Balada Banjir Rob di Belawan, Masyarakat Butuh Islam
Oleh: Retno Purwaningtias (Aktivis Muslimah Medan)
Pasang air laut (rob) sudah menjadi langganan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan Medan Utara. Meski hanya terjadi dalam beberapa jam, ribuan rumah di daerah Belawan terendam air laut dengan ketinggian yang bervariasi. Drainase yang tidak berfungsi membuat seluruh ruas jalan raya tergenang sehingga sangat mengganggu aktivitas masyarakat.
Banjir rob ini sudah terjadi sejak puluhan tahun namun tidak sampai menggenangi Kota Belawan. Pasca adanya proyek reklamasi pantai Belawan dan penimbunan hutan bakau (manggrove) demi kepentingan bisnis pihak swasta membuat kawasan resapan air jadi berkurang. Kondisi yang sangat memperihatinkan ini membuat warga Belawan yang bermukim mengeluh. Terutama mereka yang menggantungkan hidupnya sebagai seorang nelayan berskala kecil.
Selain adanya proyek reklamasi alur laut yang dijalankan pemerintah, Presidium Lintas Eksponen 98 Sumut, R. Khairil Chaniago mengatakan ada empat penyebab banjir rob di kawasan Medan Utara yang belakangan ini membuatnya semakin parah. Pertama, pengalihan lahan mangrove menjadi areal PLTU seluas lebih kurang 120 hektar yang terletak di paluh kurau; kedua, adanya pengembangan untuk usaha budidaya tambak, baik di kelurahan Sicanang maupun di seputaran sungai dua; ketiga, adanya pengembangan kawasan perkebunan sawit yang menutup beberapa jalur paluh di daerah paluh kurau dan sekitarnya; dan keempat, perubahan kawasan mangrove menjadi depo peti kemas. Dampak dari perubahan fungsi zona penyangga mengakibatkan air pasang kekurangan akomodasi dan akhirnya meluber ke wilayah pemukiman penduduk. Kondisi ini menujukkan bahwa proteksi pemerintah terhadap buffer zona sangat lemah. (tajdid.id/21/01/2020).
Masyarakat Belawan sudah meminta pemerintah membuat tanggul untuk mencegah naiknya air laut yang lebih parah lagi. Pemerintah Kota Medan menyebut pihaknya menunggu realisasi dari pemerintah pusat. "Tanggul sudah diusulkan ke pemerintah pusat dan sudah disurvei langsung oleh pemerintah pusat," kata Kabag Humas Pemko Medan, Arrahman Pane. (detikcom, 18/09/2020).
Sudah sejak lama banjir rob ini menjadi permasalahan di kawasan Medan Utara. Dan sudah sejak lama juga pemerintah mewacanakan pembangunan tanggul. Namun pemerintah Kota Medan belum juga menanggapi serius terkait hal ini. Hingga hari ini wacana tersebut belum juga terealisasi. Keluhan masyarakat Belawan terkesan diabaikan. Pembangunan di kawasan Medan Utara seperti dianaktirikan. Padahal Belawan adalah pintu gerbang perekonomian nasional bagian barat, karena di kecamatan Medan Belawan terdapat sebuah pelabuhan terbuka untuk perdagangan internasional, nasional dan regional; Pelabuhan Belawan (sekarang Pelabuhan Bandar Deli) yang tak hanya dikenal sebagai pelabuhan ketiga terbesar di Indonesia—setelah Tanjung Perak, Surabaya dan Tanjung Priok, Jakarta. Pelabuhan yang menjadi urat nadi perekonomian Sumut dan propinsi lainnya di pulau Sumatera.
Tampaknya pemerintah hanya ingin meraup keuntungan yang ada di wilayah Belawan. Melihat pemandangan kontras antara pelabuhan yang dibangun begitu megah dan semarak dengan kondisi Belawan yang selama ini menjadi tempat tinggal dan hunian masyarakat setempat. Belawan dikenal sebagai kawasan yang kumuh dan jorok. Ditambah lagi masalah banjir rob yang tak kunjung mendapatkan solusi dari pemerintah setempat.
Beginilah sistem pemerintahan yang ditunggangi rezim kapitalis. Pemerintah hanya fokus mencari keuntungan dalam menangani proyek pelebaran dermaga di pelabuhan melalui reklamasi pantai. Proyek Reklamasi yang tidak hanya menimbun pantai atau laut, tapi juga menyangkut soal (kuari) sumber pasir (material) untuk penimbunannya. Akibatnya banyak masyarakat yang telah dirugikan dengan meluasnya banjir rob ini.
