KETAHANAN KELUARGA YANG MENJADI HARAPAN
Oleh : Meyly Andyny (Mahasiswa Pendidikan Matematika FKIP UMSU)
Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia dibuat kisruh dengan banyaknya pasal bermasalah dalam sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU). Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dicanangkan diantaranya RUU KPK, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), RUU Ketahanan Keluarga, dan lainnya. Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut memicu reaksi publik, begitu pula halnya dengan RUU Ketahanan Keluarga (RUU KK).
RUU Ketahanan Keluarga diusulkan lima anggota dewan periode kini, yaitu Ledia Hanifa (PKS), Netty Prasetiyani (PKS), Sodik Mudjahid (Gerindra), Ali Taher (PAN), dan Endang Maria (Golkar). RUU Ketahanan Keluarga tampil sebagai jawaban atas dua persoalan, yakni situasi rentan dalam keluarga di Indonesia dan belum adanya aturan menyeluruh tentang keluarga.
Sebelumnya, pada September 2017, Komite III DPD RI juga telah membahas RUU Ketahanan Keluarga ini sebagai bahan usulan ke DPR untuk menjadi undang-undang. Seorang pengusul RUU Ketahanan Keluarga, Ali Taher, mengungkapkan mengapa dia dan keempat rekannya mengusulkan RUU kontroversial ini. "Saya prihatin dengan tingginya angka perceraian. Pada 2013 mencapai 200 ribu, lalu pada 2018 menjadi 420 ribu. Belum lagi persoalan nikah usia muda yang menganggu reproduksi dan pola asuh anak," ungkap anggota dewan dari Fraksi PAN itu, seperti dikutip dari Media Indonesia (24/3).
RUU Ketahanan Keluarga semakin bergulir dan berhasil masuk ke dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) Prioritas tahun 2020. RUU Ketahanan Keluarga tiba-tiba menyusup masuk ke parlemen dan bakal mengancam ruang-ruang privat warga negara. Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi mengatakan bahwa "RUU tersebut usul inisiatif DPR, masih dalam tahap penjelasan pengusul di rapat Baleg yang selanjutnya akan dibahas di Panja untuk diharmonisasi, sebelum dibawa ke pleno Baleg", Rabu (19/2/2020).
Meski memicu reaksi publik, Rancangan Undang-Undang (RUU) dianggap sejalan dengan cita-cita Joko Widodo (Jokowi). Anggota Komisi IX dari Fraksi PKS, Kurniasih Mufidayati mengingatkan tentang cita-cita Jokowi tentang menuju 'Indonesia Emas'. "Justru ingin mendorong cita-cita presiden Jokowi, kan ingin ada Indonesia Emas, pasti harus tergantung pada kualitas SDM. Kualitas SDM sangat tergantung kualitas keluarga," kata Kurniasih, seperti dikutip dari CNN Indonesia (25/3).
Disamping sejalan dengan cita-cita Jokowi, masuknya RUU ketahanan keluarga (RUU KK) dalam daftar program legislasi nasional, mengundang pro-kontra. Pengusul RUU ini bermaksud untuk memperbaiki kualitas keluarga dan menyelesaikan berbagai masalah yang menimpa keluarga. Sementara yang kontra, meski dengan berbagai macam kalimat, tapi berpijak pada satu sudut pandang, yaitu bahwa negara tidak perlu turut campur dalam urusan keluarga. Bahkan mengklaim bahwa ada upaya memasukkan ideologi agama tertentu pada RUU ini.
Berdasarkan penelusuran Kompas.com, setidaknya ada XX pasal yang berpotensi menimbulkan polemik. Pasal yang mengandung polemik diantaranya mencakup kewajiban suami-istri (diatur dalam Pasal 25), donor sperma dan ovum (diatur dalam Pasal 31 dan 32), tambahan cuti melahirkan (diatur dalam Pasal 29 Ayat (1) huruf a), hingga penyimpangan seksual (diatur pada Pasal 86 hingga Pasal 89).
Kehadiran RUU Ketahanan Keluarga mendapat kritikan hingga penolakan keras dari kalangan masyarakat luas. Pasalnya, draft RUU tersebut dinilai terlalu mencampuri ranah privat dan moral warga negara yang tidak seharusnya menjadi urusan pemerintah. Selain itu, RUU tersebut dinilai sangat mendiskriminasi peran perempuan dalam keluarga, mengatur tentang kewajiban istri terhadap rumah tangganya, mengotak-kotakkan peran suami dan istri di dalam rumah tangga. Dalam RUU Ketahanan Keluarga tersebut tertulis bahwa istri punya tiga tugas yang berkaitan dengan urusan domestik keluarga.
