Hukum Seputar Puasa Wanita
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan, bahwa wanita hamil dan menyusui sama-sama boleh membatalkan puasanya, dengan kewajiban mengganti puasanya, tanpa harus membayar fidyah.
Allah SWT telah menetapkan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan kepada kaum Muslim, baik pria maupun wanita (QS al-Baqarah [2]: 183). Selain ketentuan umum tentang kewajiban tersebut, Islam juga mengatur dan menyelesaikan secara spesifik masalah wanita, khususnya terkait dengan kewajibannya berpuasa di bulan Ramadhan.
Ketentuan khusus tersebut, antara lain, terkait dengan puasa wanita yang haid dan nifas, serta wanita yang hamil dan menyusui.
Wanita Haid dan Nifas
Haid dan nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan kaum wanita. Bedanya, haid keluar rutin setiap bulan, dengan kadar yang berbeda. Sedangkan nifas adalah darah yang keluar saat melahirkan. Baik haid maupun nifas, sama-sama merupakan mani’(penghalang) bagi wanita untuk melakukan shalat dan puasa. Karena itu, ketika kedua penghalang ini terdapat pada diri wanita, dengan sendirinya wanita tersebut tidak bisa melaksanakan puasa dan shalat.
Bedanya, wanita haid dan nifas tidak wajib mengganti shalatnya, sedangkan puasanya tetap wajib diganti pada waktu lain. Ini didasarkan pada hadits Aisyah ra yang menyatakan, “Kunna nahidhu ‘inda an-NabiyyiSAW fa ya’muruna bi qadha’i as-shiyami.” (Kami sedang haid di sisi Nabi SAW kemudian baginda memerintahkan kami untuk mengganti puasa) (HR Ibn Majjah – 1670). Dalam riwayat lain dinyatakan,“Wa la ya’muruna bi qadha’i as-shalah” (Baginda tidak memerintahkan kami mengganti shalat) (HR an-Nasa’i – 2318).
Maka, selama wanita yang haid dan nifas masih mengeluarkan darah, dia tidak wajib berpuasa. Namun, jika sebelum fajar darah haid dan nifasnya berhenti, dia terkena kewajiban berpuasa pada hari itu. Meski, saat fajar dia belum sempat bersuci dan mandi. Karena yang menjadi mani’adalah haid dan nifasnya, bukan sudah bersuci atau belum.
Dalam konteks sah dan tidaknya puasa wanita yang belum bersuci saat fajar, sementara darah haid dan nifasnya sudah berhenti sebelum fajar, memang ada perselisihan. Al-Hasan bin Shalih, al-Auza’i, dan salah satu pendapat dalam mazhab Maliki, menyatakan puasa wanita tersebut tidak sah. Sedangkan jumhur ulama’ yang lain menyatakan sah.
Mengenai kewajiban wanita haid dan nifas yang berbeda, antara shalat dan puasa, dimana wanita tersebut wajib mengganti puasa, tetapi tidak wajib mengganti shalatnya juga tidak ada perbedaan di kalangan kaum Muslim, kecuali satu sekte Khawarij Haruriyah. Sekte ini menyatakan, bahwa wanita yang haid dan nifas tidak wajib mengganti shalat dan puasanya. Sekte ini muncul di daerah Harura, Kufah-Irak. Namun, pendapat ini janggal dan aneh.
Wanita Hamil dan Menyusui
Demikian juga bagi wanita yang hamil dan menyusui, ada hukum khusus yang mengatur mereka. Dalam hadits Anas bin Malik ra menyatakan, “Rakhkhasha Rasulullah li al-hubla al-lati takhafu ‘ala nafsiha ‘an tufthira wa li al-murdhi’i al-lati takhafu ‘ala waladiha.” (Rasulullah SAW memberikan keringanan kepada wanita hamil yang mengkhawatirkan keselamatan dirinya untuk membatalkan puasanya, juga wanita yang menyusui yang mengkhawatirkan anaknya [boleh membatalkan puasanya]) (HR. Ibn Majah – 1668)
Dalam hal ini, ulama’ berbeda pendapat:
1- Jika wanita hamil dan menyusui tersebut membatalkan puasanya, mereka wajib mengganti puasanya, dan membayar fidyah. Ini pendapat Sufyan at-Tsauri, Malik, Syafii dan Ahmad bin Hanbal.
2- Jika mereka membatalkan puasanya, dan membayar fidyah, maka tidak wajib mengganti puasanya. Sebaliknya, jika mereka telah mengganti puasanya, maka tidak wajib membayar fidyah. Ini pendapat Ishaq, al-Hasan al-Bashri, ‘Atha’, ad-Dhahak, an-Nakha’i, al-Auza’i, Ikrimah, Rabi’ah, dan ahl ra’yi.
3- Wanita hamil dan menyusui disamakan dengan orang sakit, sehingga wajib mengganti puasanya, dan tidak wajib membayar fidyah. Ini merupakan pendapat Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, dan Ibn al-Mundzir.
4- Wanita hamil dibedakan dengan wanita menyusui. Bagi wanita hamil, sama dengan orang sakit, sehingga wajib mengganti puasanya, dan tidak wajib membayar fidyah. Sedangkan wanita menyusui, jika membatalkan puasanya, dia wajib mengganti puasanya, dan membayar fidyah. Ini pendapat Malik.
5- Sedangkan Syafii dan Ahmad, memilah alasan wanita hamil dan menyusui saat membatalkan puasanya. Jika alasannya karena mengkhawatirkan dirinya sendiri, atau mengkhawatirkan diri sekaligus anaknya, dia boleh membatalkan puasanya, dan wajib menggantinya. Jika mengkhawatirkan anaknya saja, mereka wajib mengganti puasanya, dan membayar fidyah.
Inilah ketentuan dasar terkait dengan boleh dan tidaknya wanita hamil dan menyusui membatalkan puasanya, dengan konsekuensi mengganti puasanya dan membayar fidyah. Puasa yang diganti sebanyak hari yang telah ditinggalkan. Sedangkan fidyah yang dibayarkan sebesar 1 Mud per hari. Satu Mud itu sendiri sama dengan 544 gram beras.
Hanya saja, pendapat yang paling kuat berdasarkan dalil di atas adalah pendapat yang menyatakan, bahwa wanita hamil dan menyusui sama-sama boleh membatalkan puasanya, dengan kewajiban mengganti puasanya, tanpa harus membayar fidyah. Ini adalah pendapat Mazhab Hanafi. Dalam hal ini, pendapat inilah yang paling kuat.
Sedangkan pendapat yang menyatakan, bahwa mereka tidak perlu mengganti puasanya, adalah pendapat yang tidak bisa digunakan. Sebagaimana pendapat yang menyatakan, bahwa mereka yang membatalkan puasanya, wajib mengganti puasanya dan membayar fidyah juga tidak ada dasarnya. []Hafidz Abdurrahman