MENOLAK PAHAM PLURALISME
Oleh: Achmad Fathoni (dir. El harokah Research Center)
Rasulullah bersabda: “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti tradisi/kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak-pun kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka.” (HR. Muslim, No. 4822)
Paham pluralisme yang sedang gencar-gencarnya dipromosikan di seantero dunia termasuk di Indonesia. Pluralisme (agama) sebenarnya mengandung 2 (dua) hal sekaligus: (1) Kenyataan bahwa di sana ada keanekaragaman agama; (2) Pandangan tertentu dalam menyikapi realitas keanekaragaman agama yang ada. Kesimpulan ini dapat ditelaah, misalnya, dalam penjelasan Josh McDowell mengenai definisi pluralisme. Menurut McDowell, ada dua macam pluralisme: (1) Pluralisme tradisional. Pluralisme ini didefinisikan sebagai “menghormati keimanan dan praktik ibadah pihak lain tanpa ikut serta bersama mereka”. (2) Pluralisme baru yang menyatakan bahwa “setiap keimanan, nilai, gaya hidup dan klaim kebenaran dari setiap individu adalah sama”. (http://www.ananswer.org/mac/answeringpluralism.html, diakses 11/6/2005).
Dari pengertian pluralisme di atas, jelas bahwa yang dia sampaikan bukan sekadar fakta, tetapi sudah menyangkut opini. Ini terlihat dari pandangan bahwa semua keimanan, nilai, gaya hidup dan klaim kebenaran, adalah sama/setara.
Benar, bahwa ada keanekaragaman keyakinan, kepercayaan atau agama. Ini adalah kenyataan dan merupakan sunatullah. Inilah yang disebut dengan pluralitas. Namun, jika kemudian dikembangkan paham/opini bahwa semua agama benar, tidak boleh ada monopoli klaim kebenaran, tidak mengapa merayakan Perayaan Natal Bersama atas nama toleransi, dll; semua itu jelas sebuah penyesatan. Inilah paham pluralisme yang memang sengaja didesakkan ke dalam tubuh umat Islam untuk melemahkan akidah mereka.
Karena itu, paham pluralisme agama, di samping patut dikritisi, juga harus diwaspadai. Alasannya karena: Pertama, secara normatif pluralisme agama bertentangan secara total dengan akidah islamiyah. Sebab, pluralisme agama menyatakan bahwa semua agama adalah benar: Islam benar, Kristen benar, Yahudi benar, Ahmadiyah benar dan semua agama/keyakinan apa pun sama-sama benar. Sebaliknya, menurut Islam, hanya Islam yang benar (QS Ali-Imran [3]: 19); agama selain Islam adalah tidak benar dan tidak diterima oleh Allah SWT (QS Ali-Imran [3]: 85).
Kedua, secara historis paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, namun dari orang-orang Barat sekular, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok. Misalnya pada 1527 di Paris terjadi peristiwa yang disebut The St Bartholomeus Day’s Massacre. Pada suatu malam di tahun itu, sebanyak 10.000 jiwa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik. Peristiwa mengerikan semacam inlah yang lalu mengilhami revisi teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965).Semula diyakini: extra ecclesiam nulla salus (outside the church no salvation); tak ada keselamatan di luar Gereja. Lalu keyakinan itu diubah, bahwa kebenaran dan keselamatan itu bisa saja ada di luar Gereja (di luar agama Katolik/Protestan). Jadi, paham pluralisme agama ini tidak memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Islam, tetapi diimpor dari kaum Kristen di Eropa dan AS.
Ketiga, andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentunya Gereja harus menganggap agama Islam benar. Faktanya, Gereja tidak konsisten. Gereja terus saja melakukan kristenisasi yang menurut mereka guna menyelamatkan domba-domba yang sesat (baca: umat Islam) yang belum pernah mendengar kabar gembira dari Tuhan Yesus. Kalau Islam benar, mengapa kritenisasi di Dunia Islam terus saja berlangsung? Lagipula, pada 28 Januari 2000, Paus Yohanes Paulus II pernah membuat pernyataan, “The Revelation of Jesus Christ is definitive and complete.” (Ajaran Jesus Kristus sudah tetap dan komplit). Paus juga menyatakan, bahwa agama-agama selain Katolik memiliki kekurangan.Hanya Gereja Katolik yang merupakan jalan keselamatan yang sempurna menuju Tuhan. Pada tahun 2000 itu pula Paus Yohannes Paulus II mengeluarkan dekrit ‘Dominus Jesus’ yang secara tegas menolak paham pluralisme agama. (Adian Husaini, Hidayatullah.com, 7/5/2007).
Keempat, secara politis pluralisme agama dilancarkan di tengah dominasi Kapitalisme yang Kristen atas Dunia Islam. Karena itu, arah pluralisme patut dicurigai. Andai tujuan pluralisme adalah demi menjunjung tinggi HAM, mencegah konflik dan kekerasan, menguatkan perdamaian dunia dll maka perlu disadari:
- Menurut Amnesti Internasional, AS adalah pelanggar HAM terbesar di dunia. Sejak Maret 2003 ketika AS menginvasi Irak, sudah 100.000 jiwa umat Islam yang dibunuh oleh AS. Jadi, mengapa umat Islam dan bukan AS yang menjadi sasaran penyebaran paham pluralisme?
- Konflik dan kekerasan juga sering terjadi karena faktor politik, bukan karena motif agama. Lagi-lagi, AS-lah yang banyak menyulut konflik di berbagai negara. Di Irak, misalnya, AS sengaja menyulut konflik Sunni-Syiah dalam rangka melemahkan posisi umat Islam di sana. Tujuannya jelas: untuk memecah-belah Irak agar mudah dikuasai. Demikian juga di Pakistan. Konflik di Pakistan yang menewaskan puluhan orang baru-baru ini bukanlah konflik agama atau antara penganut Islam ’garis keras’ dan Islam ’moderat’, namun lebih mencerminkan konflik kepentingan antara AS dan Inggris di wilayah itu. Konflik itu tercermin dari perseteruan Musharraf (yang merupakan kaki tangan AS) dan Benazir Bhuto (yang menjadi kaki tangan Inggris).
Tujuan akhir dari konsep pluralisme agama sangat mudah dibaca, yaitu untuk menghancurkan akidah umat Islam. Pasalnya, Barat sangat memahami bahwa akidah Islam adalah kunci vitalitas sekaligus ruh kebangkitan umat Islam. Kalau akidah umat Islam tidak segera dihancurkan, mereka akan bisa berpotensi menjadi ancaman serius untuk menantang hegemoni Barat pada masa datang. Itulah mengapa, Baratlah, terutama AS, begitu royal membiayai LSM-LSM untuk berbagai proyek pluralisme di Dunia Islam, termasuk di Indonesia.[]