Permen PPKS, Potensi Legalisasi Zina Di Perguruan Tinggi
Vindy W. Maramis, S.S (Aktivis Muslimah)
Munculnya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 yang telah diteken oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan teknologi Indonesia, Nadiem Makarim, tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi menuai polemik. Sejumlah pihak menyatakan penolakan terhadap Permen PPKS ini.
Penolakan ini muncul karena adanya diksi ‘consent atau persetujuan korban’ yang terdapat pada pasal 5 ayat (2) tersebut. Diksi ini dinilai sarat akan makna, bahwa melakukan interaksi seksual yang didasari atas rasa suka sama suka tidak menjadi masalah dan tidak dapat dijatuhi hukum pidana. Namun, hal ini dibantah oleh Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Ahmad Taufan Damanik mengatakan, consent atau persetujuan (konsensual) dari kedua belah pihak sangat penting untuk pembuktian dalam kasus pelecehan atau kekerasan seksual, apakah ada unsur eksploitasi satu pihak ke pihak lain atau tidak. (Kompas.com).
Namun demikian, pernyataan ini justru semakin memperjelas akan potensi terbukanya pintu zina dan seks bebas di perguruan tinggi. Pergantian peraturan terkait masalah Kekerasan Seksual ini nyatanya bukan semakin menemukan titik terang, melainkan semakin mengarah pada kekacauan. Indonesia justru terlihat semakin hanyut pada arus liberalisme-sekuler yang meniscayakan kebebasan bertingkah laku dan pengabaian pengaturan agama dalam kehidupan. Apa jadinya bila hal ini dibiarkan? Bukankah seks bebas yang didasari alasan suka sama suka akan semakin marak di kalangan perguruan tinggi?
Akar dari permasalahan ini tak lain karena mendominasinya sistem Kapitalisme dalam kehidupan bermasyarakat didunia, tak terkecuali Indonesia. Sistem inilah yang telah melahirkan pemahaman sekuler dan liberal. Kapitalisme telah menumbuhsuburkan perilaku mesum dan amoral yang berujung pada kekerasan seksual yang terjadi ditengah-tengah masyarakat umum dan perguruan tinggi. Kapitalisme juga telah menggeser dan menyelewengkan fungsi pendidikan dan perguruan tinggi, membentuk pribadi-pribadi yang tak bermoral dan tak berakhlak mulia, hanya mementingkan meraih manfaat, nilai, materi dan keuntungan, tanpa memperdulikan lagi halal dan haram. Padahal perguruan tinggi semestinya menjadi wadah pencentak generasi penerus bangsa yang potensial dan berkualitas, tidak cacat moral dan akhlaknya.
Berbeda dengan Sistem Islam yang memiliki pengaturan hidup yang kaffah, yang mengatur kehidupan individu, masyarakat, dan negara, yang disebut Sistem Pemerintahan Islam atau Khilafah. Dalam pandangan Islam, tidak ada yang namanya huriyah atau kebebasan. Semua perilaku dan perbuatan manusia harus bersandar pada Syariat Islam. Begitu pula interaksi antara laki-laki dan perempuan baik di tengah-tengah masyarakat umum maupun dalam lingkungan perguruan tinggi. Dalam sistem Pergaulan Islam, laki-laki dan perempuan tidak dibenarkan ikhtilat atau bercampur baur dan khalwat atau berdua-duaan tanpa ditemani mahrom dan dalam konteks kebutuhan syar’i seperti melakukan interaksi terkait masalah Kesehatan, Pendidikan, dan jual beli. Islam sangat menjaga kehormatan individu, terutama perempuan. Dalam sejarah peradaban Islam, sedikit sekali didapati adanya kasus pelecehan seksual dan perzinahan, karena hukuman dalam Islam jelas dan baku, sifatnya mencegah dan memberi jera. Begitu pula dalam Sistem Pendidikan, Islam memandang setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan berkualitas. Maka wadah dan fasilitasnya, seperti sekolah, perguruan tinggi dan pendidik nya juga harus disediakan negara dengan kualifikasi dan kualitas terbaik. Sehingga akan tercetak insan-insan terpelajar yang memiliki potensi, berkuatilas baik moral maupun keahliannya. Dengan demikian siaplah ia menjadi penggerak perubahan kearah yang lebih baik lagi, memberi manfaat pada masyarakat, agama dan bangsanya. Sudah saatnya mengganti sistem Kapitalisme yang rusak dan merusak ini dengan Sistem Islam yang memiliki pengaturan hidup yang sempurna. Insyallah. Allahua’lam bisshawab.