Berdalih untuk investasi dan kepentingan pembangunan, akan tetapi pembangunan di wilayah Medan Utara tidak diperhatikan. Tidak memikirkan dampak yang membuat sedih masyarakat dengan menurunnya hasil tangkap bagi mereka yang berprofesi sebagai nelayan berskala kecil. Jelas sekali pemerintah lebih condong pada kepentingan pemilik modal yang terlibat dalam proyek tersebut. Pemerintah lebih mengutamakan kaum kapitalis pemilik modal dibandingkan menyelesaikan masalah masyarakat atas nama investasi. Pantas saja masalah banjir rob tak kunjung menemukan solusi.
Beragam persoalan membelit kawasan Belawan. Ketidakadilan dalam pembangunan wilayah, kemiskinan, dan banyak lagi. Manifestasinya dapat dilihat bagaimana pemerintah kota tidak memperhatikan wilayah Medan utara ini. Padahal kawasan Medan Utara telah berkontribusi besar dalam perekonomian Provinsi Sumatera Utara.
Jika mengaitkan masalah belawan dengan penerapan kapitalisme, maka terlihat bahwa bahwa kapitalisme adalah ideologi yang rusak. Ia tidak mampu mengobati permasalahan yang sudah bertahun-tahun menimpa Belawan, yang dilakukan pemerintah hanya meredamnya dengan memberikan janji-janji dalam menyelesaikan masalah banjir rob ini. Wacana pembangunan tanggul pun hingga hari ini belum juga terealisasi.
Sebagai seorang pemimpin yang baik, seharusnya kepentingan dan keluhan rakyat lebih didahulukan. Pemerintah sudah sepatutnya menghentikan proyek ini. Memeriksa dan melakukan audit analisa terhadap dampak lingkungan (Amdal). Jika pemerintah abai dan menganggap sepele masalah ini, bagaimana nasib masyarakat yang tinggal kawasan Belawan ke depannya?
Allah berfirman, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Rum: 41).
Sistem kapitalis-liberal gagal dalam menangani permasalahan Belawan, terutama masalah banjir rob ini. Proyek reklamasi pantai yang dijalankan dengan sistem ekonomi liberal justru menyengsarakan rakyat. Menjadi pintu masuk bagi kaum kapitalis pemilik modal untuk menguasai aset di Medan Utara. Kegagalan kapitalisme dalam memecahkan masalah Belawan jelas dan tidak ada solusi yang permanen.
Masalah banjir rob yang terjadi di Belawan ini hanya bisa diselesaikan bila pemerintah mau mengubah sistem kapitalis-liberal yang selama ini terapkan dengan sistem terbaik. Yaitu sistem islam. Sebuah sistem yang aturannya didasarkan Alquran dan As-Sunnah, sehingga akan meriayah umat, bukan malah menyengsarakan. Karena dalam sistem islam seorang pemimpin pastilah melandaskan arah kebijakannya pada keimanan, bukan keuntungan. Ia lebih takut dimintai pertanggungjawaban oleh Allah daripada sekadar mendapat untung dunia. Sebagaimana kisahnya Umar Bin Khaththab, yang lebih mementingkan kondisi rakyat dari pada keuntungan dirinya di masa kepemimpinannya sebagai seorang khalifah.
Berbeda dengan sistem kapitalis-liberal. Pemerintah tidak akan pernah peduli pada kepentingan masyarakat karena kapitalime mendidik mereka dengan mindset untung dan rugi. Akhirnya ketika berkuasa malah bermental pengusaha. Apa-apa dinilai dengan profit. Dalam sistem islam pemerintah pasti akan mendahulukan kewajibannya meriayah umat dari pada sekadar meningkatkan devisa atau investasi dan kepentingan pembangunan.
