Aturan Liberal Merenggut Identitas Muslim & Muslimah
Rahmah Khairani, S.Pd (Aktivis dakwah muslimah Medan
dan Pendidik)
Institusi
Pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua berdasarkan naungannya, yakni yang
berada dibawah Kementrian Pendidikan dan Budaya (Kemendikbud), dan yang berada
di bawah Kementrian Agama (Kemenag). Sehingga lahirlah dari pemisahan dua
lembaga ini intitusi pendidikan yang memiliki identitas keunggulan
masing-masing. Dua jenis institusi tersebut adalah wadah yang disediakan negara
untuk memenuhi pendidikan generasi di Indonesia. Mereka diberi pilihan atas
jenis yang ingin dikuasai. Apakah pengetahuan umum saja, atau pengetahuan umum plus pengetahuan yang bernafaskan agama.
Semua dikembalikan kepada masing-masing individu.
Menurut
UU No.2 Tahun 1985, tujuan pendidikan adaah “untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya, yaitu bertakwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, memiliki pengetahuan, sehat jasmani dan rohani, memiliki budi
pekerti luhur, mandiri, kepribadian yang mantap dan bertanggung jawab terhadap
bangsa.” Berdasarkan UU tersebut, sesuai urutannya hal penting yang menjadi
tujuan pendidikan adalah untuk mencapai sikap takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Hal ini harus dipahami oleh semua pihak, khususnya para petinggi lembaga
pendidikan dan seluruh warga sekolah.
Definisi
sifat takwa harus dikembalikan kepada sumber maknanya, yakni menjalankan
seluruh perintahNya dan menjauhi seluruh laranganNya. Sekolah sebagai wadah
pencetak generasi takwa, harus memperhatikan hal ini dalam setiap
kebijakan-kebijakannya. Pembiasaan melalui aturan-aturan sekolah diharapkan
dapat menciptakan suasana takwa bagi individu yang diharapkan. Misalnya dari
aturan tentang seragam sekolah, adab terhadap orang lain, dan sebagainya harus
berporos kepada nilai-nilai takwa yang sudah dipahami.
Namun, belum lama ini, Mendikbud
Nadiem Makarim, Mendagri Tito Karnavian, dan Menag Yaqut Cholil Qoumas,
menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait ketentuan seragam di
lingkungan sekolah. Ketentuan ini keluar setelah terjadi insiden heboh seorang
siswa non-muslim diminta mengenakan jilbab di Sekolah Menengah Kejuruan (SMKN)
2 Padang, Sumbar. Sehingga di dalam SKB tersebut mengatur bahwa pemerintah dan
sekolah tidak boleh mewajibkan atau pun melarang seragam dan atribut peserta
didik, pendidik, dan tenaga kependidikan. Sebab hal itu adalah bagian dari hak
individu. (Tempo.co,11/02/21)
Sayangnya terdapat celah besar
kekeliruan dalam SKB tersebut. Ketentuan seragam yang diatur menuai polemik,
kegaduhan, dan ketidakpastian hukum. Adapaun poin yang menuai polemik adalah
sebagai berikut:
- Peserta didik, pendidik, dan
tenaga kependidikan berhak memilih antara: seragam dan atribut tanpa kekhususan
agama; seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
- Pemda dan sekolah tidak boleh
mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama
- Pemda dan kepala sekolah wajib
mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam atribut dengan kekhususan
agama paling lama 30 hari kerja sejak SKB 3 Menteri ini ditetapkan (Kompas.com,
5/2/21)
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia
Buya Amirsyah menyatakan bahwa klausul yang terdapat dalam aturan bisa bermaka
luas dan beragam sehingga implikasinya bisa berlaku bagi siapa saja termasuk
yang beragama muslim sekalipun. Oleh karena itulah beliau menganjurkan agar
poin-poin tersebut direvisi oleh kementerian terkait.
Poin-poin SKB 3 Menteri terkait
aturan seragam sekolah melahirkan pro-kontra di masayarakat. Pertama, terkait
urgesitasannya yang tidak lebih penting ketimbang permasalahan Pembelajaran
Jarak Jauh (PJJ) yang sedang dialami. Kedua, tentang poin-poin yang memberikan
kebebasan bagi civitas pendidik untuk memilih seragam dan atribut apa yang
hendak mereka gunakan. Dampak yang bisa terjadi adalah pendidik maupun peserta
didik muslim yang sebelumnya diwajibkan untuk memakai pakaian sesuai ajaran
agama yakni menutup aurat, bisa melanggar aturan agama jika memilih mengikuti
aturan SKB ini. Padahal melanggar aturan agama sama dengan mencampakkan
nilai-nilai ketakwaan yang menjadi tujuan pendidikan RI. Aturan ini jelas
kontraproduktif dengan semangat dan cita-cita pendidikan Indonesia untuk
melahirkan generasi bangsa yang bertakwa dan berakhlak mulia.
Sejatinya demikianlah potret aturan
yang lahir dari sistem sekuler-liberalisme. Saat nilai-nilai agama dipisahkan
dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara maka yang terjadi adalah pengagungan
terhadap kebebasan yang merajalela. Hal ini berbeda dengan pengaturan kehidupan
di dalam sistem Islam. Sistem Islam menjadikan sistem syari’at sebagai landasan
perbuatan. Fungs-fungsi syari’at yang akan dijalankan adalah penjagaan terhadap
kehormatan dan agama. Maka di dalam sistem Islam sudah tentu akan diatur
mengenai pakaian rakyatnya agar tetap terjaga kehormatan dan agamanya yakni
dengan memakai pakaian yang menutup aurat sehingga tidak mengumbar sesuatu yang
tidak pantas untuk ditampakkan karena bisa menimbulkan masalah baru yang lebih
kompleks. Demikianlah seharusnya negara sebagai pengatur urusan ummat bukan
hanya sebagai regulator yang berlepas tangan dari masalah baru yang dapat
ditimbulkan dari kebijakan-kebijakannya. Wallahu’alam bish showab.