Sumut: Angka Kemiskinan Kota Meningkat Pedesaan Menurun, Salah Siapa?
Oleh Sutiani, A. Md (Aktivis Dakwah Muslimah)
“Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.” (Rhoma Irama).
Baru-baru ini warga Sumut dikejutkan dengan melambungnya angka kemiskinan di kota, sedangkan di desa mengalami penurunan. Sebelum pandemi saja, banyak kalangan dari masyarakat kekurangan biaya hidup apalagi pada saat pandemi, banyak pekerja yang dirumahkan mereka hidup mandiri sehingga kehilangan pekerjaan dan berpotensi angka kemiskinan kian terjun bebas.
Hidup di perkotaan yang serba bayar misalnya, ada beberapa faktor yang memang mempengaruhi tingkat pengeluaran seperti, bahan makanan yang harganya naik terus, pembiayaan untuk rumah (sewa rumah), tarif air dan listrik yang naik beberapa kali, serta tidak ketinggalan BBM yang ikut naik harganya.
Kemudian, perkotaan dikelilingi dengan sekularisme-liberalisme yang menjelma dalam bentuk kesenangan, tersedianya hiburan yang terbuka lebar di depan mata hingga lupa mana yang harus diprioritaskan, gaya mengalahkan gengsi turut menjadi faktor pendukungnya. Akhirnya, fun, food dan fashion menjadi incaran warga di kota.
Kepadatan jumlah penduduk menjadi salah satu penyebabnya. Bagaimana tidak, lapangan pekerjaan yang minim, ditambah lagi harus bersaing dengan pekerja asing, sedangkan pertumbuhan manusia makin menjamur. Oleh karena itu, pemerintah tidak memberikan solusi secara tuntas. Tanah dan sawah disulap menjadi perumahan sehingga tempat yang segar sangat sulit didapatkan. Lingkungan yang kotor sungai pun dipenuhi dengan sampah sampai rakyat pun terpapar penyakit.
Selaku Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu Nurul Hasanudin Provinsi Sumatra Utara merilis angka kemiskinan, ia mengatakan persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada periode yang sama berada pada angka 8,76 persen. Sementara di daerah pedesaan jumlahnya 7,98 persen. Daerah perkotaan mengalami peningkatan sebesar 0,08 poin, sedangkan daerah pedesaan berkurang sebesar 0,28 poin jika dibandingkan September 2021. (sumut.idntimes.com, 15/07/2022).
Kemiskinan pada hari ini tidak lain yaitu diciptakan secara sistemik yang diberlakukan oleh negara atau penguasa. Itulah sistem kapitalisme-liberalisme, maka sebab penerapan sistem inilah kekayaan milik rakyat dinikmati para segelintir oligarki dengan bebasnya. Buktinya, separuh dari aset nasional hanya dikuasai oleh segelintir orang kaya di Indonesia. Dalam laporannya, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyatakan satu persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. (tempo.co, 10/10/2019).
Negara lepas tangan akan jaminan hidup rakyat. Misalnya, dalam kesehatan warga menjamin dirinya sendiri melalui iuran BPJS yang tiap bulan rutin untuk dibayar. Belum lagi, soal pendidikan ada kalangan masyarakat miskin di bawah umur yang harus bekerja untuk mencari nafkah dan membantu orang tuanya. Padahal, anak seusianya masih dibangku sekolah.
Mustahil kapitalisme menyelesaikan problem kemiskinan karena hal ini memang disebabkan secara struktural, sebab masih berdirinya sistem kapitalisme yang berlandaskan manfaat yaitu untung atau rugi yang menjadi pilihan penguasa hari ini. Maka, Islam menjadi solusi tuntas untuk mengatasi masalah kemiskinan karena dalam Khilafah kebutuhan pokok baik sandang, pangan, dan papan menjadi tanggung jawab negara maupun kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang menjadi hak warganya. Negara juga ikut serta dalam memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya.
Alhasil itu semua kita dapatkan dalam sistem Islam yang menerapkan sistem ekonomi yang memang sesuai dengan fitrah manusia juga bersandarkan atas kehidupan rakyat yang sejahtera, terpenuhinya kebutuhan pokok, dan dasar yang menjadi tujuan utama. Negara seharusnya sangat dominan pada mekanisme pasar bukan malah dikuasai oleh para mafia, jadi harga pasar tidak dibuat semena-mena.
Rasulullah saw. bersabda:
“Pemimpin setiap manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (h.r. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Dalam mekanisme tercapainya kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan, penguasa memerintahkan setiap kepala keluarga untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya karna hukumnya fardu, dan negara akan memfasilitasi hal ini, menciptakan lapangan pekerjaan yang layak dan gaji yang layak pula.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 233).
Negara juga mewajibkan ahli waris yang mampu untuk memenuhi nafkah kerabat yang tidak mampu. Namun, jika tidak memiliki ahli waris dan memiliki ahli waris, tetapi tidak mampu, maka menjadi tanggung jawab negara yang akan memberikan nafkah. Bahkan, jika pemasukan negara kurang, maka mengambil pintas yaitu pengambilan pajak bagi orang kaya.
Islam juga menetapkan pelayanan seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Tentunya pemenuhan ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Negara pertama kali mengambil pemasukan dari kepemilikan umum seperti air, api, dan padang rumput yang dikelola oleh negara sehingga tidak boleh dimiliki individu sedikit pun atau bahkan asing dan seluruh hasil keuntungan sumber daya alam dialokasikan kepada rakyat guna memberikan fasilitas pelayanan yang terbaik tentunya sesuai syariat.
Hasil pengelolaan fai, kharaj, ghanimah, jizyah, usyur dan harta milik negara lainnya serta BUMN selain yang mengelola harta milik umum. Selain itu sistem negara Khilafah tidak berbasis riba dan pajak akan tetapi, berbasis emas dan perak sehingga angka inflasinya nol persen. Demikianlah politik ekonomi Khilafah yang menjamin kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya baik muslim maupun non muslim. Begitu indahnya pemandangan ketika Islam kafah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka, marilah bersegera memperjuangkannya!
Wallahualam bissawab.