Hukum Melecehkan Syari'at Islam
Oleh : Fatih al-Malawy
Tindakan melecehkan atau menghina Syari'at Islam disebut Istihza' yaitu tindakan seseorang yang mengolok-olok atau melakukan pelecehan atau peremehan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan agama.
Para ulama sepakat bahwa pelaku istihza’ fiddien (menghina agama) jika pelakunya seorang Muslim, maka ia telah Murtad dari agama Islam. Namun, jika pelakunya kafir, maka ia akan dikenakan sanksi yg berat sesuai dengan hukum ta'zir.
Allah Swt menyebutkan dalam firman-Nya :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ . لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?.” Tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kalian (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah [9]: 65-66)
lbnu Umar r.a. menceritakan tentang sebab turunnya ayat tersebut adalah sebagai berikut, “Dalam perang Tabuk ada orang yang berkata, “Kita belum pernah melihat orang-orang seperti para ahli baca Al-Qur`an ini. Mereka adalah orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam peperangan.” Para ahli baca Al-Qur’an yang mereka olok-olok tersebut adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang ahli baca Al-Qur`an.
Mendengar ucapan itu, Auf bin Malik berkata: “Bohong kamu. Justru kamu adalah orang munafik. Aku akan memberitahukan ucapanmu ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Auf bin Malik segera menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaporkan hal tersebut kepada beliau. Tetapi sebelum ia sampai, wahyu Allah (QS. At-Taubah [9]: 65-66) tersebut telah turun kepada beliau.
Ketika orang yang ucapannya dilaporkan itu datang kepada Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau telah beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya. Maka orang itu berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Sebenarnya kami tadi hanya bersenda-garau dan mengobrol sebagaimana obrolan orang-orang yang bepergian jauh untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan jauh kami.”
Ibnu Umar berkata, “Aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan kedua kakinya tersandung-sandung batu sambil berkata: “Sebenarnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.”
Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya kepadanya: “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Beliau hanya mengatakan hal itu dan tidak memberikan bantahan lebih panjang lagi. (lihat: Al-Qurtubi, Jami’ul Bayan fi Ta’wili Ayyil Qur’an, 14/333-335, Ibnu Al-‘Arabi, Ahkamu Al-Qur’an, 2/542)
Ibnul Jauzi berkata: “Ini menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengungkapkan kalimat kekufuran hukumnya adalah sama.” (Ibnu Jauzi, Zaadul Masiir3/465).
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata: ”Barang siapa yang menghina Allah ta’ala maka dia telah kafir baik dalam keadaan bercanda ataupun sungguhan (serius), begitu pula menghina Allah (langsung), atau dengan ayat-ayat-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya”.(Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 12/297)
Al Qadhi Iyadh berkata: “Barangsiapa mengucapkan perkataan keji dan kata-kata yang berisi penghinaan terhadap keagungan Allah dan kemuliaanNya, atau melecehkan sebagian dari perkara-perkara yang diagungkan oleh Allah, atau memelesetkan kata-kata untuk makhluk yang sebenarnya hanya layak ditujukan untuk Allah tanpa bermaksud kufur dan melecehkan, atau tanpa sengaja melakukan ilhad (penyimpangan); jika hal itu berulang kali dilakukannya, lantas ia dikenal dengan perbuatan itu sehingga menunjukkan sikapnya yang mempermainkan agama, pelecehannya terhadap kehormatan Allah dan kejahilannya terhadap keagungan dan kebesaranNya, maka tanpa ada keraguan lagi, hukumnya adalah kafir.” ( Qadhi Iyadh, Asy-Syifaa 2/1092)
Ibnu Nujaim mengatakan: “Hukumnya kafir, apabila seseorang menyematkan sifat kepada Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagiNya atau memperolok-olok salah satu dari asma Allah Ta’ala.” ( Al-Bahrur Raaiq, 5/129)
As-Sa’di berkata, “Menghina Allah dan Rasul-Nya adalah kafir keluar dari millah (agama), karena dasar agama terbangun atas pengagungan terhadap Allah, agama dan rasulnya. sementara istihza’ akan menghilangkan dasar keimanan dan membatalkannya.” (Nawaqith Al-Iman Al-Qauliah Wa Al-‘Amaliah: 114)
Oleh karena, dalam perspektif Islam, hakim di dalam pengadilan harus menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku Istihza' jika ia Muslim, namun jika ia orang kafir maka hakim dapat menjatuhkan sanksi ta'zir seperti memenjarakannya sampai 50 tahun misalnya, hingga menimbulkan efek jera bagi pelakunya dan menimbulkan ketakutan bagi kaum kafir yg lainnya. Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Tindakan melecehkan atau menghina Syari'at Islam disebut Istihza' yaitu tindakan seseorang yang mengolok-olok atau melakukan pelecehan atau peremehan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan agama.
