Sekolah Perempuan Ala Feminis, solutif kah?
Nazli Agustina Nst, S.PdI (Aktivis
Pendidikan)
“Perempuan” selalu
menjadi topik menarik dalam perbincangan dan pembahasan di era kekinian.
Terlebih pada dekade belakangan ini dimana hampir 50% kontribusi permasalahan
dalam negeri bahkan persoalan dunia diisi oleh isu perempuan, generasi dan
keluarga.
Sejak era pasca perang
dunia ke-II perempuan sudah memainkan peran politiknya dalam perjuangan
mewujudkan keadilan dan hak-hak hidupnya yang diawali oeh benua Eropa. Namun
tampaknya sampai kini persoalan perempuan tak kunjung usai malah semakin parah.
Di dalam negeri
sendiri umumnya dan di Sumatera Utara khususnya kita masih mendapati tingginya
angka kekerasan terhadap perempuan, kemiskinan dan eksploitasi perempuan yang
semakin parah di tengah kondisi pandemi saat ini.
Menyikapi kondisi
tersebut, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provsu
mengadakan kegiatan virtual meeting tentang Tindak Lanjut Pembentukan
Sekolah Perempuan Sumatera Utara, Rabu (18/8/21), yang menghadirkan narasumber
Leli Zailani dari HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia) dan peserta
dari Dinas PPPA serta LSM terkait perempuan di Sumatera Utara.
Sekolah
Perempuan ini merupakan strategi dan model pembangunan pemberdayaan perempuan
dan perlindungan anak yang sistematis dan jangka panjang. Salah satu contoh
sekolah perempuan adalah sekolah perempuan yang telah dilaksanakan oleh
HAPSARI, juga sebagai model pendekatan dan advokasi. Model pendekatan tersebut
berisi program-program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak,
sedangkan model advokasi berisi advokasi-advokasi penurunan kekerasan terhadap
perempuan dan anak, pencegahan pernikahan anak, dan penurunan pekerja anak.
Benarkah
pembentukan sekolah perempuan akan menjadi solusi efektif menghilangkan
persoalan yang menimpa perempuan?
Akar Persoalan Perempuan Adalah Akibat
Penerapan Ideologi Kapitalisme
Sekali lagi, berbicara tentang perempuan pasti
berkelindan berbagai persoalan yang membelitnya. Isu kemiskinan, pendidikan,
kesehatan, kekerasan, dan konflik kerap dirasakan kaum perempuan. Perempuan
dipandang sebagai kelompok kelas subordinat, marginal, dan tertinggal.
Perempuan dianggap hanya sukses dalam urusan rumah tangga, tetapi peran
publiknya tergerus oleh budaya patriarki dan agama.
Pandangan inilah agaknya yang menjadi dasar
bagi pegiat kesetaraan gender untuk terus mengampanyekan ide kesetaraan gender
melalui pemberdayaan perempuan. Perempuan tak boleh dipandang sebelah mata.
Perempuan harus disetarakan hak dan kewajibannya dengan laki-laki. Bahwa
perempuan harus bisa menjadi pelaku perubahan sosial agar terbebas dari
kemiskinan yakni dengan menjadikannya berdaya dari sisi ekonomi.
Sehingga peran perempuan diperluas dalam perekonomian. Mereka diberi
banyak akses dan kemudahan sebagai penggerak ekonomi. Seperti program
peningkatan pelaku usaha perempuan, fasilitas permodalan, kemudahan memulai
usaha, jaminan kekayaan intelektual. Yang paling menonjol adalah program
ekonomi kreatif dan UMKM.
Partisipasi perempuan terhadap UMKM mencapai
lebih 60% dari 57,83 juta UMKM di Indonesia pada 2018. Kontribusi perempuan
dalam UMKM dikatakan turut mendongkrak PDB mencapai 9,1%.
