HTI BUKAN ORGANISASI RADIKAL VERSI ANSYAAD MBAY (1)
Oleh: Rokhmat S. Labib
“Ciri gerakan radikal adalah menganut paham takfiri,” kata Ansyaad Mbai pada sidang di PTUN Kamis 1/3/18 yang lalu. Menurut ahli yang didatangkan pemerintah itu, paham takfiri adalah paham yang mengkafirkan orang lain yang berbeda paham dengan kelompoknya.
Tak sekadar mengkafirkan. Menurut Mbai, para penganut paham takfiri ini juga membolehkan untuk membunuh orang yang dianggap kafir tersebut. “Paham radikal inilah yang melahirkan terorisme,” ujar mantan Ketua BNPT itu meyakinkan.
Setelah menjelaskan ciri-ciri lainnya, pun Ansyaad Mbai pun menegaskan bahwa HTI termasuk organisasi radikal sebagaimana disampaikan itu. Meskipun demikian, dia sama sekali tidak bisa menunjukkan bukti tuduhannya itu.
Tuduhan tersebut jelas tidak memiliki dasar. Bahkan bisa disebut sebagai fitnah yang sangat keji.
Pertama, HTI tidak pernah mengkafirkan sesama Muslim hanya karena perbedaan pandangan dan kelompok. Tidak ada satu pun dokumen resmi yang dikeluarkan HTI mengatakan demikian.
HTI justru menjelaskan bahwa status iman dan kufurnya seseorang ditentukan oleh aqidahnya (lihat al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, I/196). Selama masih memeluk aqidah Islam, maka dia tetap Muslim, walaupun melakukan sebuah pebuatan maksiat (lihat al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, I/24).
Amir HT, al-Âlim al-Jalîl Atha Abu Rastah berkata:
ولذلك فإن الذي سار عليه المسلمون هو عدم تكفير مسلم بذنب ارتكبه إلا إذا كان فيه إنكار كمن لا يصوم وينكر فرض الصيام فهذا يكفر بذلك، وأما الذي لا يصوم ويقر بفرض الصيام فهو فاسق وليس كافراً لأن التكفير لا يكون إلا باليقين، فالتكفير أمر كبير في الإسلام والرسول r يقول: «إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا» رواه البخاري من طريق أبي هريرة، وفي رواية لأحمد عن ابن عمر عَنْ النَّبِيِّ r قَالَ »مَنْ كَفَّرَ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا… «
Oleh karena itu, sesungguhnya yang dijalani oleh kaum Muslimin adalah tidak mengkafirkan orang yang seorang Muslim karena dosa yang dikerjakannya kecuali terdapat pengingkaran di dalamnya, seperti orang yang tidak berpuasa dan mengingkari wajibnya puasa, dia dianggap kafir karena pengingkarannya itu. Adapun orang yang tidak berpuasa namun tetap mengakui wajibnya puasa, maka dia fasik, bukan kafir. Sebab, pengkafiran tidak terjadi kecuali pada keyakinan. Pengkafiran merupakan perkara besar dalam Islam, dan Rasulullah saw bersabda: “Apabila seseorang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai orang kafir’, maka akan kembali kepada salah satu dari keduanya (HR al-Bukhari dari Abu Hurairah). Dalam riwayat Imam Ahmad dari Ibnu Umar, dari Nabi saw: “Barangsiapa yang menganggap saudaranya kafir, maka kembali kepada salah satu dari keduanya.” (lihat: http://hizb-ut-tahrir.info/…/amee…/ameer-cmo-site/43848.html ).
Dengan demikian, tuduhan Ansyaad Mbai bahwa HTI menganut paham takfiri, dalam pengertian mengkafirkan orang yang berbeda atau kelompok lain, jelas merupakan dusta.
Untuk diketahui, sikap HTI tersebut tidak berbeda dengan pandangan para ulama mu’tabar. Al-Imam al-Nawawi rahimahullah berkata:
واعلم أن مذهب أهل الحق أنه لا يكفر أحد من أهل القبلة بذنب ولا يكفر أهل الاهواء والبدع وأن من جحد ما يعلم من دين الاسلام ضرورة حكم بردته وكفره
Ketahuilah bahwa madzhab ahlul haq adalah tidak mengkafirkan seseorang di antara ahlul qiblah (orang Muslim) karena perbuatan dosa. Juga tidak mengkafirkan orang yang menjadi budak nafsu dan pelaku bid’ah. Namun orang yang mengingkari sesuatu yang diketahui bagian dari agama ini dengan pasti, maka ia dihukumi murtad dan kafir (Syarh al-Nawawi ‘ala Shahîh Muslim, I/150).
Hukum yang sama juga berlaku bagi yang menghalalkan zina, khamr, pembunuhan, atau perkara-perkara haram yang lain, yang keharamannya diketahui dengan pasti (lihat Syarh al-Nawawi ‘ala Shahîh Muslim, I/150).
Kedua, jika yang dimaksudkan dengan paham takfiri oleh Ansyaad Mbai adalah menganggap orang nonmuslim sebagai orang kafir, maka ini bukan hanya dikatakan oleh HTI. Itu disebutkan dalam banyak ayat, seperti QS al-Bayyinah [98]: 1 dan 6, al-Nisa’ [4]: 150-151, al-Maidah [5]: 72-73 , dan lain-lain.
