Ayah Bahagia dalam Khilafah
Oleh : Ummu Arifah, S.Pd (Ibu Rumah Tangga ; Aktivis Muslimah Medan)
Seorang ayah tak akan pernah merasa gundah dalam sistem Islam. Dahulu, empat belas abad yang lalu hingga sampai 3 maret 1924, seorang ayah merasa bahagia hidupnya. Fokus pada tugas utamanya yaitu sebagai qowwam/pemimpin di keluarga besarnya. Mampu memberikan semua yang dibutuhkan anaknya sebab amat mudah baginya mendapatkan pekerjaan, bahkan bonus upahnya diatas layak. Sebab kala itu ayah mendapatkan lapangan pekerjaan sesuai keahliannya secara mudah. Sebab Negara yang bernama Khilafah itu telah mengatur sedemikian rupa agar ayah mendapatkan dengan mudah rizkinya demi untuk memastikan stabilnya ketahanan pangan di rumahnya dan tanggungannya.
Ayah yang bahagia, itulah yang terjadi, tidak seperti hari ini dimana para ayah mayoritas gundah bukan kepalang karena susahnya mendapatkan pekerjaan. Jikapun ada pekerjaan, namun gajinya tak layak, jauh diatas gaji standart. Semua itu terpaksa dilakoni agar tetap ada pemasukan untuk keluarga meskipun baru seminggu digunakan sudah habis, tidak sampai sebulan. Ayah galau gundah, tak senyum, hampir putus asa sebab beban di kepalanya begitu berat dari A sampai Z. Mayoritas ayah stress, jauh dari Allah, mudah marah, bahkan beberapa ayah sanggup bertindak kriminal agar tetap bisa mendapatkan uang yang akan dibawa untuk keluarganya.
Angka kriminalitas di masyarakat pun meningkat sebab para ayah tak sanggup berpikir normal dan benar. Logikanya hilang tersulut kegundahan hatinya untuk membawa uang saat pulang ke rumahnya. Kegundahan sang ayah pun bertambah dengan pemikiran yang rumit ketika anak minta uang sekolah, uang praktek, uang untuk membuat tugas sekolah, uang berobat jika sakit dan rengekan istri jika sewa rumah sudah habis. Begitulah yang terjadi. Ayah makin gundah karena bukan hanya kebutuhan pokok sandang, pangan, papan saja yang mesti dipenuhi namun lebih dari itu. Biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan keluarganya.
Hal tersebut berbeda jika sang ayah hidup dalam Khilafah. Sebab ayah hanya memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan pokok individu yaitu sandang, pangan, dan papan saja. Adapun pendidikan sepenuhnya akan ditanggung Negara, lalu kesehatan jika sakit juga ditanggung Negara. Masalah keamanan jiwa, harta dan lain-lain juga diserahkan pada kepolisian Negara, tak perlu membayar satpam, bodyguard, atau semacamnya.
Dengan upah kerja yang cukup memadai/jauh di atas layak, maka dalam sistem ini ayah akan fokus pada proses pendidikan anaknya sinergis dengan ibu, menjadikan generasinya sebagai generasi berkualitas sekelas ulama dan para intelektual. Ayah berpikir bagaimana caranya agar diri dan keluarganya fokus menjadi hamba Allah yang taat, yang hanya tunduk pada hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupannya. Masalah ekonomi sedikitpun tak pernah menyusahkannya. Para ibu pun tenang sebab kebutuhan keluarganya dipenuhi. Itulah jika Negara bertanggung jawab sepenuhnya. Sehingga ayah, ibu, anak, dan semua warga negara tanpa kecuali merasa bahagia lahir batin dalam Khilafah.
Dalam sistem ekonomi Islam, anggaran belanja negara dan pengaturan SDA diurus berdasarkan pengaturan Islam. Sumber daya alam yang melimpah sepenuhnya dihasilkan dan diberikan untuk rakyat. Pengelolaannya bukan di tangan pihak lain, sehingga tidak ada prinsip bisnis ala kapitalis dalam pengelolaannya.
Hasilnya melimpah ruah untuk rakyat Khilafah bahkan mampu membantu Negara tetangga. Wajar saja, sistem Khilafah itu yang membuat para ayah tenang, bahagia, sumringah dan menikmati rahmat Allah dengan rasa syukur yang luar biasa. Demikianlah jika pengaturan Negara itu berdasarkan hukum Allah, Tuhannya manusia. Maka selama sistem Negara ini tidak berubah, selama itu pulalah ayah akan gundah gulana dan tak pernah merasa bahagia sedikitpun.
Wallahualam.