Para ulama sepakat bahwa pelaku istihza’ fiddien (menghina agama) jika pelakunya seorang Muslim, maka ia telah Murtad dari agama Islam. Namun, jika pelakunya kafir, maka ia akan dikenakan sanksi yg berat sesuai dengan hukum ta'zir.
Allah Swt menyebutkan dalam firman-Nya :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ . لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?.” Tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kalian (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah [9]: 65-66)
lbnu Umar r.a. menceritakan tentang sebab turunnya ayat tersebut adalah sebagai berikut, “Dalam perang Tabuk ada orang yang berkata, “Kita belum pernah melihat orang-orang seperti para ahli baca Al-Qur`an ini. Mereka adalah orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam peperangan.” Para ahli baca Al-Qur’an yang mereka olok-olok tersebut adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang ahli baca Al-Qur`an.
Mendengar ucapan itu, Auf bin Malik berkata: “Bohong kamu. Justru kamu adalah orang munafik. Aku akan memberitahukan ucapanmu ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Auf bin Malik segera menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaporkan hal tersebut kepada beliau. Tetapi sebelum ia sampai, wahyu Allah (QS. At-Taubah [9]: 65-66) tersebut telah turun kepada beliau.
Ketika orang yang ucapannya dilaporkan itu datang kepada Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau telah beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya. Maka orang itu berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Sebenarnya kami tadi hanya bersenda-garau dan mengobrol sebagaimana obrolan orang-orang yang bepergian jauh untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan jauh kami.”
Ibnu Umar berkata, “Aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan kedua kakinya tersandung-sandung batu sambil berkata: “Sebenarnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.”
Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya kepadanya: “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Beliau hanya mengatakan hal itu dan tidak memberikan bantahan lebih panjang lagi. (lihat: Al-Qurtubi, Jami’ul Bayan fi Ta’wili Ayyil Qur’an, 14/333-335, Ibnu Al-‘Arabi, Ahkamu Al-Qur’an, 2/542)
Ibnul Jauzi berkata: “Ini menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengungkapkan kalimat kekufuran hukumnya adalah sama.” (Ibnu Jauzi, Zaadul Masiir3/465).
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata: ”Barang siapa yang menghina Allah ta’ala maka dia telah kafir baik dalam keadaan bercanda ataupun sungguhan (serius), begitu pula menghina Allah (langsung), atau dengan ayat-ayat-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya”.(Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 12/297)
Al Qadhi Iyadh berkata: “Barangsiapa mengucapkan perkataan keji dan kata-kata yang berisi penghinaan terhadap keagungan Allah dan kemuliaanNya, atau melecehkan sebagian dari perkara-perkara yang diagungkan oleh Allah, atau memelesetkan kata-kata untuk makhluk yang sebenarnya hanya layak ditujukan untuk Allah tanpa bermaksud kufur dan melecehkan, atau tanpa sengaja melakukan ilhad (penyimpangan); jika hal itu berulang kali dilakukannya, lantas ia dikenal dengan perbuatan itu sehingga menunjukkan sikapnya yang mempermainkan agama, pelecehannya terhadap kehormatan Allah dan kejahilannya terhadap keagungan dan kebesaranNya, maka tanpa ada keraguan lagi, hukumnya adalah kafir.” ( Qadhi Iyadh, Asy-Syifaa 2/1092)
Ibnu Nujaim mengatakan: “Hukumnya kafir, apabila seseorang menyematkan sifat kepada Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagiNya atau memperolok-olok salah satu dari asma Allah Ta’ala.” ( Al-Bahrur Raaiq, 5/129)
As-Sa’di berkata, “Menghina Allah dan Rasul-Nya adalah kafir keluar dari millah (agama), karena dasar agama terbangun atas pengagungan terhadap Allah, agama dan rasulnya. sementara istihza’ akan menghilangkan dasar keimanan dan membatalkannya.” (Nawaqith Al-Iman Al-Qauliah Wa Al-‘Amaliah: 114)
Oleh karena, dalam perspektif Islam, hakim di dalam pengadilan harus menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku Istihza' jika ia Muslim, namun jika ia orang kafir maka hakim dapat menjatuhkan sanksi ta'zir seperti memenjarakannya sampai 50 tahun misalnya, hingga menimbulkan efek jera bagi pelakunya dan menimbulkan ketakutan bagi kaum kafir yg lainnya. Wallahu a'lam bi ash-shawab.