Pemimpin Tidak Adil Pasti Masuk Neraka
“Tidak seorangpun yang dijadikan pemimpin atas sepuluh orang atau lebih, dia tidak berlaku adil ditengah mereka, kecuali dia akan datang pada hari kiamat kelak dalam keadaan dirantai dan dibelenggu.”
Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak ‘ala shahihaini menyatakan bahwa hadits tersebut adalah shohih sanadnya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Hurairah radan salah satu perawi dalam hadits tersebut adalah Makhramah bin Bukair. Komentar Imam al-Hakim menyatakan “pada asalnya kita tidak dimaafkan dalam meninggalkan hadits-hadits Makhramah bin Bukair”.Demikian juga Imam adz-Dzahabi dalam kitab at-TalkhishdanImam Ibnu Syaibah dalam kitab al-Mushannif juga menyatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits Shohih.Dalam kitab yang sama Imam al-Hakim juga menyertakan hadits shahih yang lain, yang diriwayatkan oleh Ummu Ma’qil binti Ma’qil Sinan al-Asyja’iy dari ayahnya, yakni Ma’qil Sinan al-Asyja’iy, ia berkata : “Rasulullah saw telah bersabda : “Tidak seorangpun yang mengurusi umat ini, sedikit atau banyak, lalu dia tidak berlaku adil di tengah-tengah mereka, kecuali Allah menjebloskan dia ke dalam neraka.”
Sedangkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan Imam al-Baihaqi dalam kitab as-Sunan al-Kubra menyatakan hadits lain yang maknanya sama, dari Sa’ad bin Ubadah ra bahwa Rasulullah saw telah bersabda : “Tidak ada seorang pemimpin atas sepuluh orang, kecuali dia didatangkan pada hari kiamat kelak terbelenggu, tidak ada yang melepaskannya dari belenggu itu kecuali keadilan.” Dalam teks riwayat Imam Ahmad terdapat tambahan kata-kata “atau kejahatan justru mengencangkannya”. Imam ath-Thabrani dalam kitab Mu’jam al-Kabir juga meriwayatkan hadits yang hampir semakna dengan hadits tersebut dari Abu Umamah bahwa Nabi saw telah bersabda : “Tidaklah seorang muslim yang mengurusi sepuluh orang atau lebih kecuali didatangkan pada hari kiamat dalam keadaan tangannya terbelenggu ke tengkuknya; kebaikan akan melepaskannya atau dosanya justru mengencangkannya. Kepemimpinan itu awalnya cercaan, pertengahannya penyesalan, dan akhirnya azab di hari Kiamat.”
Syarah Hadits
Hadits di atas berlaku pada setiap pemimpin manapun walaupun kewenangannya sangat terbatas pada hal-hal tertentu saja.Hal ini karena adanya pernyataan “pemimpin sepuluh orang atau lebih” atau dalam hadits Ma’qil Sinan al-Asyja’iy dinyatakan “sedikit atau banyak”. Oleh karena itu, setiap pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas pemeliharaan orang-orang yang dia urus. Terdapat juga Hadits lain yang menyatakan “Setiap kalian adalah pemimpin, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. Konteks kepemimpinan secara umum berbeda dengan konteks dosa pribadinya atau urusan privat seorang pemimpin.Bila dalam konteks dosa pribadinya semisal dia tidak melaksanakan ibadah sholat atau tidak puasa, maka hal ini masuk dalam konteks dosa secara pribadi.Namun hadits di atas membicarakan konteks kepemimpinan secara umum pada sepuluh orang atau lebih dalam segala urusan yang banyak atau sedikit. Maka dosa yang dibicarakan dalam hadits tersebut adalah dosa dalam kepemimpinan seorang pemimpin pada semua level bukan dosa pribadi seorang pemimpin.
Ancaman hadits di atas terhadap pemimpin yang tidak adil bukan pada pemimpin yang adil. Karena dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa pemimpin yang adil kelak dihari kiamat akan mendapatkan perlindungan Allah di padang Mahsyar. Karenanya, hadits di atas bukan menafikan kebolehan menjadi seorang pemimpin.Namun, diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk menjadi pemimpin yang adil.Dalam teks hadits di atas di sebutkan “dia tidak berlaku adil di tengah mereka”.Dengan demikian, kepemimpinan dapat menjadi amal yang baik bagi manusia sekaligus dapat menjadi dosa bagi yang mengambilnya. Dalam satu riwayat Umar bin Abdul ‘Aziz, beliau pernah berkirim surat pada amilnya (bawahannya setingkat dengan bupati atau walikota), “Amma ba’du. Sungguh kekuasaan telah memungkinkan engkau dzholim pada seseorang.Karena itu jika engkau terbersit untuk dzholim pada seseorang maka ingatlah kekuasaan Allah atas kamu. Ketahuilah bahwa tidaklah engkau mendatangkan sesuatu kepada manusia kecuali akan lenyap dari mereka dan tetap menjadi tanggungjawabmu, dan Allah akan menindak orang dzholim untuk keadilan terhadap orang-orang yang didzholimi. Wassalam.”
