Rezim Penghutang (Jokowi) Bela Kapitalis
Belum lama ini Bank Indonesia (BI) melaporkan utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal I-2016 sebesar 316 miliar dollar AS, atau tumbuh 5,7 persen secara tahunan. Jika dihitung dengan kurs Rp. 13.278,-/dolar, maka hutang tersebut telah setara dengan 4.195 triliun rupiah lebih.
Berdasarkan rincian tenor, ULN jangka panjang tercatat meningkat, sementara ULN jangka pendek menurun. Jika ditilik kelompok peminjam, ULN sektor publik tercatat meningkat, sementara ULN sektor swasta menurun.
Rasio ULN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir kuartal I-2016 tercatat sebesar 36,5 persen, meningkat dari 36 persen pada akhir kuartal IV 2015.
ULN jangka panjang pada akhir kuartal I-2016 nilainya mencapai 277,9 miliar dollar AS (87,9 persen dari total ULN) atau naik 7,9 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Untuk ULN berjangka pendek pada akhir kuartal I-2016 tercatat sebesar 38,1 miliar dollar AS atau turun 8,4 persen (kompas.com, 17/05/16).
Pembengkakan hutang ini berkesinambungan dan sejalan dengan kebijakan Presiden Jokowi sebelumnya. Pada periode Maret 2015, total utang pemerintah pusat telah tercatat Rp 2.795,84 triliun. Naik Rp 51,48 triliun dibandingkan posisi bulan sebelumnya, yaitu Rp 2.744,36 triliun.
Presiden Joko Widodo sendiri mengakui bahwa pemerintah menjadikan utang luar negeri sebagai solusi untuk menggenjot pembangunan infrastruktur dan akhirnya berujung pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Kebijakan hutang Jokowi banyak mendapat sorotan tajam dan kritik pengamat ekonomi dan analis keuangan. Mengingat, utang luar negeri Indonesia yang terus menumpuk dinilai tidak sehat dan akan membebani anggaran.
Sampai April 2015 utang indonesia mencapai 302,292 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp 4.200 triliun (kurs Rp 13.888/dolar AS) per akhir April 2015.
Pengamat Ekonomi Arim Nasim berarti menambah beban APBN. “Bertambahnya utang berarti bertambahnya beban APBN untuk membayar utang baik pokok maupun bunganya,” ujar Arim kepadamediaumat.com, Senin (23/5) melalui surat elektronik.
Seperti lingkaran setan, beber Arim, salah satu penyebab utang naik adalah untuk menutupi defisit APBN baik yang sudah ditetapkan sebelumnya dalam APBN ataupun disebabkan kegagalan pemerintah dalam mencapai target penerimaan pajak sehingga defisit semakin tinggi dan ditutupi dengan penambahan utang.
Meski pemerintah berdalih bertambahnya utang untuk pembangunan infrastukrur, tapi Arim menilai pembanguna infrastruktur tersebut bukan untuk kepentingan rakyat. “Tapi hanya untuk kepentingan para kapitalis, contoh: kereta api cepat dibangun bukan untuk kepentingan rakyat!” tegasnya.
Maka, jadilah rezim Jokowi seperti rezim-rezim sebelumnya. “Ini menunjukkan bahwa Rezim Jokowi sama dengan rezim sebelumnya, gemar berutang untuk ‘membangun’ ekonomi Indonesia. Jadi rezim Jokowi sama dengan rezim sebelumnya bahkan lebih kapitalis dibandingkan dengan rezim sebelumnya,” pungkas Arim pada media. (BL.MU.Kompas.ROL.int)
Berdasarkan rincian tenor, ULN jangka panjang tercatat meningkat, sementara ULN jangka pendek menurun. Jika ditilik kelompok peminjam, ULN sektor publik tercatat meningkat, sementara ULN sektor swasta menurun.
Rasio ULN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir kuartal I-2016 tercatat sebesar 36,5 persen, meningkat dari 36 persen pada akhir kuartal IV 2015.
ULN jangka panjang pada akhir kuartal I-2016 nilainya mencapai 277,9 miliar dollar AS (87,9 persen dari total ULN) atau naik 7,9 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Untuk ULN berjangka pendek pada akhir kuartal I-2016 tercatat sebesar 38,1 miliar dollar AS atau turun 8,4 persen (kompas.com, 17/05/16).
Pembengkakan hutang ini berkesinambungan dan sejalan dengan kebijakan Presiden Jokowi sebelumnya. Pada periode Maret 2015, total utang pemerintah pusat telah tercatat Rp 2.795,84 triliun. Naik Rp 51,48 triliun dibandingkan posisi bulan sebelumnya, yaitu Rp 2.744,36 triliun.
Presiden Joko Widodo sendiri mengakui bahwa pemerintah menjadikan utang luar negeri sebagai solusi untuk menggenjot pembangunan infrastruktur dan akhirnya berujung pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Kebijakan hutang Jokowi banyak mendapat sorotan tajam dan kritik pengamat ekonomi dan analis keuangan. Mengingat, utang luar negeri Indonesia yang terus menumpuk dinilai tidak sehat dan akan membebani anggaran.
Sampai April 2015 utang indonesia mencapai 302,292 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp 4.200 triliun (kurs Rp 13.888/dolar AS) per akhir April 2015.
Pengamat Ekonomi Arim Nasim berarti menambah beban APBN. “Bertambahnya utang berarti bertambahnya beban APBN untuk membayar utang baik pokok maupun bunganya,” ujar Arim kepadamediaumat.com, Senin (23/5) melalui surat elektronik.
Seperti lingkaran setan, beber Arim, salah satu penyebab utang naik adalah untuk menutupi defisit APBN baik yang sudah ditetapkan sebelumnya dalam APBN ataupun disebabkan kegagalan pemerintah dalam mencapai target penerimaan pajak sehingga defisit semakin tinggi dan ditutupi dengan penambahan utang.
Meski pemerintah berdalih bertambahnya utang untuk pembangunan infrastukrur, tapi Arim menilai pembanguna infrastruktur tersebut bukan untuk kepentingan rakyat. “Tapi hanya untuk kepentingan para kapitalis, contoh: kereta api cepat dibangun bukan untuk kepentingan rakyat!” tegasnya.
Maka, jadilah rezim Jokowi seperti rezim-rezim sebelumnya. “Ini menunjukkan bahwa Rezim Jokowi sama dengan rezim sebelumnya, gemar berutang untuk ‘membangun’ ekonomi Indonesia. Jadi rezim Jokowi sama dengan rezim sebelumnya bahkan lebih kapitalis dibandingkan dengan rezim sebelumnya,” pungkas Arim pada media. (BL.MU.Kompas.ROL.int)