Nelayan Menjerit, Korban Kapitalis Para Elit
Oleh Salsabila Zachra (Aktivis Muslimah)
Beberapa waktu lalu sejumlah nelayan tradisional menyampaikan keluhan tentang sulitnya mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi ke DPRD Sumatera Utara. Para nelayan tradisional ini berasal dari sejumlah daerah di Sumut, seperti Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai), Langkat, Batubara, Kota Medan, dan Tanjung Balai meminta pemerintah agar menambah pasokan BBM subsidi bagi para nelayan.
Menanggapi permasalahan ini, Pertamina MOR I Medan menjelaskan bahwa sebagai perusahaan penyedia Bahan Bakar Minyak (BBM), pihaknya hanya mendistribusikan saja ke daerah-daerah yang memiliki SPBU Nelayan.
“Masalah pasokan atau kuota, kita kembalikan kepada masing-masing pemerintah daerahnya, karena semua sudah diatur, kita sebagai pihak penyedia hanya menyalurkan sesuai angka dari masing-masing daerah,” tutur Section Communication & Relations Sumbagut Pertamina MOR 1, Agustiawan. (waspada.co.id, 23/09/2021).
Di Sumatera Utara sendiri itu ada 27 SPBU Nelayan, hingga saat ini Pertamina sudah salurkan hampir 90 persen. “Jadi, permasalahannya ini sudah kita bicarakan kemarin di RDP DPRD Sumut, jadi nanti akan di data seluruh nelayan yang tergabung di Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, dan akan diaturlah skemanya nanti,” terangnya.
“Dan perlu diketahui, Pertamina dalam hal ini hanya menyalurkan, untuk program kuota, kita kembalikan ke pemerintah daerah masing-masing wilayah,” tandasnya.
Kemiskinan menjadi problem serius negara kita. Angka kemiskinan masih besar, sementara kekayaan rakyat baik berupa minyak dan gas bumi, barang tambang maupun yang lainnya tidak banyak dinikmati oleh rakyat, tapi oleh segelintir orang, termasuk pihak asing melalui regulasi dan kebijakan yang tidak pro rakyat.
Rencana pembatasan BBM bersubsidi misalnya, makin memuluskan liberalisasi sektor migas di mana salah satu poin pentingnya adalah pencabutan subsidi. Rencana itu diperlukan untuk menekan subsidi tidaklah relevan karena faktanya yang lebih membebani APBN adalah pembayaran utang dan bunga utang serta keperluan lain.
Ironi. Nelayan dan rakyat lainnya adalah pemilik asli yang ditunjuk langsung oleh Zat yang maha menciptakan segala sesuatu, malah menjerit menderita karena batasan kuota yang ditetapkan sesama manusia yang tak berhak membuat batasan-batasan tersebut.
Begitulah kapitalisme. Hal semacam ini sudah lumrah terjadi. Apalagi dunia kapitalis terkesan dengan pemisahan agama dari kehidupan dan hanya tertuju pada kekuasaan dan kedudukan, sehingga segala bentuk kepentingan mereka dimudahkan.
Sementara itu apa kabar dengan rakyat bawah? Sejatinya mereka hanya benar-benar menjadi korban dari para elit kapital yang ada. Di tambah lagi selalu termakan janji manis kampanye di masa lampau yang seolah mereka akan menjamin hidup masyarakat saat ini.
Sudah saatnya kita kembali ke syariat Islam kafah, karena Allah Swt. telah menciptakan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia termasuk aturan tata kelolanya.
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Wallahualam bissawab.