Keadilan dalam kepemimpinan hukumnya adalah wajib. Sebab, terdapat celaan dalam hadits di atas terhadap pemimpin yang tidak adil yakni “kecuali dia akan datang pada hari kiamat kelak dalam keadaan dirantai dan dibelenggu.” Maka, kalimat tersebut adalah ancaman keras atau celaan yang tidak dapat dikorelasikan pada makna yang lain. Sehingga pemimpin yang tidak adil adalah pemimpin yang telah melakukan perbuatan yang haram dalam kepemimpinannya, sebaliknya pemimpin yang berlaku adil adalah pemimpin yang telah menunaikan kewajibannyadengan baik dalam kepemimpinannya.Imam al-manawi dalam kitab Faydh al-Qadir, mengutip pernyataan Ibnu Bathal menyatakan “Ini ancaman keras atas bukti kejahatan.Karena itu, siapa saja yang menelantarkan orang yang diminta ia untuk mengurusnya, atau mengkhianati atau mendzoliminya, maka kepada dia akan diarahkan tuntutan atas kedzholimannya kelak pada hari kiamat.”Oleh sebab itu, dosa yang berkaitan dengan ketidakadilan seorang pemimpin dapat diajukan oleh rakyatnya kelak di hadapan Allah Yang Maha Adil.
Sedangkan yang dimaksud adil, sebagaimana dinyatakan dalam kitab lisan al-arab bahwa Sa’id bin Zubair ra telah menyatakan empat keadilan. Pertama, keadilan dalam hukum.Yakni seorang pemimpin wajib berhukum dengan hukum-hukum yang telah diturunkan Allah dalam al-Qur’an. Jika seorang pemimpin tidak berhukum sesuai dengan syari’ah Islam, maka sudah dapat dipastikan ia telah melakukan perbuatan yang haram dan tidak adil dalam kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana firman Allah “Tetapi jika engkau memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil” (TQS. al-maidah [5] : 42). Maka, yang dimaksud adil dalam kalimat tersebut adalah memutuskan hukum sesuai dengan syari’ah yang telah ditetapkan Allah Swt. Bahkan, Allah Swt di dalam al-Qur’an surah al-Maidah ayat 44, 45, 47 dengan jelas menyifati siapa saja yang tidak memutuskan perkara sesuai dengan hukum yang telah diturunkan oleh Allah adalah sebagai orang yang masuk dalam kategori dzholim, fasik, bahkan malah dapat menjadi kafir.
Kedua, adil dalam ucapannya.Yakni seorang pemimpin antara ucapan dan perbuatannya wajib sesuai, sebagaimana firman Allah “Dan apabila kamu berbicara, maka berbuat adillah (jujurlah)”. (TQS. al-An’am [6] : 152). Ketiga, adil dalam tebusan.Yakni seorang pemimpin wajib memberikan tebusan untuk membantu rakyatnya, bila rakyatnya tidak mampu membayar tebusan dalam perkara hukum dan ketidakmampuan rakyat dalam bidang apapun.keempat, adil dalam pembagian. Yakni seorang pemimpin wajib mensejahterakan seluruh rakyatnya tanpa terkecuali.Bila seorang pemimpin lebih mengutamakan kerabatnya dari yang lain, sudah dapat dipastikan ia bukanlah pemimpin yang adil. Karena, setiap rakyat wajib mendapat fasilitas yang sama, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum lainnya tanpa mendahulukan yang satu dari yang lainnya. Karena itu, empat keadilan tersebut wajib selalu melekat dan menjadi ciri khas seorang pemimpin yang adil. Bila empat keadilan tersebut tidak tampak, maka dapat dipastikan ia bukan pemimpin yang adil dan bersiap-siap untuk dijebloskan Allah Swt dalam neraka. Wallahu a’lam bi ash-showab. (Syarah Hadits Imam Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak ‘ala shahihaini)
Penulis : Muhammad Fatih al-Malawiy
Ketua Lajnah Tsaqafiyyah HTI Sumut, Mudir Ma’had ats-Tsaqafiy.
Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak ‘ala shahihaini menyatakan bahwa hadits tersebut adalah shohih sanadnya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Hurairah radan salah satu perawi dalam hadits tersebut adalah Makhramah bin Bukair. Komentar Imam al-Hakim menyatakan “pada asalnya kita tidak dimaafkan dalam meninggalkan hadits-hadits Makhramah bin Bukair”.Demikian juga Imam adz-Dzahabi dalam kitab at-TalkhishdanImam Ibnu Syaibah dalam kitab al-Mushannif juga menyatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits Shohih.Dalam kitab yang sama Imam al-Hakim juga menyertakan hadits shahih yang lain, yang diriwayatkan oleh Ummu Ma’qil binti Ma’qil Sinan al-Asyja’iy dari ayahnya, yakni Ma’qil Sinan al-Asyja’iy, ia berkata : “Rasulullah saw telah bersabda : “Tidak seorangpun yang mengurusi umat ini, sedikit atau banyak, lalu dia tidak berlaku adil di tengah-tengah mereka, kecuali Allah menjebloskan dia ke dalam neraka.”
Sedangkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan Imam al-Baihaqi dalam kitab as-Sunan al-Kubra menyatakan hadits lain yang maknanya sama, dari Sa’ad bin Ubadah ra bahwa Rasulullah saw telah bersabda : “Tidak ada seorang pemimpin atas sepuluh orang, kecuali dia didatangkan pada hari kiamat kelak terbelenggu, tidak ada yang melepaskannya dari belenggu itu kecuali keadilan.” Dalam teks riwayat Imam Ahmad terdapat tambahan kata-kata “atau kejahatan justru mengencangkannya”. Imam ath-Thabrani dalam kitab Mu’jam al-Kabir juga meriwayatkan hadits yang hampir semakna dengan hadits tersebut dari Abu Umamah bahwa Nabi saw telah bersabda : “Tidaklah seorang muslim yang mengurusi sepuluh orang atau lebih kecuali didatangkan pada hari kiamat dalam keadaan tangannya terbelenggu ke tengkuknya; kebaikan akan melepaskannya atau dosanya justru mengencangkannya. Kepemimpinan itu awalnya cercaan, pertengahannya penyesalan, dan akhirnya azab di hari Kiamat.”
Syarah Hadits
Hadits di atas berlaku pada setiap pemimpin manapun walaupun kewenangannya sangat terbatas pada hal-hal tertentu saja.Hal ini karena adanya pernyataan “pemimpin sepuluh orang atau lebih” atau dalam hadits Ma’qil Sinan al-Asyja’iy dinyatakan “sedikit atau banyak”. Oleh karena itu, setiap pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas pemeliharaan orang-orang yang dia urus. Terdapat juga Hadits lain yang menyatakan “Setiap kalian adalah pemimpin, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. Konteks kepemimpinan secara umum berbeda dengan konteks dosa pribadinya atau urusan privat seorang pemimpin.Bila dalam konteks dosa pribadinya semisal dia tidak melaksanakan ibadah sholat atau tidak puasa, maka hal ini masuk dalam konteks dosa secara pribadi.Namun hadits di atas membicarakan konteks kepemimpinan secara umum pada sepuluh orang atau lebih dalam segala urusan yang banyak atau sedikit. Maka dosa yang dibicarakan dalam hadits tersebut adalah dosa dalam kepemimpinan seorang pemimpin pada semua level bukan dosa pribadi seorang pemimpin.
Ancaman hadits di atas terhadap pemimpin yang tidak adil bukan pada pemimpin yang adil. Karena dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa pemimpin yang adil kelak dihari kiamat akan mendapatkan perlindungan Allah di padang Mahsyar. Karenanya, hadits di atas bukan menafikan kebolehan menjadi seorang pemimpin.Namun, diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk menjadi pemimpin yang adil.Dalam teks hadits di atas di sebutkan “dia tidak berlaku adil di tengah mereka”.Dengan demikian, kepemimpinan dapat menjadi amal yang baik bagi manusia sekaligus dapat menjadi dosa bagi yang mengambilnya. Dalam satu riwayat Umar bin Abdul ‘Aziz, beliau pernah berkirim surat pada amilnya (bawahannya setingkat dengan bupati atau walikota), “Amma ba’du. Sungguh kekuasaan telah memungkinkan engkau dzholim pada seseorang.Karena itu jika engkau terbersit untuk dzholim pada seseorang maka ingatlah kekuasaan Allah atas kamu. Ketahuilah bahwa tidaklah engkau mendatangkan sesuatu kepada manusia kecuali akan lenyap dari mereka dan tetap menjadi tanggungjawabmu, dan Allah akan menindak orang dzholim untuk keadilan terhadap orang-orang yang didzholimi. Wassalam.”
