Polisi Kok Rampok?
Oleh: Masto Dewani, M.Pdi
Polisi sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat hari ini telah berubah menjadi pelaku tindak pidana kejahatan, melawan hukum, melanggar kode etik Polri. Hal ini membuat kepercayaan publik terhadap institusi kepolisan menurun hingga titik terendah. Dengan terjadinya berbagai peristiwa seperti KM 50, kasus Sambo, pembantaian Kanjuruhan dan penangkapan Kapolda Jatim Irjend Pol Teddy Minahasa yang baru diangkat, karena menjual barang bukti narkoba seberat 5 kg.
Bahkan di Kota Medan, kejahatan yang dilakukan Polisi juga acap kali terjadi. Hari Jum’at, 7 Oktober 2022, Ps. Kasat Reskrim Poltabes Medan Kompol Teuku Fathir Mustafa menyatakan bahwa 3 personil polisi berinisial H, B dan A yang bertugas di Sat Samapta Poltabes Medan berusaha merampok dan membawa kabur sepeda motor Benny, warga Pancur Batu yang datang bersama istrinya ke TKP. Korban sempat terluka karena diserempet mobil pelaku.
Rentetan kejahatan yang dilakukan oknum polisi ini hanya merupakan fenomena gunung es. Hanya secuil kejahatan yang terungkap ke permukaan, sedangkan yang tidak terungkap lebih banyak lagi. Pada umumnya, masyarakat sudah apatis. Mereka tidak lagi berharap mendapatkan keadilan hukum dan perlindungan dari polisi. Belum lagi tindakan teror dan kriminalisasi serta penangkapan terhadap ulama dan masyarakat yang vokal mengkritisi kebijakan rezim saat ini. Semakin menambah daftar kejahatan institusi ini. Padahal negara ini katanya menganut sistem demokrasi yang membebaskan siapa saja untuk menyuarakan pendapatnya. Namun ternyata, hal ini tidak berlaku untuk umat islam.
Belum lagi budaya hedonis yang saat ini menyerang kehidupan masyarakat termasuk anggota Polri. Hal ini mengubah idealisme para Polisi yang awalnya bertugas untuk mengabdi kepada negara dan masyarakat menjadi penghamba uang dan harta. Banyak petinggi Polri yang memiliki kekayaan dengan nominal yang fantastis. Seperti Kapolda Jatim yang baru ditangkap, memiliki kekayaan mencapai Rp. 29,9 miliar (dilandir suara.com, 14/10/2022). Hal ini tentu menjadi contoh buruk bagi bawahan mereka, membangun budaya menghalalkan segala cara untuk meraih pundi-pundi uang. Termasuk dengan melakukan kejahatan sekalipun.
Kerusakan pada institusi Polri ini disebabkan oleh penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Sistem ini menjauhkan agama dari kehidupan. Sehingga para penegak hukum tak lagi lagi takut akan pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak. Berbeda dengan sistem khilafah, para penegak hukum akan dididik menjadi orang-orang bertakwa. Mereka akan menjalankan tugas sebagai pengabdi negara, penegak hukum dan pelindung masyarakat dengan dorongan ketakwaan.
Di Indonesia juga tidak ada sanksi yang berat bagi para Polisi yang melakukan tindak kejahatan. Kita bisa melihat bagaimana ber ’tele-tele’ nya persidangan kasus Sambo. Padahal sudah jelas siapa pelakunya dan ada barang buktinya. Berbeda di dalam sistem khilafah, Sambo akan langsung dijatuhi hukuman mati setelah terbukti membunuh Brigadir J. Hal ini akan menjadi ancaman serius bagi anggota Polri lainnya. Jika berani melakukan kejahatan, ada sanksi tegas untuk mereka. Sehingga mereka takut melakukan pelanggaran hukum.
Maka dari itu, jika kita ingin memperbaiki institusi kepolisian, maka satu-satunya cara adalah menerapkan sistem islam dalam naungan Khilafah. Karena hanya khilafah yang mampu membangun akidah yang kokoh pada diri setiap anggota kepolisian, membangun idealisme mereka sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat serta memiliki sanksi yang tegas bagi siapa saja yang berani melanggar hukum termasuk anggota kepolisian. Dengan begitu, harkat dan martabat polisi akan kembali bangkit dan kepercayaan masyarakat kepada mereka akan kembali.