Ibu, Gatra Ketahanan Keluarga


Oleh : Ayu Ramadhani (Aktivis The Great Muslimah Community; Mahasiswa Universitas Negeri Medan)

Pandemi Covid-19 mengubah wajah dunia, hingar bingar peliknya berubah menjadi duka yang tak kalah pilunya. Ia juga meruntuhkan kesombangan manusia, menampar dengan keras betapa tak berdayanya manusia. Tak tanggung tanggung, imbasnya luar biasa. Ancaman resesi ekonomi dunia dan tingkat mortalitas yang terus menanjak adalah dua diantara dampak yang ada. Maka tak heran, setiap Negara menggencarkan gatra ketahanannya. Lalu apa yang terjadi dengan pertiwi? Sama, ia dalam keadaan miris. Semua aktivitas berimbas dan tergerus. Astagatra nyatanya tak berbuah manis. Mortalitas tinggi, badai PHK, pembelajaran daring yang terkendala bahkan produk JPS yang tak selamat turut serta dalam duka pandemi.
Abainya Negara mengakibatkan ‘ambil-alih’ tanggung jawab pada pundak rakyat. Adalah wanita pihak yang turut terimbas. 'Double' peran yang dijalaninya bertambah berat. Diluar menjadi tulang punggung, saat di rumah kembali menjaga keluarga. Pekerjaan yang dijalaninya ditengah wabah pasti tidaklah mudah, ditambah fakta suami yang terkena badai PHK. Tertelan pahit untuk mencukupi kebutuhan buah hati yang dicinta. Tidak menjadi rahasia umum upah yang diterima tidak seberapa tapi lelahnya tidak terkira. Ekonomi keluarga selalu menjadi alasan klise agar sang ibu turut bekerja. Padahal dengan ia bekerja akan menyita banyak waktu sehingga perannya sebagai madrasatul ‘ula kian terasingkan karena potensi wanita yang dimanfaatkan penuh oleh para pemilik modal.
Di rumah ia juga harus menjalankan peran lain yang tak kalah pentingnya. Imbas virus global juga memaksa tenaga pendidik dan siswa undur diri dari arena sekolah. Kewajiban pengajaran dikembalikan pada si-empunya. Maka, dalam semalam ibu bertambah profesi menjadi guru bagi anak anakanya. Banyak orangtua yang merasa kewalahan dalam mengawasi pembelajaran anaknya. Pelajaran anak yang tidak lagi dikuasai orangtua dan sikap ‘tenang’ anak yang kadang membuat orangtua geram.
Banyaknya tersiram garam, luka Ibu kian perih. Hasil kerja yang tak juga memenuhi kebutuhan keluarga, penatnnya mengajar anak dirumah dan ditambah persoalan lain yang tak kalah beratnya memicu stress dan tekanan. Kerap kali ini menjadi cikal bakal keruntuhan keluarga. Saat tidak ada lagi materi yang dianggap solusi dan minimnya pemahaman ikut mendukung detik detik keruntuhan keluarga. Hal ini tentu memiliki pengaruh besar pada kualitas generasi kedepannya. Akibatnya para anak akan kehilangan sosok penjaganya. Anak akan kehilangan arah kemana mereka akan melangkah. Mereka juga dapat berbuat onar guna melirik perhatian orangtua. Keruntuhan keluarga adalah salah satu faktor tingginya angka kenakalan remaja. Jika remaja sebagai generasi muda kehilangan arah, siapa pewaris yang layak untuk Negara kedepannya?
Jarang disadari bahwa efek domino dari gagalnya penanganan pandemi sampai sedalam ini. Ditambah lagi fakta peningkatan angka perceraian pada saat wabah melanda, membuktikan peran Ibu kian jauh dari seharusnya. 
Ibu adalah sumber ketahanan keluarga, padanya terdapat selaksa generasi selanjutnya. Dikatakan mendidik anak perempuan seyogyanya sedang menyiapkan satu generasi, maka seorang ibu dipersiapkan jauh sebelum pernikahannya. Ibu adalah madrasah pertama yang mendidik dan merekontruksi sesuai dengan pemahamannya. Maka Ibu bukan guru dadakan yang hanya mengajarkan soalan akademik semata tetapi juga nilai nilai akhlak dan peraturan sosial. Tentu saja diawali dengan penanaman konsep akidah si buah hati. Dengan didikan awal ibu lah anak akan menjadi generasi yang  mantap imannya dan kuat akidahnya serta berbudi pekerti yang luhur.
Dari akar yang kuat tumbuhlah pohon yang sehat. Anak yang telah mantap akidahnya akan menjadi pewaris yang layak bagi peradaban selanjutnya. Sungguh dalam peran Ibu, hingga menembus lini negaranya. Ibu adalah gatra ketahanan yang luar biasa dan banyak potensinya. Namun potensi pekerja keras dan penuh semangat itu dibajak oleh para pemilik modal yang disokong penguasa atas dasar mendongkrak ekonomi. Jadilah peran utama ibu adalah scene dengan waktu sisa.
Negara sungguh telah gagal dan abai dalam menjamin kehidupan rakyatnya. Apa penyebabnya? Sistem-lah jawabannya. Sistem Kapitalisme yang lahir dari sekularisme, memiskinkan dan membodohkan rakyat tak ber-uang secara struktural. Populasi wanita yang lebih banyak dari pria dan alasan kebutuhan keluarga menjadikannya bidikan yang pas untuk dijadikan tangga kekayaan pengusaha. Alhasil, wanita dieksploitasi layaknya komoditi. Kemana nasib generasi? Generasi seperti apa yang lahir dari sistem ini? Bukankah kita perlu generasi yang baik? Dan tentunya butuh kerjasama negara untuk mewujudkannya.
Sungguh jauh dari sistem Islam yang memuliakan perempuan, ia adalah Ratu di rumahnya. Keluarga kuat, Negara juga hebat adalah satu diantara banyaknya potret berhasilnya Khilafah me-ri’ayah rakyatnya.  Sistem ini pulalah yang berhasil mencetak generasi emas dengan sosok ibu kuat dibelakangnya. Siapa yang tak kenal dengan sosok Usamah bin Zaid dan Zaid bin Tsabit? Remaja yang pada usia belia telah menjadi pasukan perang dan penerjemah Rasulullah saw. Bukankah mereka memiliki didikan yang kuat dari sang ibunda? Sungguh kondisi tersebut akan hadir kembali sebagaimana yang telah Rasulullah Saw. kabarkan, sistem yang akan menaungi ummat manusia di akhir zaman mengikuti metode kenabian. Sistem yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan akan memuliakan manusia sesuai fitrahnya. Wallahu’alam bishshawwab.