Keadilan dalam kepemimpinan hukumnya adalah wajib. Sebab, terdapat celaan dalam hadits di atas terhadap pemimpin yang tidak adil yakni “kecuali dia akan datang pada hari kiamat kelak dalam keadaan dirantai dan dibelenggu.” Maka, kalimat tersebut adalah ancaman keras atau celaan yang tidak dapat dikorelasikan pada makna yang lain. Sehingga pemimpin yang tidak adil adalah pemimpin yang telah melakukan perbuatan yang haram dalam kepemimpinannya, sebaliknya pemimpin yang berlaku adil adalah pemimpin yang telah menunaikan kewajibannyadengan baik dalam kepemimpinannya.Imam al-manawi dalam kitab Faydh al-Qadir, mengutip pernyataan Ibnu Bathal menyatakan “Ini ancaman keras atas bukti kejahatan.Karena itu, siapa saja yang menelantarkan orang yang diminta ia untuk mengurusnya, atau mengkhianati atau mendzoliminya, maka kepada dia akan diarahkan tuntutan atas kedzholimannya kelak pada hari kiamat.”Oleh sebab itu, dosa yang berkaitan dengan ketidakadilan seorang pemimpin dapat diajukan oleh rakyatnya kelak di hadapan Allah Yang Maha Adil.
Sedangkan yang dimaksud adil, sebagaimana dinyatakan dalam kitab lisan al-arab bahwa Sa’id bin Zubair ra telah menyatakan empat keadilan. Pertama, keadilan dalam hukum.Yakni seorang pemimpin wajib berhukum dengan hukum-hukum yang telah diturunkan Allah dalam al-Qur’an. Jika seorang pemimpin tidak berhukum sesuai dengan syari’ah Islam, maka sudah dapat dipastikan ia telah melakukan perbuatan yang haram dan tidak adil dalam kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana firman Allah “Tetapi jika engkau memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil” (TQS. al-maidah [5] : 42). Maka, yang dimaksud adil dalam kalimat tersebut adalah memutuskan hukum sesuai dengan syari’ah yang telah ditetapkan Allah Swt. Bahkan, Allah Swt di dalam al-Qur’an surah al-Maidah ayat 44, 45, 47 dengan jelas menyifati siapa saja yang tidak memutuskan perkara sesuai dengan hukum yang telah diturunkan oleh Allah adalah sebagai orang yang masuk dalam kategori dzholim, fasik, bahkan malah dapat menjadi kafir.
Kedua, adil dalam ucapannya.Yakni seorang pemimpin antara ucapan dan perbuatannya wajib sesuai, sebagaimana firman Allah “Dan apabila kamu berbicara, maka berbuat adillah (jujurlah)”. (TQS. al-An’am [6] : 152). Ketiga, adil dalam tebusan.Yakni seorang pemimpin wajib memberikan tebusan untuk membantu rakyatnya, bila rakyatnya tidak mampu membayar tebusan dalam perkara hukum dan ketidakmampuan rakyat dalam bidang apapun.keempat, adil dalam pembagian. Yakni seorang pemimpin wajib mensejahterakan seluruh rakyatnya tanpa terkecuali.Bila seorang pemimpin lebih mengutamakan kerabatnya dari yang lain, sudah dapat dipastikan ia bukanlah pemimpin yang adil. Karena, setiap rakyat wajib mendapat fasilitas yang sama, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum lainnya tanpa mendahulukan yang satu dari yang lainnya. Karena itu, empat keadilan tersebut wajib selalu melekat dan menjadi ciri khas seorang pemimpin yang adil. Bila empat keadilan tersebut tidak tampak, maka dapat dipastikan ia bukan pemimpin yang adil dan bersiap-siap untuk dijebloskan Allah Swt dalam neraka. Wallahu a’lam bi ash-showab. (Syarah Hadits Imam Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak ‘ala shahihaini)
Penulis : Muhammad Fatih al-Malawiy
Ketua Lajnah Tsaqafiyyah HTI Sumut, Mudir Ma’had ats-Tsaqafiy.