Tak pelak lagi bahwa sudah terlalu banyak pelanggaran norma, moral, dan perbuatan bebas yang menyimpang yang telah merusak keluarga dan generasi. Karenanya ada kesadaran untuk menyelesaikan melalui pemberlakuan undang-undang. Namun ternyata niat baik itu tak selalu disambut baik. Perbedaan sudut pandang nyatanya menghasilkan perbedaan sikap hingga perdebatan yang pada akhirnya hanya saling menyalahkan dan tidak akan banyak membawa perubahan pada kondisi buruk ini. Khususnya tentang klaim membawa-bawa agama dalam RUU KK ini. Pihak yang kontra sangat tidak setuju agama dibawa dalam ranah pengaturan urusan publik. Urusan keluarga bersifat privasi dan diselesaikan oleh komitmen masing-masing keluarga sesuai dengan pemahaman dan keyakinannya. Karenanya mereka tidak setuju negara turut campur dalam mengurusi teknis urusan rumah tangga.
Seperti yang mereka soroti tentang peran ibu di pasal 25, pasal ini dikritik keras oleh para pembela perempuan, karena menekankan peran ibu di ranah domestik. Sehingga tidak wajib mencari nafkah, harus melayani kebutuhan suami dan anak-anaknya. Menurut mereka pengaturan ini terlalu terikat dengan norma agama yang ditafsirkan secara tekstual, penafsiran yang kaku, tidak moderat dan progresif, sehingga tidak mengakomodir perubahan situasi. “Andai perempuan hanya di rumah saja, bagaimana dengan fenomena hari ini di mana perempuan sudah banyak yang berpendidikan tinggi sehingga terbuka lebar akses mereka terhadap dunia kerja? Bagaimana dengan perempuan single parent? Bagaimana dengan yang suaminya pengangguran?” itu yang menjadi alasan mereka.
Mestinya tidak ada pembatasan seperti itu, karena peran suami dan istri dapat bertukar peran pada saat diperlukan. Pada saat istri di masa reproduksi, maka suami yang bekerja, tapi nanti saat fungsi reproduksi perempuan berhenti, maka ia boleh bekerja dan suami bergantian menjaga anak dan mengurus rumah.
Pro-kontra terhadap RUU ini lahir dari perbedaan perspektif yang tajam tentang peran negara dan agama dalam menyelesaikan persoalan. Dan polemik ini niscaya akan terus terjadi pada bangsa yang menyepakati sekularisasi agama. Semangat untuk mewujudkan nilai-nilai kebaikan yang lahir dari pemahaman syariat akan mendapat perlawanan sengit dari pihak moderat sekuler. Agama tidak akan pernah mendapat tempat semestinya, hanya diposisikan sebagai keyakinan individu atau kelompok. Tidak boleh ada norma agama sedikit pun dalam perundang-undangan negara.
Karena itu, untuk implementasi syariat Islam yang diyakini benar, lengkap, dan sempurna, dan akan menyelesaikan berbagai persoalan, tidak bisa hanya dengan menyuntikkan nilai atau ruhnya saja. Karena tubuh bangsa ini masih belum serempak menerima syariat, masih ada penolakan. Sistem demokrasi ini memang sangat tidak kompatibel dengan syariat Islam. Kita akan terjebak dalam sikap defensif apologetic dan lelah melayani tudingan terhadap syariat, sementara syariat Islam itu sendiri tidak bisa ditegakkan.
Dalam Islam, Negara dan agama bagai saudara kembar. Tak bisa dibedakan, tak mungkin dipisahkan. Agama –Syariat Islam– bentuknya nampak dalam wujud negara, negara wadah penerapan syariat Islam, representasi Islam adalah Negara. Islam menetapkan negara sebagai penanggung jawab utama untuk kebaikan bangsa, masyarakat termasuk keluarga. Ketahanan keluarga adalah isu penting dalam Islam, sebagai madrasah ula, keluarga ditempatkan sebagai dasar pembentukan identitas bangsa.
Dalam Islam, antara Negara dan keluarga punya ikatan sinergi yang kuat dan strategis. Suksesnya kepemimpinan kepala keluarga dalam mewujudkan keluarga sholih – mushlih (baik dan memberi kebaikan pada masyarakat dan negara) wajib ditopang oleh kepemimpinan di tingkat negara. Mampunya kepala keluarga memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya, pendidikannya, moral dan akhlak anggota keluarganya, menjaga dari keburukan dan fungsi keluarga lainnya. Didukung peran Negara dalam penyelenggaraan sistem ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Begitu pun lahirnya kepemimpinan yang amanah dan bertanggung jawab, diperoleh dari pendidikan keluarga. Wallahualam.