Kepemimpinan pada hakikatnya adalah melayani (HR Ibnu Asakir dan Abu Nu’aim). Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpin. Menjadi pemimpin berarti mendapat mandat untuk melayani rakyat. Karena itu, seorang pemimpin harus memiliki visi dan misi pelayanan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemimpin yang dicintai rakyatnya adalah pemimpin yang dapat mengayomi, melayani, menyayangi, dan membela rakyat, serta tidak berbuat dzalim kepada rakyat. Dalam sabda Nabi SAW, “Takutlah kamu akan doa seorang yang terdzalimi (teraniaya), karena doa tersebut tidak ada hijab (penghalang) di antara dia dengan Allah.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam sistem pemerintahan islam, bila ada kebijakan atau proyek yang dijalankan menyengsarakan masyarakat, maka tidak boleh ditindaklanjutkan. Pemimpin dalam menjalankan tugasnya selalu bertujuan untuk kepentingan rakyat dan selalu memberikan solusi pada masalah-masalah umat. Permasalahan yang terjadi di tengah rakyat akan segera sampai kepada khalifah karena khalifah memiliki struktur yang jelas dan bersifat sentralistik yang memungkinan kecepatan informasi dan responnya dalam melayani umat. Dalam sebuah hadist disebutkan, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari).
Paling tidak ada tiga aspek dalam melayani. Pertama, melayani dengan hati (khidmah bil-qalb). Ciri pemimpin yang melayani dengan hati adalah tujuan utamanya adalah melayani kepentingan rakyat; memiliki kerinduan untuk membangun dan mengembangkan rakyat; memiliki perhatian terhadap kebutuhan rakyat; akuntabilitas, penuh tanggungjawab dan dapat diandalkan; mau mendengar keluhan dan harapan rakyat; dan dapat mengendalikan ego dan kepentingan pribadinya. Kedua, melayani dengan kepala/pikiran (khidmah bil-aql). Hal penting dalam melayani dengan pikiran adalah memiliki visi yang jelas; responsive (tanggap dalam setiap persoalan, kebutuhan, dan harapan rakyat, aktif dan proaktif dalam mencari solusi dari setiap permasalahan dan tantangan). Ketiga, melayani dengan tangan (khidmah bil-yad). Pemimpin tidak sekadar memuaskan rakyat, tetapi juga memiliki kerinduan untuk mengemban amanah dengan baik; fokus pada hal spiritual dibandingkan sekedar kesuksesan duniawi; mau belajar;dan menselaraskan diri terhadap komitmen beribadah dan melayani rakyat.
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang lalim selain kerugian.” (Qs. Al-An’am: 157).
Islam sebagai sebuah ideologi dan tuntunan dalam menjalankan roda pemerintahan akan dapat dilaksanakan secara utuh apabila tiga asas penerapan hukum Islam—dalam buku Hafidz Abdurrahman, 1998—ada di dalam kehidupan umat, yaitu: adanya ketaqwaan individu yang mendorongnya untuk terikat kepada hukum syara’, adanya kawalan/keinginan dari masyarakat, dan sebuah negara yang menerapkan syari’at islam secara utuh. Apabila salah satu asas ini telah runtuh, maka penerapan syari’at Islam dan hukum-hukumnya akan mengalami penyimpangan, dan akibatnya Islam sebagai sebuah agama dan ideologi tidak akan ada lagi. (Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011: “Khilafah dalam Sistem Pemerintahan”, Oksep Adhayanto, Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik Universitas Maritim Raja Ali Haji).
Masalah yang terjadi di Belawan hanyalah satu dari sekian banyaknya masalah yang terjadi di negeri ini. Belawan adalah satu contoh dari ruang lingkup yang lebih kecil. Masih banyak persoalan-persoalan masyarakat yang terjadi sejak lama serta keluhan-keluhan yang tak kunjung ada penyelesaian yang konkret. Hanya islam-lah yang mampu menyelesaikan problematika umat. Karena pemimpin akan menjalankan amanah berdasarkan keimanan. Maka untuk mewujudkan sebuah sistem terbaik tersebut dibutuhkan usaha yang memerlukan kerjasama antar masyarakat. Al-Maududi menegaskan bahwa—dalam buku Mohd.Azizuddin Mohd. Sani, 2002 halaman 59—“Negara dan pemerintahan Islam bukanlah boleh lahir secara mukjizat dengan tiba-tiba sempurnanya (meskipun Allah SWT bisa melakukannya), ia mestilah melalui suatu usaha yang besar dan menyeluruh termasuklah proses pentarbiyahan serta pembentukan fikiran rakyat umum”.
Sistem Islam bertujuan memudahkan kepentingan segala pihak di segala urusan. Islam mewajibkan negara berperan sebagai pelayan umat dan mengharuskan negara untuk mengembangkan sistem birokrasi dan administrasi yang sederhana dalam aturan, cepat dalam pelayanan, dan profesional.
Wallahu’alam Bisshowwab.