Jangan Buat Rosulullah Bersedih
“Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Qur’an ini sebagai perkara yang diabaikan.” (TQS. al-Furqan [25] : 30]
Imam Ali ash-Shobuni dalam kitab shafwatu at-tafasir menyatakan bahwa ayat tersebut turun ketika mayoritas orang-orang musyrik menghinakan al-Qur’an, dada Rasulullah saw terasa sempit dan beliau mengadukan mereka kepada Allah. adapun maknanya adalah Muhammad Rasulullah telah berkata : ya Tuhan, sesungguhnya orang Quraisy telah mendustakan al-Qur’an dan tidak beriman dengannya, mereka menjadikan al-Qur’an ada dibelakang punggungnya sebagai sesuatu yang ditinggalkan dan mereka berpaling dari mendengarkannya.
Imam Ibnu al-jawzy dalam kitabzad al-masir fi ilm at-tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “mahzura (perkara yang diabaikan)” yakni memiliki dua makna yaitu : pertama, ditinggalkan, tidak memberikan perhatian kepadanya, dan tidak beriman dengannya. Hal ini sebagaimana pendapat Ibnu Abbas dan Muqatil.Yang kedua, mereka mengabaikannya maksudnya mereka menjadikannya seperti perkataan yang sia-sia, termasuk juga seseorang yang berkata dalam tidurnya yakni mengigau sebagaimana pendapat ibnu Qutaibah.Sedangkan ibnu az-zujaj menyatakan bahwa al-hajru (mengabaikan) maksudnya adalah perkataan yang tidak bermanfaat.
Dengan demikian kesedihan Rasulullah saw karena al-Qur’an diabaikan oleh umatnya yakni tidak dijadikan sebagai pedoman dalam hidupnya sehingga al-Qur’an ditinggalkan, tidak didengarkan ayat-ayatnya, bahkan didustakan dan dianggap perkataan yang tidak bermanfaat atau perkataan sia-sia seperti perkataan orang yang mengigau dalam tidurnya. Padahal, al-Qur’an wajib untuk diimani dan dijadikan sebagai pedoman hidup.Berbagai sejarah yang terdapat di dalamnya harus dijadikan I’tibar, nasehatnya wajib didengar, dan hukum yang terdapat di dalamnya wajib untuk diamalkan dalam perkara-perkara yang wajib untuk diamalkan.Dan haram untuk dilaksanakan dalam perkara-perkara yang haram pelaksanaannya.
I’tibar Maulid Nabi
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan.Suatu hari, senin, Tsuwaibah datang kepada tuannya, Abu Lahab.Ia menyampaikan kabar kelahiran Muhammad, keponakan barunya. Mendengar itu Abu Lahab pun bersukacita.Ia kegirangan seraya meneriakkan kata-kata pujian sepanjang jalan. Sebagai bentuk luapan kegembiraan, ia segera mengundang para tetangga dan kerabat dekatnya untuk merayakan kelahiran keponakan barunya tersebut. Sebagai penanda sukacitanya, iapun berkata pada budaknya, Tsuwaibah. “hai Tsuwaibah. Sebagai tanda syukurku atas kelahiran keponakanku (Muhammad), anak dari saudara laki-lakiku, Abdullah, maka kamu menjadi manusia merdeka mulai hari ini!”
Imam as-Suyuthi dalam kitab al-Hawyberkata : “Saya melihat Imamul Qura’, al-Hafidz Syamsuddin Ibnu al-Jauwzy, berkata dalam kitab beliau yang berjudul Urf at-Ta’rif bial-maulid asy-Syarif, dengan teks sebagai berikut : “telah diperlihatkan Abu Lahab setelah meninggalnya di dalam mimpi. Dikatakan padanya, “Bagaimana keadaanmu?”Dia menjawab, “(aku) di dalam neraka, hanya saja, diringankan atas diriku siksaan setiap malam senin.aku juga (di neraka) dapat meminum air dari ujung ibu jariku (di isap). Hal ini karena aku memerdekakan Tsuwaibah ketika ia menyampaikan kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Muhammad dan karena dia telah menyusukannya.” Kabar tentang diperingankan siksaan Abu Lahab juga terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari, Imam as-Shan’ani dalam kitab al-Mushannif, Imam al-Baihaqi dalam kitab ad-Dalail, imam Ibnu Katsir dalam kitab as-siratunnabawiyyah minal bidayah, iman asy-Syaibani dalam kitab hadaiqul anwar, dan beberapa kitab yang lain.