Para ulama pun tidak berbeda tentang ini. Mereka sepakat bahwa semua pemeluk agama selain Islam adalah kafir. Ibnu Hazm juga berkata:
وَاتَّفَقُوا عَلَى تَسْمِيَةِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى كُفَّارًا
Mereka sepakat tentang penamaan orang Yahudi dan Nasrani sebagai orang-orang kafir (Marâtib al-Ijmâ’, 22).
Bahkan, tidak menganggap pemeluk agama selain Islam sebagai orang kafir juga membuat pelakunya dihukumi kafir. Al-Qadhi Iyadh, seorang ulama besar madzhab Maliki, berkata:
ولهذا نُكَفّر من لم يُكَفّر من دَان بِغَيْر ملّة الْمُسْلِمِين مِن المِلَل أَو وَقَف فِيهِم أَو شَكّ أَو صَحَّح مَذْهَبَهُم وإن أظْهَر مَع ذَلِك الْإِسْلَام وَاعْتَقَدَه وَاعْتَقَد إبْطَال كُلّ مذْهَب سِواه فَهُو كَافِر بإظْهَارِه مَا أظْهَر من خِلَاف ذَلِك
Oleh karena itu kami menganggap kafir orang yang beragama apa pun selain Islam, ragu atas kesalahan mereka, atau menganggap benar madzhab mereka walaupun dia menampakkan keislaman dan meyakini Islam serta menganggap batil semua madzhab selainnya. Ia kafir karena menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang diyakininya (al-Syifa bi Ta’rif al-Huqûq al-Musthafâ, II/286).
Al-Syaikh Manshur al-Bahuti, seorang ulama besar dari Madzhab Hambali, berkata:
)أَوْ لَمْ يُكَفِّرْ مَنْ دَانَ) أَيْ تَدَيَّنَ (بِغَيْرِ الْإِسْلَامِ كَالنَّصَارَى) وَالْيَهُودِ (أَوْ شَكَّ فِي كُفْرِهِمْ أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُمْ) فَهُوَ كَافِرٌ لِأَنَّهُ مُكَذِّبٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ} [آل عمران: 85[
Atau tidak menganggap kafir orang yang beragama selain Islam, seperti Nasrani (dan Yahudi), ragu terhadap kekufuran mereka, atau menganggap benar madzhab mereka, maka dia kafir, karena mendustakan firman Allah Swt dalam QS Ali Imran [85]: (al-Bahuti, Kasyâf al-Qinâ’ ‘an Matnil Iqnâ’, VI/170).
Jika pemahaman seperti ini disebut sebagai paham radikal dengan konotasi negatif, maka Ansyaad Mbai tidak sedang menyerang HTI, namun juga menyerang para ulama mu’tabar yang mengatakan hal yang sama. Lebih dari itu, menyerang ajaran Islam itu sendiri.
Ketiga, penyebutan orang nonmuslim sebagai kafir, bukan berarti boleh membunuhi mereka tanpa alasan yang dibenarkan syara’ seperti tuduhan Mbay.
Sebagaimana penjelasan para ulama mu’tabar, HTI juga berpandangan bahwa tidak boleh memaksa orang kafir untuk masuk Islam, apalagi dengan membunuh mereka. al-Allamah al-Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani berkata:
فلا يعاقِب الخليفة الكفار على عدم الإيمان بالإسلام إلاّ إذا كانوا من مشركي العرب غير أهل الكتاب، وذلك لقوله تعالى: (لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ)، وقوله: (حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ)،
Maka khalifah tidak menghukum orang-orang kafir karena ketidakimanan mereka terhadap Islam, kecuali orang-orang musyrik Arab yang bukan Ahli Kitab. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt: Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam (QS al-Baqarah [2]: 256). Juga firman-Nya: Hingga mereka membayar jizyah dengan patuh dan mereka dalam keadaan tunduk (QS al-Taubah [9]: 29) (al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, III/31).
Disebutkan juga dalam kitab tersebut:
وكذلك لا يكلَّفون بصلاة المسلمين ولا يُمنعون من صلاتهم،
Demikian pula, mereka tidak ditaklif untuk mengerjakan shalatnya orang Islam; mereka juga tidak dilarang mengerjakan shalat (ibadah) mereka sendiri (al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, III/31).
Adapun kafir harbi, hukumnya memang berbeda. Terdapat banyak rincian fakta dan keadaann yang mengandung banyak hukum. Yang pasti, membunuh dan memerangi mereka di medan pertempun bukan sesuatu yang terlarang. Bahkan diperintahkan. Allah Swt berfirman:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas (QS al-Baqarah [2]: 190).
Tentang ini, saya kira tidak ada orang yang berakal sehat mempersoalkannya. Sebab, bagaimana mungkin kita dilarang untuk membunuh, sementara ada musuh yang di hadapan kita dan siap menghabisi nyawa kita?
Jelaslah menyebut HTI sebagai gerakan radikal karena dianggap menganut paham takfiri sebagaimana tuduhan Ansyaad Mbai adalah tuduhan tak berdasar dan bertentangan dengan fakta..
Layakkah keterangan seperti itu diterima, apalagi dijadikan hakim sebagai dasar untuk memutuskan perkara? WaL-lah a’lam bi al-shawâb.[]