat mendistribusikan tanah-tanah terlantar dan yang tidak ada pemiliknya kepada individu dari rakyat yang mampu mengolahnya. Negara pun dapat memberikan bantuan yang diperlukan untuk mengolah tanah-tanah itu. Dengan begitu maka hasil produksi dari tanah itu dalam bentuk bermacam bahan pangan akan berlimpah. Artinya, hukum ini termasuk salah satu ketentuan syariah yang akan memberikan jaminan atas ketahanan pangan dan menjadi bagian dari ketentuan hukum syariah dalam konteks jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok tiap individu rakyat secara sempurna.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]