Selanjutnya Imam as-Suyuthi mengatakan : “Jika Abu Lahab yang kafir ini, yang telah dicela oleh al-Qur’an, diringankan siksaannya dengan sebab kegembiraannya karena kelahiran Nabi Muhammad saw, maka bagaimana lagi keadaan seorang Muslim dari kalangan umat beliau yang bertauhid, yang gembira dengan kelahiran beliau dan mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mencintai beliau? Aku bersumpah, tidak ada balasan dari Allah Yang Maha Pemurah, kecuali Dia akan memasukkannya ke dalam surga.” Sebagaimana Imam as-Suyuti, dalil ini juga dijadikan hujjah oleh sebahagian ulama tentang absahnya merayakan Maulid Nabi Muhammad saw.
Selain bahwa dalil ini absah dijadikan sebagai hujjah untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad saw, dalil ini juga sangat menarik bila dikaitkan dengan realitas umat Islam hari ini. Banyak dari umat ini yang begitu antusias dengan perayaan Maulid Nabi, namun saat yang sama sebahagian dari umat ini “sering tidak berbeda sikapnya” dengan Abu Lahab; mengabaikan al-Qur’an, nasehatnya tidak pernah diikuti, hukum-hukum yang terdapat didalamnya dicampakkan begitu saja dengan berbagai alasan. Padahal, bukankah demi al-Qur’an dan berbagai petunjuk serta hukum-hukum yang terdapat di dalamnya, Nabi Muhammad saw dilahirkan dan diutus?. Harusnya seorang Muslim bukan hanya bergembira saat merayakan maulid, namun lebih dari itu, maulid harus dijadikan sebagai momentum dakwah untuk menyatukan umat dalam memperjuangkan agar al-Qur’an dengan berbagai hukum syariah yang terdapat di dalamnya, diterapkan di negeri ini untuk menggantikan hukum-hukum sekuler ala jahiliyyah.
I’tibar kisah surat
Al-kisah seorang kepala negara mengirimkan surat kepada bawahannya. Karena gembiranya menerima surat dari kepala negara, sang bawahan tidak pernah lupa membacanya. Ia senantiasa memuliakan surat tersebut, bahkan ia sampai menghapal seluruh isi surat tersebut. Pada suatu ketika sang kepala negara pun datang pada bawahannya, ia bertanya pada bawahannya tentang surat yang sudah ia sampaikan. Sang bawahanpun bercerita “wahan Tuan, jangan khawatir, surat yang tuan sampaikan pada saya, saya simpan baik-baik, saya baca dengan perlahan, bahkan isi dari surat tuan tersebut sudah saya hapalkan baik-baik.” Sang kepala negara kemudian bertanya pada bawahannya, “apakah sudah kau fahami dengan baik-baik isi surat itu dan apakah sudah kau jalankan apa yang menjadi tugasmu sebagaimana yang telah kutulis dalam isi surat tersebut?”.Mendengar hal itu, sang bawahan hanya bisa senyum kecut, iapun tertunduk lesu dengan pertanyaan kepala negara. Karena, walaupun ia sudah memuliakan surat itu, membacanya berulang-ulang, namun ia tidak memahami isi surat tersebut, bahkan apa yang harus ia jalankan dalam surat itu, ia abaikan begitu saja.
Maha Suci Allah Swt dari perumpamaan manapun, namun untuk mendekatkan faham, I’tibar dari kisah surat itu dapat dikaitkan dengan hakikat diturunkannya al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan bukan hanya untuk dimuliakan fisiknya semata walaupun menghormati fisik dari al-Qur’an hukumnya adalah Wajib, atau al-Qur’an bukan hanya untuk di baca semata walaupun membacanya berpahala, atau al-Qur’an bukan hanya untuk dihafalkan semata isinya walaupun menghafal isinya mendapatkan kemuliaan yang tinggi, lebih dari itu, sesungguhnya al-Qur’an wajib untuk difahami dan diamalkan, bahkan wajib dijadikan sebagai undang-undang dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. ‘ala kulli hal, jangan pernah mengecewakan dan membuat Rasulullah saw bersedih.karena kita, umatnya, telah mengabaikan al-Qur’an yang beliau bawa. Wallahu a’lam bi ash-showab.
