Buta Politik Generasi
Oleh:
Friska A., S. Farm (aktivis generasi muda)
Beberapa
waktu lalu, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi
mengatakan, bahwa masih banyak anak muda yang tidak toleran dalam hal
politik, dibandingkan intoleransi pada praktik agama. Hal ini menjadi temuan
dalam hasil survei suara anak muda tentang isu-isu sosial politik bangsa pada
Maret 2021. Dari hasil survei yang di lakukan terhadap 1200 anak muda tersebut
di dapat beberapa data, diantaranya 64,7 persen anak muda menilai partai
politik atau politisi di Indonesia tidak terlalu baik dalam mewakili aspirasi masyarakat. Ada
sekitar 36 persen anak muda yang di survei menyatakan tidak keberatan apabila non
muslim menjadi pemimpin daerah seperti gubenur dan walikota.
Krisis kepercayaan kaula muda
Hilangnya
kepercayaan anak muda terhadap kinerja partai politik, bukanlah sesuatu yang
datang tanpa di sertai sebuah sebab, apalagi hanya sekedar pandangan tendensius
terhadap sebuah partai politik. Krisis kepercayaan ini hadir menyelimuti
generasi muda akibat dari fakta-akurat yang mereka saksikan sendiri.
Berbondong-bondong merakyat saat pemilu sudah di depan mata, kemudian acuh tak
acuh terhadap rakyat inilah yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat
kita. Belum lagi kasus-kasus korupsi yang menimpa para pejabat tinggi,
kebijakan-kebijakan yang jauh dari kalimat ‘menyejahterakan rakyat’, serta
keberpihakan para pejabat tinggi yang mementingkan kebutuhan asing daripada
rakyat sendiri sering terjadi. Maka menjadi hal yang wajar saat para pemudanya
kehilangan kepercayaan kepada partai politik untuk mewakili aspirasi mereka di
tengah gedung parlemen.
Buta
politik
Selain
rasa tidak percaya terhadap partai politik, tidak sedikit pula anak muda yang buta
terhadap politik itu sendiri. Mulai dari yang salah memilih haluan politiknya,
yang netral sikapnya, sampai yang benci terhadap politik itu sendiri. Sikap
anak muda yang seperti ini juga turut di sayangkan, sebab pada hakikatnya
politik adalah tool (alat) yang di gunakan dalam menggerakan setiap
kebijakan negara. Baik atau buruknya kebijakan yang di hasilkan, giat dan
lesunya roda ekonomi, meroket nya harga kebutuhan masyarakat, terjadinya
privatisasi sumberdaya, stunting, dan lain sebagainya merupakan hasil
dari kebijakan politik. Maka adalah sebuah kesalahan besar apabila kita sebagai
rakyat suatu negeri salah dalam memaknai politik itu sendiri, salah dalam
memilih politiknya, bahkan abai dalam setiap perjalanan politik yang terjadi di
Indonesia. Terkhusus para generasi muda, yang merupakan penggerak roda politik
di masa yang akan datang. Hancur dan suksesnya sebuah negeri juga tergantung
terhadap politik serta kepemimpinan yang di jalankan.
Generasi
muda dan sistem politik kebangkitan
Politik
bukanlah hal baru yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Hancur dan bangkitnya
sebuah negeri tergantung dengan politik, partai politik, beserta oknum yang
memainkannya, sebab politik adalah tool (alat) penggerak sebuah raksasa
bernama negara. Hanya saja politik seperti apa yang mampu untuk memberikan
pengaruh positif dalam kehidupan bernegara itu sendiri. Dalam kitab Takatul
al-Hizbiy karangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, beliau menjelaskan secara
tuntas bagaimana sebuah partai politik mampu menjadi alat kebangkitan untuk
umat. Beliau menjelaskan berhasil atau gagalnya sebuah partai politik menuju
kebangkitan tergantung dari ideologi yang di anut oleh partai itu sendiri
(anggota). Kita bisa lihat bagaimana sistem besar kapitalis dan komunis beserta
ideologinnya tidak mampu memberikan kesejahteraan bahkan kebangkitan nyata
untuk masyarakat. Belajar dari kegagalan dua ideologi besar ini Syaikh Taqi
memberikan solusi yang bisa di gunakan untuk mencapai perubahan, yaitu
menjadikan ideologi islam sebagai inti dan pedoman bagi setiap partai politik
dalam menjalankan alat kekuasaannya. Sebab keimanan kepada Allah lah yang
menjadi dasar dari ideologi ini sendiri. Wallahu'alam.