Mampukah Feminisme Menggugat Al-Qur'an?
Alfisyah
S.Pd (Guru dan Pegiat literasi Islam)
Gugatan
para feminis atas pemikiran Islam tak berhenti hingga saat ini. Beberapa topik yang
paling santer diantaranya soal poligami, hak waris laki-laki dan perempuan,
hukum persaksian, masalah talak dan yang lainnya. Padahal selayaknya gugatan
itu lebih tepat dilayangkan pada sistem kapitalisme, sosialisme, bangsa Aarab, Yunani, Romawi, dan Tionghoa.
Bangsa
Arab sendiri yang dianggap mewakili Islam padahal tidak sama sekali, justru merendahkan
wanita. Sejak dilahirkan wanita
dianggap sial oleh bangsa arab karena tidak mampu ikut dalam peperangan dan membalas dendam. Wanita dianggap lemah,
oleh karena itu ketika lahir para wanita dibunuh. Kisah pembunuhan bayi wanita
oleh bangsa arab telah disebutkan di dalam Al-Qur'an pada surat attakwir ayat
8. Artinya setelah Islam datang para anak perempuan itu dimuliakan dan dijaga
kehormatannya. Tidak boleh dibunuh dan diperlakukan sama baiknya seperti anak
laki-laki sampai dewasa. Sebab
perempuan itu adalah pencetak generasi selanjutnya. Betapa jahiliyahnya
mereka tidak berfikir bagaimana mereka tetap ada jika para wanita dibunuh. Oleh
karena itu Islam datang menyelamatkan para wanita dari penderitaan dan
perlakuan yang merendahkannya.
Ketika
dewasa para wanita itu harus dikawinkan. Namun cara yang dilakukan
bangsa arab bukanlah cara yang memuliakannya. Cara rendah seperti hewan
berlaku pada saat itu. Seorang
wanita harus memasang bendera putih di atas rumahnya agar 10 orang lelaki
datang mempergaulinya bergantian hingga hamil, lalu setelah hamil dan
melahirkan sang bayi dicocokkan wajahnya dengan para laki-laki yang menggauli
wanita tadi. Wajah
yang mirip dan kenyamanan saat di gendong menjadikan laki-laki itu sebagai
suaminya. Cara-cara
hina seperti ini tidaklah menunjukkan penghormatan pada wanita.
Berbeda
dengan Islam saat wanita itu akan diperistri, dia dimuliakan dengan
proses khitbah syar'i. Setelah itu melalui
walinya dia dinikahkan dengan seorang laki-laki yg memberikan mahar dan
dilangsungkan akad nikah bersama dua
orang saksi. Cara ini memuliakan dan menjaga kehormatan mereka. Saat wanita
jadi istri nafkahnya di tangan suaminya. Kewajibannya hanya untuk
mendidik anak dan melakukan hadhonah
pada anaknya. Peran
ini adalah peran mulia yang tidak dapat dilakukan oleh seorang laki-laki. Seluruh kebutuhannya
dipenuhi oleh suaminya dari A hingga Z. Dia tidak merasakan
kesulitan sedikitpun karena dirinya adalah jiwa yang wajib dijaga oleh suami,
ayah, lingkungan
dan negara dimana dia berada. Itulah
hukum Islam mengenai perlakuan terhadap wanita.
Rasulullah
Shalallahu alayhi wasallam dalam beberapa hadis bahkan menyebutkan posisi
ketaatan seorang anak pada Ibunya sebanyak tiga kali. Setelah itu ketaatan
seorang anak beralih kepada
Ayahnya. Begitu
besar penghormatan yang disyariatkan oleh Islam pada seorang Ibu dibandingkan
seorang Ayah. Kondisi
seperti ini tidak ditemukan pada peradaban manapun. Oleh karena itu tudingan
yang diarahkan pada Islam
dan gugatan pada Al-Qur'an terkait hukum yang dianggap tidak adil oleh para
pegiat gender telah mencederai umat Islam, juga
telah menggugat Allah sebagai sang pencipta seluruh alam ini. Kesombongan para
pegiat gender itu akan menuai kemarahan Allah atas mereka.
Sejatinya
yang harus digugat itu adalah sistem kapitalisme. Sistem ini menjadikan
para wanita sebagai objek sexualitas, seperti barang dagangan, iblis dan bahkan ada yang
menganggap sebagai hewan dan bahkan
lebih rendah lagi. Sesungguhnya
penderitaan dan diskriminasi yang nenimpa perempuan hari ini karena perempuan
itu mau untuk dihinakan. Upaya perempuan
membiarkan sistem kapitalisme terap bercokol dan diamnya dari mewujudkan
sistem Islam yang akan memuliakan
perempuan menyebabkan perempuan tetap berada dalam bahaya.
Semakin
bercokolnya sistem kapitalisme, sosialis dan budaya-budaya yang menomorduakan
perempuan semakin menambah deret panjang penderitaan perempuan. Hak talak yang ada pada
laki-laki dan hak fasakh pada perempuan adalah sesuatu yang adil. Begitu juga hak warisan adalah adil jika memahami fiqih
lebih dalam lagi. Hukum persaksian pun memiliki maslahat jika ada di tangan
laki-laki dua orang dan empat orang pada perempuan. Allah lebih memahami dan
mengerti apa yang terbaik pada umatnya daripada umat itu sendiri. Karena itulah
syariat Islam menjadi solusi atas perlakuan tidak hormat sistem dan bangsa lain
terhadap perempuan.
Jadi, jika kita berfikir secara obyektif maka akan sampai
pada sebuah pemahaman bahwa tidak mungkin di balik hukum-hukum Allah itu
"tidak ada maslahatnya'. Misanya di balik hukum nusyuz hak mendidik istri ada di tangan suami. Maka
prosesi menasehati, lalu memisahkan
tempat tidur dan memukul yang tidak menyakitkan (tidak terangkat lengan dari
ketiak suami) dalam arti pukulan kasih sayang adalah sesuatu yang hanya suami
yang dianggap mampu oleh Allah untuk melakukannya. Namun kebencian dan
pengingkaran terhadap syariah telah membutakan mata para pejuang gender.
Akhirnya mereka menolak hukum Islam, dan menjadi pejuangnya memusuhi hukum
Allah itu. Inilah yang Allah sebutkan dalam firmanNya tentang larangan berlaku
tidak adil karena benci kepada suatu
kaum. Naudzubillah min dzaalik. Demikianlah perjuangan kesetaraan gender tak
lebih dari penolakan terhadap hukum syariat. Persoalannya ada di wilayah
keimanan dan tataran prilakunya sekaligus. Para pejuang gender itu harus segera
disadarkan sesegera mungkin melalui dakwah jamaah. Mesti ada jamaah Islam yang
konsen meniti jalan dakwahnya menuju penerapan islam kembali secara kaffah.
Hanya dengan cara itu diskriminasi dan penderitaan terjadap perempuan juga
stigmatisasi buruk syariat islam itu dapat digentikan.Allah menjadi
satu-satunya yang disembah dan ditaati aturannya oleh laki-laki dan perempuan
secara sempurna. Wallahu
a'lam.