Penulis : Oleh : Muhammad Fatih al-Malawy
Ketua Lajnah Tsaqafiyyah Hizbut Tahrir Indonesia Sumatera Utara
Imam Ali ash-Shobuni dalam kitab shafwatu at-tafasir menyatakan bahwa ayat tersebut turun ketika mayoritas orang-orang musyrik menghinakan al-Qur’an, dada Rasulullah saw terasa sempit dan beliau mengadukan mereka kepada Allah. adapun maknanya adalah Muhammad Rasulullah telah berkata : ya Tuhan, sesungguhnya orang Quraisy telah mendustakan al-Qur’an dan tidak beriman dengannya, mereka menjadikan al-Qur’an ada dibelakang punggungnya sebagai sesuatu yang ditinggalkan dan mereka berpaling dari mendengarkannya.
Imam Ibnu al-jawzy dalam kitabzad al-masir fi ilm at-tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “mahzura (perkara yang diabaikan)” yakni memiliki dua makna yaitu : pertama, ditinggalkan, tidak memberikan perhatian kepadanya, dan tidak beriman dengannya. Hal ini sebagaimana pendapat Ibnu Abbas dan Muqatil.Yang kedua, mereka mengabaikannya maksudnya mereka menjadikannya seperti perkataan yang sia-sia, termasuk juga seseorang yang berkata dalam tidurnya yakni mengigau sebagaimana pendapat ibnu Qutaibah.Sedangkan ibnu az-zujaj menyatakan bahwa al-hajru (mengabaikan) maksudnya adalah perkataan yang tidak bermanfaat.
Dengan demikian kesedihan Rasulullah saw karena al-Qur’an diabaikan oleh umatnya yakni tidak dijadikan sebagai pedoman dalam hidupnya sehingga al-Qur’an ditinggalkan, tidak didengarkan ayat-ayatnya, bahkan didustakan dan dianggap perkataan yang tidak bermanfaat atau perkataan sia-sia seperti perkataan orang yang mengigau dalam tidurnya. Padahal, al-Qur’an wajib untuk diimani dan dijadikan sebagai pedoman hidup.Berbagai sejarah yang terdapat di dalamnya harus dijadikan I’tibar, nasehatnya wajib didengar, dan hukum yang terdapat di dalamnya wajib untuk diamalkan dalam perkara-perkara yang wajib untuk diamalkan.Dan haram untuk dilaksanakan dalam perkara-perkara yang haram pelaksanaannya.
I’tibar Maulid Nabi
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan.Suatu hari, senin, Tsuwaibah datang kepada tuannya, Abu Lahab.Ia menyampaikan kabar kelahiran Muhammad, keponakan barunya. Mendengar itu Abu Lahab pun bersukacita.Ia kegirangan seraya meneriakkan kata-kata pujian sepanjang jalan. Sebagai bentuk luapan kegembiraan, ia segera mengundang para tetangga dan kerabat dekatnya untuk merayakan kelahiran keponakan barunya tersebut. Sebagai penanda sukacitanya, iapun berkata pada budaknya, Tsuwaibah. “hai Tsuwaibah. Sebagai tanda syukurku atas kelahiran keponakanku (Muhammad), anak dari saudara laki-lakiku, Abdullah, maka kamu menjadi manusia merdeka mulai hari ini!”
Imam as-Suyuthi dalam kitab al-Hawyberkata : “Saya melihat Imamul Qura’, al-Hafidz Syamsuddin Ibnu al-Jauwzy, berkata dalam kitab beliau yang berjudul Urf at-Ta’rif bial-maulid asy-Syarif, dengan teks sebagai berikut : “telah diperlihatkan Abu Lahab setelah meninggalnya di dalam mimpi. Dikatakan padanya, “Bagaimana keadaanmu?”Dia menjawab, “(aku) di dalam neraka, hanya saja, diringankan atas diriku siksaan setiap malam senin.aku juga (di neraka) dapat meminum air dari ujung ibu jariku (di isap). Hal ini karena aku memerdekakan Tsuwaibah ketika ia menyampaikan kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Muhammad dan karena dia telah menyusukannya.” Kabar tentang diperingankan siksaan Abu Lahab juga terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari, Imam as-Shan’ani dalam kitab al-Mushannif, Imam al-Baihaqi dalam kitab ad-Dalail, imam Ibnu Katsir dalam kitab as-siratunnabawiyyah minal bidayah, iman asy-Syaibani dalam kitab hadaiqul anwar, dan beberapa kitab yang lain.