Ketercapaian ini diamini para pegiat gender
yang menganggap kemiskinan dan perempuan memanglah berkaitan. Bukti yang mereka
paparkan ialah perempuan ternyata berhasil keluar dari peran domestik yang
mengungkungi sampai bisa memberi sumbangsih bagi perekonomian negara. Namun
anehnya kemiskinan yang menimpa perempuan justru meningkat drastis malah
diperparah dengan tingkat kekerasan yang diterima kaum perempuan baik di ranah
domestik maupun di tempat kerja
Sungguh sebuah kesimpulan yang dangkal. Apa
yang menjadi sebab kemiskinan dan rendahnya pendidikan di kalangan perempuan
tidak pernah dikaji lebih mendalam. Padahal persoalan kemiskinan, kekerasan,
beban ekonomi, atau pendidikan rendah bukanlah masalah perempuan saja, tapi
masalah masyarakat secara keseluruhan akibat penerapan ideologi
kapitalisme-sekularisme.
Menjadikan perempuan
sebagai bumper ekonomi sama halnya memaksa kaum perempuan
berperan ganda, sebagai ibu rumah tangga sekaligus bekerja demi nafkah. Jika
tak kerja, dianggap beban, dipandang tak berdaya, dan dinilai tak produktif.
Inilah
kenyataan yang sebenarnya, bahwa persoalan masyarakat pada umumnya dan
perempuan khususnya tidak bisa dilepaskan dari penerapan kapitalisme yang
diusung oleh feminisme. Sehingga tidak akan pernah mampu menyelesikan persoalan
perempuan karena kerap bertumpu pada kepentingan korporasi dengan menjadikan
perempuan mesin ekonomi yang murah.
Sehingga yang
dibutuhkan saat ini adalah mengganti sistem yang mengkungkung dan memeras
tenaga perempuan dengan suatu sistem yang benar, yakni sistem Islam yang justru
akan mengembalikan perempuan kepada peran strategisnya agar terjadi proses
perubahan yang diinginkan.
Islam Solusi Tuntas Persoalan Perempuan
Dalam pandangan Islam baik laki-laki maupun
perempuan memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam mengenyam pendidikan,
menuntut ilmu, mengajarkan ilmu, dan berdakwah. Adapun jika terdapat ketentuan
hukum yang berkaitan dengan predikatnya sebagai laki-laki dan perempuan, hal
itu tidak bermakna tak setara.
Allah Swt. memberikan diferensiasi atas peran
laki-laki dan perempuan dalam kehidupan pernikahan dan bermasyarakat tidak
didasarkan pada pengertian hierarki gender, tetapi pada apa yang diperlukan
secara efektif untuk mengatur kehidupan keluarga dan masyarakat secara
proporsional dan berkeadilan. Sehingga, tercipta kehidupan yang harmoni dan
sinergi.
Perbedaan
ketentuan hukum ini bukan berarti diskriminasi. Namun, di sinilah rasa keadilan
yang Allah beri untuk makhluk-Nya sesuai kapasitas dan potensi masing-masing.
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu iri hati
terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian
yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan,
dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah
kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (TQS An-Nisa:
3)
Adapun kewajiban mencari nafkah, dibebankan
pada kaum laki-laki. Bukan untuk menunjukkan kekuatan laki-laki dan kelemahan
perempuan. Peran ini diberikan sesuai dengan kemampuan fisik dan tanggung jawab
yang diberikan Allah Swt. pada laki-laki.
Islam memandang perempuan dengan tepat dan
menempatkannya pada posisi mulia, yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Posisi yang sangat strategis, sebab masa depan generasi dan sebuah bangsa
sangat ditentukan oleh posisi ini. Proses pendidikan pada anak yang dilakukan
oleh kaum ibu menjadi kunci utama tingginya peradaban sebuah bangsa. Bukan
malah mengeluarkan mereka dari rumah-rumahnya untuk mencari nafkah sehingga
terbengkalai kewajibannya sebagai ibu dan pendidik generasi.
Pemberdayaan
perempuan haruslah diarahkan pada upaya pencerdasan politik umat dengan
membentuk kesadaran Islam di tengah masyarakat, mengubah pemikiran rusak
seperti sekularisme, liberalisme, feminisme, dan turunannya. Juga mengubah peta
hidupnya dengan menjadikan Islam sebagai way of life.
Dengan semua
peran itu sejatinya akan mampu terselesaikan persoalan perempuan dan
kebangkitan umat akan mampu diraih. Wallahu'alam.