Selanjutnya Imam as-Suyuthi mengatakan : “Jika Abu Lahab yang kafir ini, yang telah dicela oleh al-Qur’an, diringankan siksaannya dengan sebab kegembiraannya karena kelahiran Nabi Muhammad saw, maka bagaimana lagi keadaan seorang Muslim dari kalangan umat beliau yang bertauhid, yang gembira dengan kelahiran beliau dan mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mencintai beliau? Aku bersumpah, tidak ada balasan dari Allah Yang Maha Pemurah, kecuali Dia akan memasukkannya ke dalam surga.” Sebagaimana Imam as-Suyuti, dalil ini juga dijadikan hujjah oleh sebahagian ulama tentang absahnya merayakan Maulid Nabi Muhammad saw.
Selain bahwa dalil ini absah dijadikan sebagai hujjah untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad saw, dalil ini juga sangat menarik bila dikaitkan dengan realitas umat Islam hari ini. Banyak dari umat ini yang begitu antusias dengan perayaan Maulid Nabi, namun saat yang sama sebahagian dari umat ini “sering tidak berbeda sikapnya” dengan Abu Lahab; mengabaikan al-Qur’an, nasehatnya tidak pernah diikuti, hukum-hukum yang terdapat didalamnya dicampakkan begitu saja dengan berbagai alasan. Padahal, bukankah demi al-Qur’an dan berbagai petunjuk serta hukum-hukum yang terdapat di dalamnya, Nabi Muhammad saw dilahirkan dan diutus?. Harusnya seorang Muslim bukan hanya bergembira saat merayakan maulid, namun lebih dari itu, maulid harus dijadikan sebagai momentum dakwah untuk menyatukan umat dalam memperjuangkan agar al-Qur’an dengan berbagai hukum syariah yang terdapat di dalamnya, diterapkan di negeri ini untuk menggantikan hukum-hukum sekuler ala jahiliyyah.
I’tibar kisah surat
Al-kisah seorang kepala negara mengirimkan surat kepada bawahannya. Karena gembiranya menerima surat dari kepala negara, sang bawahan tidak pernah lupa membacanya. Ia senantiasa memuliakan surat tersebut, bahkan ia sampai menghapal seluruh isi surat tersebut. Pada suatu ketika sang kepala negara pun datang pada bawahannya, ia bertanya pada bawahannya tentang surat yang sudah ia sampaikan. Sang bawahanpun bercerita “wahan Tuan, jangan khawatir, surat yang tuan sampaikan pada saya, saya simpan baik-baik, saya baca dengan perlahan, bahkan isi dari surat tuan tersebut sudah saya hapalkan baik-baik.” Sang kepala negara kemudian bertanya pada bawahannya, “apakah sudah kau fahami dengan baik-baik isi surat itu dan apakah sudah kau jalankan apa yang menjadi tugasmu sebagaimana yang telah kutulis dalam isi surat tersebut?”.Mendengar hal itu, sang bawahan hanya bisa senyum kecut, iapun tertunduk lesu dengan pertanyaan kepala negara. Karena, walaupun ia sudah memuliakan surat itu, membacanya berulang-ulang, namun ia tidak memahami isi surat tersebut, bahkan apa yang harus ia jalankan dalam surat itu, ia abaikan begitu saja.
Maha Suci Allah Swt dari perumpamaan manapun, namun untuk mendekatkan faham, I’tibar dari kisah surat itu dapat dikaitkan dengan hakikat diturunkannya al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan bukan hanya untuk dimuliakan fisiknya semata walaupun menghormati fisik dari al-Qur’an hukumnya adalah Wajib, atau al-Qur’an bukan hanya untuk di baca semata walaupun membacanya berpahala, atau al-Qur’an bukan hanya untuk dihafalkan semata isinya walaupun menghafal isinya mendapatkan kemuliaan yang tinggi, lebih dari itu, sesungguhnya al-Qur’an wajib untuk difahami dan diamalkan, bahkan wajib dijadikan sebagai undang-undang dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. ‘ala kulli hal, jangan pernah mengecewakan dan membuat Rasulullah saw bersedih.karena kita, umatnya, telah mengabaikan al-Qur’an yang beliau bawa. Wallahu a’lam bi ash-showab.
Penulis : Oleh : Muhammad Fatih al-Malawy
Ketua Lajnah Tsaqafiyyah Hizbut Tahrir Indonesia Sumatera Utara